Mohon tunggu...
Bingar Bimantara
Bingar Bimantara Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Mager

Seorang anak petani yang sekarang berjuang menjadi sarjana. Sering patah hati namun tak pernah putus harapan. Berusaha menyibukkan diri agar tidak luntang-lantung di kos.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Demo Mahasiswa Kini yang Kurang Greget

28 Desember 2018   15:39 Diperbarui: 5 Januari 2019   16:22 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Demo juga hanya begitu-begitu terus sejak zaman dulu. Tidak pernah ada terobosan unik selain teriak-teriak dengan megapon, atau membakar ban, dan ujung-ujungnya berusaha mendobrak pagar gedung DPR. Ngenesnya lagi, yang didemo sama sekali tidak respons terhadap demonstran. La iya percuma wong yang didemo malah asik makan siang di dalam. Teriak-teriak sampai berbusa pun tidak bakal terdengar. Zaman sekarang pajabatnya itu kurang peka berpenyakit lupa dan budeg.

Apa mungkin uang makanya kurang ya. Tak dapat dipungkiri bahwa demostrasi kerap di baliknya ada donatur yang siap membiayai kebutuhan para pendemo. Ini tak lebih dari penonton bayaran di acara di Televisi. Para demostran dibayar, gamblangnya tukang demo bayaran. 

Gimana demonya nggak greget BEM sekarangkan lebih sibuk membuat event kampus. Di ajak demo mau saja mumpung acara seminar nasional masih minggu depan, lumayanlah untuk mengisi waktu luang. Tidak heran kalau seruan untuk pembubaran BEM, DPM, dan perankanaya viral. Memang kerjanya BEM sekarang lebih tidak lebih dengan EO (Event Organizer).

Perebutan kekuasaan politk kampus demi kekuasaan ini membuatnya menoreh hujatan. Budaya ini mengakar terus sampai berlarut-larut. Saya sendiri tidak peduli dengan BEM bubar ataupun tidak. Namun yang penting kita bersama-sama untuk gerakan persatuan serta meningkatkan solidaritas di antara diri kita sendiri, itu yang paling penting.

Kini aku rindu budaya kritis di dalam kampus. Sekarang mahasiswa cenderung individu. Orientasinya adalah ekspetasi nilai sempurna. Tuntutan mahasiswa agar lebih berprestasi justru menciptakan aura kompetisi yang tidak sehat. Hingga semuanya haus akan pujian prestasi, membuat diri kita lupa terhadap kondisi lingkungan kita sendiri.

Seruan untuk bergerak bersama menentang yang salah sudah sunyi terdengar. Mereka lebih asik sedang menggenggam smartphone asik stalking di media sosial. Duduk di kelas katanya sedang belajar kata Najwa Shihab. Melupakan semua dan terlena ada nasib-nasib dan ketamakan pimpinan yang perlu dilawan. Pantas saja dari masyarakat menjadi geram. Ini pukulan kita bersama untuk melihat ke bawah bukan ke atas. Melihat dan merenungi diri kita.

Gairah budaya berpikir kritis kini pun mulai luntur. Diskusi-diskusi mulai minim dilihat dihadapan publik. Lebih menyibukkan diri dengan tugas-tugas dari mahaguru dosen yang maha kuasa. Budaya diskusi liar dan bebas semakin redup digantikan diskusi di panggung-panggung acara formal.

Ya, kalau saya sendiri berpesan banyak-banyak belajar saja. Mengkritisi pemerintah boleh-boleh saja, omong besar dan lantang oral kalian harus selaras dengan IPK kalian. Belajar yang baik jujur dan bila ada tugas kerjakan sendiri, jangan Ctrl+C lalu Ctrl+V ini perbuatan yang tidak terpuji. Belajar yang baik agar kita nanti bisa menjadi pemimpin bangsa yang bijak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun