Bacaan Kamis  18  November 2021
Luk 19:41 Dan ketika Yesus telah dekat dan melihat kota itu, Ia menangisinya, 42 kata-Nya: "Wahai, betapa baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu! Tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu. 43 Sebab akan datang harinya, bahwa musuhmu akan mengelilingi engkau dengan kubu, lalu mengepung engkau dan menghimpit engkau dari segala jurusan, 44 dan mereka akan membinasakan engkau beserta dengan pendudukmu dan pada tembokmu mereka tidak akan membiarkan satu batupun tinggal terletak di atas batu yang lain, karena engkau tidak mengetahui saat, bilamana Allah melawat engkau."
Renungan
Sebutan bocah "gembeng"-an, disematkan pada anak yang mudah menangis. Sedikit-sedikit menangis. Sebentar-bentar "mewek". Tersenggol, menangis. Ditinggal ibunya ke tetangga, menangis. Listrik mati menangis. Jagungnya dipatuk ayam menangis.
Kita semua pernah menangis. Meratapi banyak hal yang telah terjadi dalam kehidupan sendiri dan liyan. Â Entah sudah berapa liter air mata tertumpah. Rasanya jarang orang bertanya kapankah manusia harus menangis?
Bacaan Injil hari ini menarasikan Yesus yang menangisi kota Yerusalem. Saat masuk Yerusalem, Yesus dielu-elukan orang banyak. Ironis. Yesus malah menangis. Bukan karena "trenyuh" atas sambutan luar biasa  orang banyak. Tapi karena aroma kebencian dan penolakan pemuka-pemuka agama yang dengan mudah dapat membalikkan keadaan mereka. Orang banyak yang kini euphoria menyambut kedatangan Yesus, berteriak "Hosana, hidup Yesus!" dalam waktu sekejap dapat dihasut dan berubah berteriak lantang  "Bunuh Yesus. Salibkan Dia!" Yesus menangisinya.
Secara terang-terangan Yesus memasuki Yerusalem. Markas besar pentolan-pentolan penghujat dan penolak-Nya. Yerusalem  kota puncak penyelamatan-Nya, berdiam dan berisi pemuka-pemuka agama berhati serigala.Â
Tiada henti dengan berbagai cara, penuh kebencian mereka mau melenyapkan-Nya. Darah-Nya, darah penyelamatan akan mereka tumpahkan. Setetes darah-Nya, darah kehidupan umat manusia, mereka sia-siakan. Yerusalem yang megah, pemuka agamanya pongah. Menentang-Nya. Yesus menangisinya.
Yerusalem, semestinya menjadi Bait Allah, Kota Suci. Kota kasih, kota damai sejahtera sukacita, kota teladan beriman, kota kebaikan kebenaran dan keindahan, kota keselamatan  jadi arogan, menutup diri bagi terlaksananya rencana dan kehendak Allah. Yerusalem jadi kota di mana aroma Allah jadi asing. Yesus bagai bapa yang datang kepada anak-anaknya, namun mereka  "pangling", tidak mengenal-Nya. Bahkan Yesus dipandang sebagai maling.  Yesus meratapinya "Wahai, betapa baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu! Tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu." Yesus menangisinya.
Yerusalem ternyata tetap bertegar tengkuk. Bebal tak mau berbenah dan berubah. Kabar sukacita, Allah yang mengasihi manusia secara paripurna, total, utuh penuh menyeluruh, tak diberinya perhatian. Seakan patung, mereka punya mata tak melihat. Bertelinga tak mendengar. Bermulut tak mau bicara. Berkaki tangan tak  berjalan dan melambaikanya. Mereka tak merespon tawaran damai sejahtera Allah dalam diri-Nya. Yesus menangisinya.
Kehadiran Yesus, menjadikan si buta melihat, si tuli mendengar, si bisu berbicara, si lumpuh berlarian, si mati hidup kembali, si sakit sembuh, adalah alarm lawatan Allah kepada umat-Nya. Kehadiran Allah dalam Yesus disingkapkan, namun mereka kekeh menutup mata telinga dengan segenap hati jiwa kekuatan akal budinya. Kesempatan di depan mata, dibiarkannya lewat dan hilang. Â Mereka mementalkan diri dari sumber kehidupan. Bagai ikan bawal meloncat ke daratan. Mereka bunuh diri. Â Mati terpisah dari air kehidupan. Yesus menangisinya.