[caption caption="fenomena Brocken Spectre di puncak G. Batur, Bali"][/caption]Sebuah program bernama Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) yang diselenggarakan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal; sekarang menjadi Badan Informasi Geospasial disingkat BIG) pada tahun 2007 mengambil lokasi di Bali. Salah satu program EGI adalah mendaki Gunung Batur (+ 1.717 m). Di bulan Mei 2007 itu, satu tim EGI bidang abiotik terpaksa harus bangun pukul 2 dinihari untuk bersiap-siap mendaki gunung api aktif tersebut. Pukul 4 subuh tim sudah beranjak mendaki dari satu tempat di kaki gunung, Purajati. Pukul 5.30 beberapa anggota tim sudah berhasil mencapai bibir kawah.
Selain disambut warung yang menyajikan mie rebus, dan teh atau kopi panas, sinar matahari telah menyemburat dari timur. Dalam bayangan warna lembayung pagi, tampak di kejauhan sebuah kerucut muncul di antara awan-awan. Kerucut itu tidak lain adalah Gunung Rinjani di Pulau Lombok. Di samping kanan Rinjani dalam jarak yang lebih dekat, dinding Gunung Abang, dinding Kaldera Batur paling tua, membayang berwarna hitam. Bayangan itu menyamarkan kerucut besar di belakangnya, Gunung Agung. Di bangku warung itu, semua pendaki memandang takjub pemandangan di depannya.
Fenomena Brocken Spectre
Istirahat setengah jam di warung itu sudah cukup memulihkan tenaga untuk menjelajah kawah Batur tua yang sudah tidak aktif lagi. Puncaknya hanya tinggal beberapa puluh meter saja menelusuri dinding kawah. Beberapa anggota tim segera beranjak pergi dengan sedikit menanjak pada jalan setapak dari pasir dan abu lepas. Sinar matahari yang kadang-kadang terbuka atau tertutup kabut, sekali-kali menyorot dinding kawah yang tampak berlapis-lapis antara endapan piroklastik dan lava.
Di puncak itu rupanya sudah ramai dengan para pendaki wisatawan manca negara yang telah tiba terlebih dahulu. Kebanyakan dari Prancis. Setelah puas mengobservasi dan mencatat kondisi di Puncak Batur, kami pun segera kembali turun. Kembali ke arah warung.
Ketika menuruni punggungan kawah itulah, kabut tebal menyergap kami. Saya yang banyak berhenti untuk mengamati singkapan batuan, tertinggal paling belakang. Dalam balutan kabut, kawan di depan saya sudah tidak tampak. Jarak pandang mungkin hanya 2 m. Dengan hati-hati saya menapaki jalan setapak berpasir itu dalam pandangan terbatas karena kabut yang turun. Lalu saat itulah darah saya terkesiap. Terkejut bukan kepalang!
Walau masih dalam keterkejutan, nalar saya masih wajar, “Jangan-jangan bayangan itu adalah bayangan saya sendiri.” Saya angkat tangan kiri saya, dan penampakan itu pun mengangkat tangannya. Haha! Itu memang bayangan saya sendiri. Rupanya sinar matahari yang menyorot menembus sela-sela kabut dari sisi kiri saya terproyeksikan pada dinding kabut yang seolah-olah menjadi layarnya. Segera kamera saya jepretkan menangkap fenomena luar biasa itu. Saat kabut menghilang, fenomena itu pun ikut menghilang.
Dalam olahan digital, ketika saya naikkan kontras foto, menghasilkan penampakan yang luar biasa. Bayangan hitam saya yang sedang mengangkat tangan dilatarbelakangi lingkaran cahaya halo yang berwarna pelangi. Sungguh fenomena menakjubkan! Berselancar di Wikipedia, fenomena itu dikenal sebagai Brocken Spectre. Rupanya bukan sesuatu yang baru walapun memang langka dan tidak setiap orang mengalaminya.
Menurut Wikipedia, Brocken Spectre diperkenalkan pertama kali dalam Bahasa Jerman Brockengespenst. Istilah lain dikenal sebagai Bungkukan Brocken (Brocken Bow) atau hantu gunung. Fenomena itu adalah bayangan yang penampakannya besar dan diperbesar dari si pengamat sendiri yang disorotkan oleh sinar matahari pada permukaan atas awan atau kabut. Fenomena ini dapat muncul pada setiap gunung atau bukit yang berkabut , atau bahkan bayangan pesawat terbang yang dapat dilihat dari jendela pesawat yang terproyeksikan di atas awan.
Fenomena ini diamati pertama kali di Pegunungan Harz di Jerman dan menciptakan sebuah legenda lokal tentang Hantu Brocken, nama yang dipergunakan untuk fenomena ini. Pertama kalinya, fenomena Hantu Brocken diamati dan dijelaskan oleh Johann Silberschlag pada tahun 1780. Sejak itu, fenomena ini sering dicatat dalam berbagai literatur di banyak tempat di wilayah pegunungan.