Mohon tunggu...
B Hanan Sobura
B Hanan Sobura Mohon Tunggu... -

memang baik jadi orang penting, tapi jauh lebih penting jadi orang yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bulan Ramadhan Tempo Dulu dan Sekarang

23 Juli 2012   14:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:42 3547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tak terasa kita sudah memasuki bulan Ramadhan 1433 Hijriyah. Kita semakin tenggelam dengan kemeriahan dan kekhusyukan bulan suci ini, yang selalu dinanti nantikan umat muslim sedunia.

Lantas apa maknanya bagi kita ? Kali ini penulis mengajak mengenang kembali saat saat Ramadhan pada era 70 dan era 80 an. Bagaimana perbedaan kemeriahan perayaan Ramadhan pada masa itu dan di masa sekarang.

Kemeriahan menyambut ramadhan pada masa itu sudah dimulai pada saat memasuki bulan Sya’ban, yaitu bulan menjelang bulan Ramadhan. Masyarakat kampung mempunyai tradisi yang sampai sekarang masih berlangsung, yaitu ruwahan. Ruwahan adalah sebuah acara pembacaan surat yaa sin bersama sama yang dilanjutkan dengan membaca tahlil dan ditutup dengan doa. Ruwahan ini bertujuan mendoakan arwah leluhur yang menjadi tuan rumah. Biasanya, kegiatan ini dilaksanakan secara bergilir, dan dilaksanakan oleh warga masyarakat yang mampu.

Acara ruwahan ini, biasanya mengirimkan doa dan pembacaan surat Al Fatihah kepada arwah keluarga yang telah meninggal. Secara sosial, acara ini mempunyai dampak positif. Karena yang dikirim Al Fatihah adalah garis keturunan ke atas sampai dua tingkat atau lebih serta garis keturunan ke samping / saudara dan garis keturunan ke bawah. Maka anak sahibul hajat pun akan tahu siapa nama kakek dan buyutnya yang sudah meninggal. Bandingkan dengan sekarang, mungkin ada anak anak yang tidak tahu lagi siapa nama kakek dan buyut nya yang sudah meninggal. Karena seiring perjalanan waktu, yang melaksanakan acara ruwahan semakin berkurang.

Pada masa tahun 70 an dan 80 an, puasa identik dengan libur sekolah. Karena pada masa itu sekolah sekolah akan libur pada saat memasuki bulan puasa. Dan kebiasaan ini akhirnya diakhiri pada tahun 1982-1983 yaitu di masa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef.

Kalau sudah memasuki bulan puasa, maka siswa sekolah yang merantau di kota akan pulang kampung. Karena selain mereka libur, maka tidak afdol apabila melaksanakan ibadah puasa jauh dari orang tua. Hari hari awal puasa kampung kampung akan ramai oleh siswa siswa sekolah yang sedang liburan. Tentu beda sekali dengan zaman ini, dimana siswa sekolah tetap belajar, walaupun jam belajar setiap harinya dikurangi.

Dua hari atau 3 hari menjelang puasa, biasanya sudah sibuk. Remaja remaja kampung akan segera bergotong royong membersihkan “pangkalan mandi”. Yaitu jalan menuju ke sungai, ke tempat pemandian umum. Karena pada masa itu, “pangkalan mandi” adalah tempat yang penting, karena masyarakat kampung belum mempunyai kamar mandi pribadi di rumah masing masing seperti sekarang.

Tempat yang wajib untuk dibersihkan tentu saja mesjid atau langgar di kampung masing-masing. Tikar tikar yang ada di mesjid semuanya dicuci dan dibersihkan serta dijemur untuk menyambut bulan puasa. Dan apabila perlu, biasanya mesjid dan langgar akan dibersihkan dan dicat dengan yang baru. Dan semuanya ini, biasanya dikerjakan para remaja remaja.

Dan biasanya kerio atau penggawa desa, akan mengajak membersihkan Tempat Pemakaman Umum. Karena pada saat menjelang puasa, masyarakat kampung akan melakukan ziarah ke makam-makam leluhur mereka. Pada saat acara membersihkan makam, para orang tua akan memperkenalkan makam makam leluhur mereka yang sudah meninggal, kepada anak anaknya.

Dengan cara ini, orang tua akan menjelaskan hubungan kekerabatan orang orang yang di kampung. Misalnya kakek A dan B ini bersaudara, dan anak anak keturunannya adalah si C dan D. Sehingga anak anak tidak lupa dengan garis keturunannya. Karena itulah, pada zaman dulu, seorang anak akan kenal dengan saudara saudaranya yang masih bersaudara buyut sekalipun.

Lantas, bagaimana orang zaman dulu menentukan awal puasa ?

Karena zaman itu sarana komunikasi belum secanggih sekarang, maka pengumuman yang ditunggu tunggu adalah pengumuman yang berasal dari pemerintah. Pengumuman awal puasa biasanya dilakukan oleh Menteri Agama Alamsyah Ratuprawiranegara. Pengumumannya dilakukan hanya di dua tempat yaitu TVRI dan RRI, yaitu sarana penerangan yang hanya ada pada waktu itu.

Bagaimana dengan kampung kampung yang jauh dari kota yang tidak ada radio apalagi televisi, maka masyarakatnya menentukan awal puasa dengan melihat munculnya bulan baru di ufuk barat dusun mereka.

Karena yang memiliki televisi dan radio hanya orang orang tertentu, maka yang memegang peranan mengumumkan awal puasa adalah Pesirah atau kerio di wilayah itu. Karena, mereka inilah yang biasanya mempunyai akses komunikasi melalui televisi dan radio mereka masing masing.

Apabila sudah mendapat pengumuman resmi dari pemerintah, maka biasanya Pesirah atau Kerio akan memerintahkan “Kemit” untuk meneruskan pengumuman ke seluruh kampung. Kemit adalah sejenis petugas piket kampung, atau hansip pada zaman sekarang. Maka kemit akan berkeliling dengan membawa semacam gong kecil yang disebut dengan canang. Istilahnya pengumuman dari pemerintah ini adalah “dicanangkan”. Mungkin, dari kata inilah maka kata dicanangkan sudah menjadi bahasa serapan Bahasa Indonesia untuk istilah mengumumkan suatu kebijakan pemerintah secara resmi,

Apabila pencanangan sudah selesai dilaksanakan, maka masyarakat kampung akan mulai berduyun duyun ke mesjid untuk melakukan shalat tarawih secara berjamaah. Maka mulailah kemeriahan bulan ramadhan akan segera dimulai.

Walaupun pada masa itu siswa sekolah diliburkan, sebenarnya remaja pada masa itu tidak libur untuk bekerja. Karena, bulan puasa dan libur itu adalah kesempatan anak anak sekolah untuk membantu orang tua bekerja. Yang berkebun maka kegiatannya tetaplah berkebun. Dan masa libur puasa adalah kesempatan untuk menambah penghasilan dan uang jajan yang akan digunakan untuk membeli pakaian baru atau tambahan bekal biaya sekolah setelah ramadhan usai.

Pada masa itu, kegiatan menunggu buka puasa tidak ada seperti sekarang dengan melakukan jalan jalan sore (JJS) atau menyambangi pasar bedug yang ada di alun alun kota. Kemeriahan yang dibuat yaitu dengan membuat meriam bambu. Sebatang bambu yang tebal diambil 3 atau 4 ruas, dibuang ruas bagian dalam, dan dilubangi pada pangkalnya. Dengan modal sedikit minyak tanah maka sudah cukup untuk membuat bunyi dentuman di tepi kampung.

Apabila kampungnya dibelah oleh aliran sungai, maka biasanya meriam bambu (dalam bahasa Muaradua dan sekitarnya disebut “lilo”) akan diarahkan berhadap hadapan antar seberang sungai. Dan kemeriahan ledakan “lilo” ini akan berlangsung selepas ashar hingga menjelang berbuka puasa.

Anak anakpada masa itu tak habis habisnya mencari apa saja yang bisa jadi mainan, dari busi bekas yang sudah dimodifikasi dengan mur, karet dan rumbai-rumbai dari tali raffia lalu diisi obat bentol jadilah semacam peledak kalau di lemparkan dan terbanting ke tanah. Entah siapa yang memulai ide kreatif ini, yang pasti selama masa liburan, anak-anak benar-benar mendapatkan pengalaman bermain yang mengesankan biarpun hanya dengan kesederhanaan.

Bandingkan dengan mainan anak-anak sekarang meskipun semakin terpenuhi imajinasinya namun dalam hal kreatifitas dan olah gerak masih kalau oleh anak-anak dahulu. Maka sudah saatnya anak-anak jaman sekarang untuk mulai menggali kembali permainan-permainan lama/tradisional yang lebih kreatif dan menantang tapi menarik.

Bagaimana dengan tanda berbuka puasa ?

Tanda berbuka puasa biasanya ditentukan dengan gong yang dibunyikan di rumah Ketip (pemuka agama) dan rumah kerio. Karena pada masa itu, tidak tiap rumah mempunyai jam sebagai penunjuk waktu atau radio yang menyiarkan azan magrib.

Makanan yang digunakan untuk berbuka puasa juga masih sangat sederhana dan tidak terlalu banyak variasi. Bahan dasar makanan yang dipakai adalah yang berasal dari kebun-kebun sendiri, seperti pisang, ubi, gula merah, dll.

Dan yang rutin ada adalah kolang kaling atau dalam bahasa Muaradaua disebut “kibol”. Kibol ini adalah buah dari batang enau yang direbus, dan kemudian dibelah serta diambil isinya yang berwarna putih. Bagi sebagian orang, menjual kibol adalah mata pencaharian baru yang tumbuh pada bulan puasa. Karena orang jarang mengkonsumsi kibol ini apabila di luar bulan puasa.

Setelah acara berbuka puasa di rumah masing masing selesai, maka kegiatan yang dilakukan para remaja adalah bergiliran membunyikan bedug di mesjid. Istilahnya, yaitu “nitir”, yaitu menabuh bedug dengan irama yang bertalu talu. Dan irama nitir ini tentunya tidak sama dengan irama tabuhan bedug sebagai penanda waktu shalat. Dan kegiatan nitir ini akan berakhir setelah masuk waktu shalat isya.

Sebelum shalat tarawih dilaksanakan, maka ustad akan memberikan ceramah ceramah agama. Dan ustad adalah tokoh sentral dalam penyebaran ilmu agama. Karena pada saat itu, buku buku belum banyak dan sarana komunikasi yang lain juga masih terbatas. Karena itu, maka ustad adalah tokoh yang terpandang di kampung kampung.

Walaupun menjadi guru mengaji hanya dibayar murah, tetapi mereka sangat berharga di mata masyarakat. Dan pada saat bulan puasa ini, maka orang tua akan memberikan semacam gaji “lebih”, yang berupa beras atau biji kopi.

Para guru mengaji inilah yang akan mengawasi tadarusan untuk menamatkan bacaan Al Qur’an hingga akhir ramadhan. Bahkan, ada kebiasaan para bujang yang tidur di mesjid hingga sahur tiba.

Karena pada saat jam 2 dinihari, para bujang bujang akan keliling kampung membangunkan sahur. Mereka beramai ramai mengitari kampung dengan membunyikan canang atau kentongan bambu yang biasa disebut “kluhkuhan”. Kebiasaan ini di kampung kampung dikenal dengan istilah “rundah”.

Saat memasak sahur, jangan dibayangkan para ibu ibu ditemani siaran tv yang beragam seperti sekarang ini. Pada masa itu, yang ada hanya RRI atau TVRI. Dan TVRI pun siaran hanya sampai jam 12 malam.

Tetapi pada saat itu sudah mulai tumbuh semacam siaran radio “amatir”.Dan radio amatir inilah yang turut menghibur. Dan biasanya radio amatir ini akan memulai siaran mulai jam 2 dinihari. Karena siaran berada pada gelombang AM (Amplitude Modulasi), maka jangan harap suara radio akan bersih. Tetapi, sudah cukup lumayan menghibur dengan mendengarkan lagu lagu dari grup band top pada masa itu, seperti Koes Plus, The Mercys dan Dllyod.

Pada masa itu, radio amatir yang popular di Baturaja adalah Radio Pandawa Lima yang bermarkas di lorong Sunda. Dan pada giliran berikutnya, ada sebuah radio niaga yang juga popular yaitu Radio Suara Ria Jaya Sentosa (SRJS) pada frekuensi AM 792. Radio radio inilah yang menemani ibu ibu yang sedang menyiapkan makan sahur. Karena pada waktu itu, RRI siarannya hanya sampai jam 12 malam, dan akan siaran kembali pada saat jam 5 pagi.

Dengan segala keterbatasan pada era 70 an dan 80 an ini, suasana Ramadhan pada saat itu juga meriah. Dan tidak kalah dengan kemeriahan Ramadhan di era globalisasi sekarang ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun