Tahun 2017 dan 2018 merupakan tahun yang kelam bagi infrastruktur Indonesia. Berbagai kegagalan bangunan atau konstruksi telah terjadi. Kegagalan tersebut bukan saja pada saat sedang  dibangun, namun sampai setelah selesai dibangun, dan telah dipakai oleh masyarakat.Â
Hal ini mengakibatkan kerugian harta, benda, dan jiwa.  Kondisi ini tidak saja berdampak langsung dari kegiatan proyek pembangunan seperti halnya bertambah modal, waktu, resiko dan efisiensi pekerjaan pembangunan, juga berdampak  kepada pengguna jasa keinsinyuran, pemanfaat jasa keinsinyuran, dan bahkan lebih luas dari pada itu.Â
Para pengusaha konstruksi kesulitan mendapat modal kerja, bunga bank tinggi, dan pemerintah terpaksa menunda berbagai proyek pembangunan yang telah dicanangkan sebelumnya.
Penilaian dari para Bankir terhadap kualitas pembangunan infrastruktur di Indonesia tentu saja berkualitas rendah, berisiko tinggi sebagai akibat seringnya terjadi kegagalan konstruksi selama ini Sehingga setiap proyek pembangunan akan berakibat berbiaya tinggi. Tidak heran dunia usaha, dan bahkan negarapun mengalami kesulitan mendapatkan sumber dana pembangunan.Â
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan sendirinya akan melambat, lapangan pekerjaan yang tersedia bagi masyarakat terbatas dan berkurang. Masyarakat menghadapi masalah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.Â
Pemerintahpun terpaksa menjual aset-aset BUMN, dan berbagai sumber-sumber pendanaan lain untuk mencari modal kerja. Keputusan yang terakhir ini tentu saja akan berdampak politik, dan menekan balik reputasi pemerintah dalam mengelola keuangan dan kekayaan Negara.Â
Kegagalan konstruksi dapat dianggap sebagai salah satu faktor menghambat pertumbuhan ekonomi Negara. Hal ini perlu menjadi perhatian serius. dan berimplikasi besar terhadap UU No.11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran, dan salah satunya di dalamnya mengatur profesi keinsinyuran.
UU No. 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi  tidak mengatur kegagalan konstruksi dalam bentuk sanksi pidana dari akibat kegagalan konstruksi. Tidak ada hukum kurungan penjara atau denda terhadap kegagalan konstruksi di dalam UU tersebut. Seperti halnya diatur oleh UU  No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi pada Pasal 43, dimana terdapat sanksi hukuman kurungan penjara selama  5 tahun masing-masing untuk setiap pelanggaran pada tahap perencanaan pekerjaan, pelaksanaan pekerjaan, dan pengawasan pekerjaan.Â
Kegagalan konstruksipun  di dalam UU No. 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi dinyatakan konstruksi gagal hanya dinyatakan sebagai bangunan gagal jika "suatu keadaan keruntuhan bangunan dan/atau tidak berfungsinya bangunan setelah penyerahan akhir hasil Jasa Konstruksi".Â
Pada UU tersebut tidak dinyatakan, atau tidak diatur sebab kegagalan konstruksi sebagai upaya tindak penyimpangan atau ketidak-sesuaian hasil pekerjaan, atau kesalahan di dalam tahapan pembangunan mulai dari Perencangan, Pelaksanaan dan Pengawasan pembangunan sebuah konstruksi/bangunan. Hal tersebut dinyatakan secara tidak langsung pada definisi sebuah kegagalan bangunan.Â
Pada UU No.18 tahun 1999 disebutkan " Sebagai keadaan bangunan, yang setelah diserahterimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa, menjadi tidak berfungsi dengan baik secara keseluruhan maupun sebagian, dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa.Â