Mohon tunggu...
Budi Brahmantyo
Budi Brahmantyo Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Aktivis geotrek; koordinator KRCB (Kelompok Riset Cekungan Bandung)'penulis buku "Geologi Cekungan Bandung" (Penerbit ITB, 2005), "Wisata Bumi Cekungan Bandung" (Trudee, 2009) dan "Geowisata Bali Nusa Tenggara" (Badan Geologi, 2014), dan "Sketsa Geologi" (Penerbit ITB, 2016)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lebaran Sakeudeung Deui!

14 Juli 2015   23:16 Diperbarui: 14 Juli 2015   23:16 1192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebaran sakeudeung deui,” begitulah teriakan saya dan adik-adik pada minggu terakhir bulan Ramadhan saat dulu masih kecil di dekade 1970-an. Bagi anak kecil tentu saja puasa adalah sesuatu yang ingin segera berakhir (bagi kolot juga, ding). Benar seperti disampaikan pada ceramah-ceramah agama, bagi orang yang berpuasa itu akan mendapat dua kegembiraan, yaitu pada saat berbuka, dan di akhirat nanti. Begitu juga akhir Ramadhan diakhiri dengan kegembiraan merayakan Hari Raya Idul Fitri alias Lebaran. Walaupun selalu ditekankan bahwa kita harus merindukan bertemu Ramadhan kembali di tahun-tahun berikutnya.[caption caption="sumber: www.cekaja.com"][/caption]

Menjelang lebaran di dekade 1970-an, saya kumpulkan 10 peristiwa kenangan yang pasti dialami oleh mereka yang pernah menjadi anak kecil di tahun-tahun tersebut.

  1. Hantaran. Ini adalah kebiasaan yang sebenarnya sangat baik berupa saling mengirim makanan kepada tetangga. Mungkin karena mengandung janji ganjaran pahala (orang yang memberi makanan kepada yang berpuasa akan dilipatgandakan pahalanya). Ibu jadi sibuk seperti hajat saat peristiwa ini. Maka ritual menghantar baki makanan ke tetangga-tetangga adalah sesuatu yang kadang menyebalkan, apalagi pada tetangga yang punya anjing galak. Begitu pun para tetangga akan saling membalas hantaran kita. Sampai ada guyonan hantaran kita bisa-bisa kembali ke kita. Acara ini akhirnya menghilang. Salut untuk satu rumah tangga yang pertama-tama ‘tebal telinga’ menghentikan ritus ini yang kemudian tahun berikutnya diikuti oleh rumah tangga lainnya. Berakhir sudah ritus hantaran.[caption caption="hantaran lebaran (sumber: www.nasikentjana.com)"]
    [/caption]
  2. Parsel. Bapak saya di PJKA bukanlah pejabat tinggi, tapi hanya pegawai administrasi biasa. Namun suatu saat datang juga kiriman parsel. Entah minta pamrih apa kepada bapak bagi si pengirim parsel. Bagi anak-anak, kiriman itu sungguh membanggakan dan senang. Tiap hari parsel yang disimpan di atas televisi (dulu jaman televisi berkaki dan ada pintunya hehehe…) selalu kami pandangi, dicolek-colek, ingin segera dibuka isinya. Tapi bapak sangat tegas, parsel hanya dibuka saat Lebaran.
  3. Kacang bawang. Ini lagi yang bikin menderita. Tidak seperti sekarang ketika kacang bawang tersedia banyak di toko-toko, dulu ibu-ibu membuat sendiri dari kacang mentah. Kacang direbus tetapi kulitnya harus dikelupas. Satu-satunya cara adalah dengan menggunakan tangan. Maka, ibu langsung menyendok dengan piring rebusan kacang itu dan dibagi ke anak-anak dengan tugas menguliti. Satu anak satu piring. Yaah… biasanya sambal menunggu siang (ngabeubeurang) setelah sahur, atau menunggu malam/magrib untuk berbuka (ngabuburit). Kami mengerjakannya dengan wajah tertekuk. Saking banyaknya kacang rebus yang harus dikuliti, kulit jari menjadi berkeriput.[caption caption="jatah mengupas kacang bawang (sumber: www.linaresshelvy.com)"]
    [/caption]
  4. Nastar dan kastengel. Sama juga ketika sekarang banyak kue nastar dan kastengel dijual, dulu ibu-ibu sangat kreatif dengan membuat sendiri. Tapi kalau yang ini, tugas anak-anak sedikit menyenangkan. Tugasnya paling melinting dan mencetak adonan dan mengolesi dengan kuning telur sebelum masuk oven. Senangnya selain bentuk standar prismatik untuk kastengel dan bulat untuk nastar, anak-anak boleh membuat bentuk dan pola adonan personal sendiri.[caption caption="nastar dan kastengel"]
    [/caption]
  5. Khong Guan Biscuit. Kaleng biskuit ini menjadi ikon lebaran di Indonesia, bahkan sampai sekarang. Sungguh suatu keberhasilan pemasaran yang luar biasa bagi produsen biskuit Khong Guan. Dengan disain gambar di kaleng perseginya yang khas dan banyak dirisak (bully) di media sosial sekarang ini, biskuit ini menjadi ciri khas kue lebaran di setiap rumah selain kacang bawang, nastar, kastengel, dan peuyeum/tape ketan. Satu yang khas dan terjadi di setiap rumah tangga, kue yang tersisa di dalam kaleng Khong Guan di sebulan setelah Lebaran adalah kue-kue jenis flat (yang tidak berlapis gula, krim atau coklat). Saking awetnya, bahkan sampai bubuk. Setelah beberapa lama, Khong Guan tergantikan oleh Monde yang lebih renyah dan lebih mahal, dan lebih cepat habis. Lebaran tahun berikutnya, kaleng kosongnya diisi rangginang.[caption caption="biskuit ikon lebaran"]
    [/caption]
  6. Petasan. Sekarang berhasil dilarang. Tapi saat dulu, petasan menjadi bagian dari ngabuburit. Bahkan seorang tetangga, pak Nahdi namanya, mempunyai kebiasaan menyulut petasan renteng di hari terakhir Ramadhan. Maka rentetan suara ledakan petasan renteng menjadi bagian nostalgia yang selalu mengingatkan kepada pak Nahdi. Namun petasan memang bahaya. Banyak teman-teman yang tangannya harus diamputasi karena petasan meledak di tangan.[caption caption="petasan renteng (sumber: article.wn.com)"]
    [/caption]
  7. Meriam lodong. Selain petasan, ini jenis yang juga tidak disukai orang tua karena suara keras ledakannya yang mengganggu. Meriam yang terbuat dari bambu ini berbahan karbit yang dimasukkan ke dalam bambu (yang ditutup dulu ujungnya dengan kaleng susu). Karbit yang diperciki air akan bereaksi menghasilkan gas yang akan mengisi seluruh ruang di dalam bambu. Dengan menyulutkan api pada lubang kecil di atas bambu, ledakan akan terjadi BLAAAR… dan umumnya para orang tua langsung sewot.[caption caption="lodong (sumber: www.matraitemdoeloe.blogspot.com)"]
    [/caption]
  8. Pisau Rel Kereta Api. Ini adalah kreativitas anak jaman dulu yang sangat berbahaya. Anak-anak sambil ngabuburit akan mencari paku ukuran besar. Paku-paku ini diletakkan di atas besi rel kereta api. Saat kereta api lewat dengan kecepatan tinggi, paku-paku ini akan gepeng tergilas. Jadilah pisau setelah beberapa kali digilaskan di atas rel kereta api. Tak ayal anak-anak kreatif yang dulu melakukannya di sekitar Stasiun Andir (Bandung), sering dikejar-kejar petugas stasiun kereta api.[caption caption="pisau paku siap digilas kereta api (sumber: www.suaramerdeka.com)"]
    [/caption]
  9. Malam Takbiran. Bapak ketika punya mobil kecil Mitshubishi Minibus warna putih yang dinamai Si Epon, akan selalu mengajak anak-anak berkeliling kota, berbaur dengan takbir keliling dan taluan bedug yang banyak dilakukan banyak warga kota. Hore, besok Lebaran. Betapa bahagianya. Nanti malam tidak perlu bangun untuk makan sahur lagi saat janari (istilah di Sunda untuk waktu sebelum subuh). Allohu-akbar Allohu-akbar Allohu-akbar, Laa-iIlahaillalohu-allohu-akbar, Allohu-akbar walilla-ilhamd.[caption caption="dulag / beduk keliling (sumber: www.itusaja.co)"]
    [/caption]
  10. Sajian buat Si’mbah. Menjelang solat Ied di pagi hari dalam kumandang takbir yang terdengar dari lapangan dan masjid-masjid, bapak biasanya dengan tertib akan menyisihkan pisin dengan beberapa kue dan beberapa batang rokok serta segelas kopi untuk disimpan di sudut tertentu di dalam rumah. Ketika anak-anak bertanya untuk apa, Bapak menjelaskan untuk para leluhur yang telah mendahului kita. “Buat si’mbah, supaya ikut bergembira merayakan Lebaran” katanya. Sungguh maksudnya suatu jalinan batin kepada orang-orang tua yang telah meninggal. Kebiasaan ini lama-lama menghilang juga sejalan dengan semakin baiknya pemahaman Islam di keluarga kami.[caption caption="kopi dan kue sajian utk leluhur (sumber: www.haryantoruz.wordpress.com)"]
    [/caption]

Itulah sepuluh peristiwa kenangan yang tidak lekang dari ingatan kami, anak-anak jadul di dekade 1970an. Apakah pembaca Kompasiana mengalami hal yang sama (walau di tempat yang berbeda)?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun