Saat Indonesia dikuasai Jepang 1942 – 1945, rupanya riset geologi tetap berjalan. Namun, ketika semua pegawai Belanda menjadi tahanan kota interniran, Jepang terpaksa mengambil para ahli yang berasal bukan dari negara musuhnya. Walaupun beberapa orang Belanda akhirnya dipekerjakan kembali, misalnya R.W. van Bemmelen, tetapi Jepang memberi kesempatan kepada para ahli dari sekutunya Jerman atau dari negara yang dianggap netral. Maka datanglah ke Bandung geologiwan Werner Rothpletz dan arkeologiwan Hans Georg Bandi, keduanya dari Swiss negara netral pada Perang Dunia II.
[caption id="attachment_384736" align="aligncenter" width="560" caption="Sketsa Batu Panyandaan Rothpletz (1951) dan kondisi 2004 dan 2015"][/caption]
Bandi meneruskan penelitian tentang alat-alat batu obsidian di Perbukitan Bandung Utara yang pernah dikerjakan oleh geologiwan-paleontologiwan G.H.R. von Koenigswald pada tahun 1935. Di sisi lain, Rothpletz menjelajah perbukitan Bandung Utara yang disebut secara keliru sebagai Pulusari Scholl (Blok Pulusari) alih-alih Palasari, toponimi yang benar. Jika Bandi meneliti temuan-temuan alat batu obsidian berukuran kecil (mikrolitik), Rothpletz mendata situs-situs prasejarah, beberapa merupakan tinggalan megalitik (budaya batu besar).
Dalam makalah berbahasa Jerman yang diterbitkan pada tahun 1951 oleh Museum Etnologi Basel berjudul “Alte Siedlungsplätze Bei Bandung (Java) Und Die Entdeckung Bronzezeitlicher Gussformen” (Tempat Pemukiman Kuno Di Bandung (Jawa) dan Penemuan Cetakan Zaman Perunggu), beberapa hasil penelitian Rothpletz sangat menarik dalam konteks tata guna lahan saat ini. Menurut profesor emeritus Geologi ITB, Prof. Dr. R.P. Koesoemadinata, Werner Rothpletz diijinkan oleh Jepang untuk melakukan penelitian di Bandung Utara, tetapi tidak boleh membawa peta dan kamera. Begitulah, maka pada makalahnya sama sekali tidak menyertakan peta dan foto, hanya tabel dan sketsa.
Hal yang paling menarik dari makalah Rothpletz, terutama melalui sktesanya, adalah disimpulkannya beberapa punggungan bukit sebagai sisa-sisa permukiman kuno masyarakat perbukitan Bandung Utara. Mereka tinggal di punggungan bukit dengan dibatasi oleh parit-parit yang diperkirakan merupakan parit pertahanan, terutama dari ancaman binatang buas. Hasil telitian Rothpletz boleh dikatakan hampir seluruh perbukitan Bandung Utara dari Dago di barat hingga Ujungberung-Cilengkrang di timur telah berpenghuni cukup padat dan dengan ladang-ladang pertanian. Selama masa prasejarah hingga Zaman Perunggu dapat dikatakan guna lahan perbukitan Bandung Utara bukanlah hutan seluruhnya, tetapi kawasan perladangan yang tidak berbeda dengan kondisi sekarang ini.
Inilah nama-nama toponim yang didaftar oleh Rothpletz yang mempunyai tinggalan arkeologinya: Dago titik geodesi KQ380 (sekarang lokasi SDN Pakar dan Kordon), Pr. (Pasir) Soang, Cikebi, Pr. Goleah, Ciharalang, Tugu, Kiarajanggot, Pr. Honje, Pr. Layung, Cimenyan, Pr. Panyandaan, Pr. Panyandaan KQ273, Kandangsapi, Singkur, Cikadut, Pabrik Arjasari, Sekekandang, Cibentar, Jatiluhur, Sekebunar, Cigirinsing, Cianjur, Pr. Luhur, Cinangka, dan Pr. Bongkor. Banyak toponim bertahan sampai sekarang, tetapi beberapa berubah nama atau memang Rothpletz salah catat. Misalnya ia menulis Pr. Panyandakan padahal seharusnya Pr. Panyandaan.
Dari semua situs yang dicatat Rothpletz, Pr. Panyandaan merupakan tinggalan yang fenomenal dari sisi bentuknya. Di bukit yang berada kira-kira 4 km sebelah utara terminal Cicaheum, dua situs terdata dan masih terpelihara sampai sekarang. Keduanya berdekatan dengan titik tinggi geodesi KQ273/1027 m pada koordinat GPS 6o52’27,9”LS – 107o40’40,5”BT berupa tumpukan batu-batu membulat dengan batu-batu ceper. Tumpukan batu-batu itu dibentuk menyerupai kursi tersusun membentuk huruf U yang menghadap persis ke arah selatan. Di bagian tengah huruf U tersebut diletakan batu ceper. Ukuran keseluruhan situs ini 4 x 4 meter.
Jika kita duduk di atas batu ceper di tengah batu huruf U itu, kita bisa bersender pada batu di belakangnya yang berupa batu ceper juga tetapi diletakkan secara tegak. Saat duduk itulah, pandangan kita tepat ke selatan memandang cekungan Bandung yang terhampar luas. Jauh di selatan, arah pandang kita tertambat di puncak-puncak Gunung Malabar. Panyandaan menurut Kamus Umum Basa Sunda terbitan Lembaga Basa dan Sastra Sunda (1995) berkata dasar ‘nyanda’ yang berarti ‘nyarande bari nyanghunjar’. Artinya duduk bersandar dengan kaki lurus. Masyarakat setempat menyebutnya Makam Panyandaan.
Situs kedua berada sekitar 30 meter sebelah utara dari Makam Panyandaan. Di sini situs lebih sederhana, hanya berupa susunan batu-batu melingkar mengelilingi batu-batu ceper. Ukurannya 2 x 3 meter memanjang ke arah utara. Terdapat pula batu bulat yang diletakkan di atas batu ceper, disebut batu pelor atau batu peluru. Sebenarnya menurut sketsa Rothpletz, di Makam Panyandaan yang pertama terdapat juga batu pelor, tetapi sekarang sudah berubah bahkan hilang.
[caption caption="Situs-1 kiri, dan Situs-2 kanan"]
Kuncen yang menjaga Makam Panyandaan, Abah Atang Supriatna menjelaskan bahwa kedua situs ini adalah makam leluhur Sunda. Makam yang di utara (situs 2) merupakan makam tempat menghilangnya (tilem atau moksa) Raden Mundingwangi, sedangkan makam yang di selatan (situs 1) merupakan tempat dikuburkannya isteri Raden Mundingwangi yaitu Raden Langgeng Sekar Kedaton. Itulah mengapa disebut pula makam Eyang Pameget (eyang laki-laki) dan Eyang Isteri (eyang perempuan).
Lebih jauh Abah Atang menjelaskan bahwa Raden Mundingwangi asal-usulnya adalah Eyang Permana di Kusuma dari Lakbok Banjar yang merupakan keturunan Blambangan, Hayam Wuruk, dan Ciung Wanara. Ciung Wanara yang berkuasa di Karang Kamulyan, Galuh, berputerakan Ratu Purbasari yang berkuasa di Pangandaran. Ia kemudian menurunkan Eyang Lingga Hyang di Sumedang, lalu berketerunan Prabu Linggawesi dai Sumedang dan Majalaya, lanjut ke Prabu Susuk Tunggal di Bukittunggul, ke Prabu Mundingkawati di Garut – Cihaliwung, ke Prabu Anggalarang di Gunung Sunda, Wanayasa, hingga ke Nisakala Wastukancana di Pakuan, Bogor.
Prabu Niskala Wastukancana inilah ayah dari Raden Mundingwangi yang kemudian menikah dengan Raden Langgeng Sekar Kedaton yang merupakan puteri dari Ratu Puranagara Dewa Rajasana. Menurut abah kuncen, situs-2 makam Raden Mundingwangi merupakan makam Islam, sedangkan situs-1 makam Raden Langgeng Sekar Kedaton dianggap makam Hindu. Entahlah. Mungkin karena di susunan batu di situs 2 terdapat batu menhir yang berdiri tegak di sisi utara sehingga dianggap bagian kepala sehingga mirip kuburan-kuburan Islam di Indonesia yang mengarah ke utara.
Saat ini kedua situs tersebut dan tugu geodesi KQ273 masih ada pada lingkungan pesantren Baitul Hidayah. Beruntunglah pemimpin pesantren, Ustadz Iwan Sofyan menyadari bahwa keberadaan kedua situs itu penting untuk prasejarah Cekungan Bandung. Ia kan mempertahankan keberadaan kedua situs tersebut. Satu hal yang tentu saja tidak sesuai dengan ajaran Islam berupa ritual-ritual tertentu yang biasa dilakukan di situs-situs batu yang dianggap makam leluhur, ia akan kikis perlahan-lahan ***
[caption caption="Di Situs-1 Panyandaan. Ki-Ka: T. Bachtiar, Ustad Iwan Sofyan, saya sendiri, Prof. R.P. Koesoemadinata"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H