Mohon tunggu...
Bayu Yoga Dinata
Bayu Yoga Dinata Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Komunikasi Brawijaya Malang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sarjana Pengangguran?!

22 Desember 2010   11:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:29 1215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Badan Pusat Statistik melakukan survei tenaga kerja setiap Februari dan Agustus setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, pengangguran dengan gelar sarjana sekitar 12,59%. Dari data di atas, sudah sangat jelas Indonesia mempunyai permasalahan yang tidak ringan dalam mengatasi pengangguran, utamanya yang bergelar sarjana. Sudah kuliah bayar mahal, ujung-ujungnya menganggur juga. Bila tidak segera diatasi, angka ini bukannya semakin turun tapi akan melonjak naik. Apalagi bila mengingat tiap tahun ada dua gelombang wisuda di tiap Perguruan Tinggi (PT), maka tinggal mengalikan saja jumlah tersebut dengan jumlah PT di Indonesia.

Bagi sarjana yang sudah mendapat pekerjaan pun, nasib mereka masih terancam juga dengan PHK mengingat kondisi perekonomian Indonesia yang masih saja belum bangkit dari keterpurukan. Krisis global yang menginduk kepada Kapitalisme berimbas juga pada semakin tingginya angka pengangguran. Bila sudah begini, kemana lagi akan mencari solusi atas tingginya pengangguran sarjana ini?

Sesungguhnya Indonesia mempunyai sumber daya manusia yang besar. Jumlah penduduk Indonesia saat ini sekitar 225 juta orang. Jumlah penduduk yang besar ini merupakan modal dasar dan pasar potensial bagi berbagai produk dan jasa. Oleh karena itu dunia internasional menjadikan Indonesia sebagai sasaran pasar mereka. Dengan pertumbuhan penduduk sekitar 1,36 persen per tahun, Indonesia mendapat tambahan 3,5 juta orang per tahun atau sejumlah penduduk Singapura. Penduduk yang banyak bisa menjadi modal yang berharga seandainya tingkat pendidikannya cukup tinggi dan berkualitas. Walaupun sudah lebih dari 90 persen anak-anak Indonesia mengenyam tingkat pendidikan dasar 6 tahun tapi yang bisa melanjutkan pendidikannya ke sekolah lanjutan pertama, sekolah menengah atas dan perguruan tinggi sangat sedikit. Hambatan utama yang dihadapi adalah kemiskinan.

Rendahnya tingkat pendidikan dan kualitas pendidikan orang-orang Indonesia membuat mereka tak bisa bersaing di bursa tenaga kerja lokal dan internasional. Walaupun Indonesia sudah mempunyai lebih dari 2800 perguruan tinggi (hanya 82 perguruan tinggi negeri) dan meluluskan ribuan sarjana tapi karena kualitasnya kurang memadai sehingga banyak sarjana yang menganggur. Saat ini diperkirakan terdapat lebih dari 40 ribu sarjana yang menganggur atau pengangguran terselubung. Sebuah survey internasional baru-baru ini menunjukkan bahwa peringkat Universitas Indonesia menurun menjadi ke urutan di bawah 250 di antara 8000 universitas terkemuka di dunia. Tingkat ini berada di bawah ITB dan UGM. Kualitas perguruan tinggi lainnya di Indonesia tentu lebih rendah. Jadi tidak heran banyak keluarga yang menyekolahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi di luar negeri. Ini suatu pemborosan yang nyata dalam pendidikan. Dalam kancah internasional, rendahnya pendidikan dan kualitas tenaga kerja Indonesia membuat tenaga kerja Indonesia hanya laku sebagai pembantu rumah tangga di negara-negara lain. Ini tentu saja mengurangi citra dan martabat Indonesia di negara-negara tujuan tempat orang-orang Indonesia bekerja.

Sudah saatnya para sarjana di Indonesia berfikiran out of the box. Keluar dari kebiasaan lama yang beranggapan setelah jadi sarjana selanjutnya melamar jadi karyawan khususnya PNS. Seperti yang disampaikan Kepala Bidang Pelatihan dan Penempatan Dinas Tenaga Kerja dan Sosial (Disnakrsos) Pemkot Malang Sri Supangasih, Rabu (4/8). Diungkapkan bahwa tingginya angka pengangguran di Kota Malang tidak lepas dari tingginya angka ketergantungan para pencari kerja terhadap jenis pekerjaan di sektor formal, seperti karyawan perusahaan atau perkantoran dan pegawai negeri sipil (PNS). "Para sarjana tidak boleh bergantung pada pekerjaan di sektor formal tetapi harus berani menjadi wiraswasta." (dikutip dari TEMPOInteraktif,MALANG).

Namun seringkali para sarjana enggan berwirausaha dengan berbagai alasan. Seperti yang diungkapkanIpung(25) saat ditemui dalam acara JOB FAIR FE Universitas brawijaya. Sarjana Psikologi ini mengatakan dia sudah dua kali mengikuti acara serupa. Diakuinya ia memang terbersit untuk berwirausaha namun terhambat masalah permodalan. Karena itu ia memilih bekerja terlebih dahulu untuk mengumpulkan modal. Berbeda dengan Yustin (23). Di temui di acara yang sama sarjana Akuntansi ini justru tidak berminat sama sekali untuk berwirausaha. Ia menuturkan lebih senang bekerja menjadi Akuntan yang memang sesuai dengan jurusan yang ia ambil.

Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang memiliki keinginan yang berbeda. Tidak semua orang mau dan bersedia bersusah payah menjadi wirausahawan. Banyak yang masih senang dan suka menjadi pegawai biasa. Hidup aman dan uang tiap bulan datang. Namun tidak semua orang saat ini bisa menjadi bagian dari mereka yang hidup aman. Harus ada yang rela dan mau bersusah-payah untuk menciptakan lapangan pekerjaannya sendiri. Karena memang lapangan kerja yang ada tak sanggup menampung seluruh masyarakat Indonesia yang ingin hidup aman menjadi pegawai atau karyawan.

Karena itulah Kementerian Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah mengatakan siap menampung sarjana calon wirausahawan muda. Untuk mendapatkan modal, para sarjana dapat memanfaatkan ijazah sebagai agunan. Dikutip dari harian KOMPAS Menteri Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Syarief Hasan, menuturkan pihaknya siap membantu para sarjana untuk mendapatkan modal usaha dengan menyampaikan proposal. Jika proposal itu visible dan layak secara bisnis, maka mereka langsung diberikan modal. Untuk wilayah Jatim, Kementerian Urusan Koperasi dan UKM siap menampung sekitar 1.000 sarjana tahun 2010 ini. Fasilitas kewirausahaan bagi mahasiswa sangat penting. Menurut Kepala Dinas.

Sedangkan mereka yang bersikeras ingin menjadi pegawai sudah saatnya memiliki bekal kemampuan tambahan, seperti bahasa asing dan keahlian komputer. Karena kemampuan tambahan itu merupakan nilai plus bagi para pencari kerja. Seharusnya sejak masih kuliah mereka sudah mencari keterampilan tambahan agar tidak menjadi pengangguran dan menambah beban Negara.

Untuk memperkecil jumlah pengangguran pemerintah melakukan berbagai upaya seperti di kota Malang Disnakersos menggelar berbagai kegiatan, seperti bursa kerja. Selain itu juga terus menjalin kerja sama dengan perusahaan di luar Kota Malang untuk bisa merekrut warga Kota Malang sebagai tenaga kerjanya. Juga ditempuh upaya mempekerjakan para penganggur itu sebagai TKI di luar negeri. Begitu juga yang dilakukan berbagai instansi pendidikan. Kini Universitas tidak hanya sebagai lembaga pendidikan saja, namun ikut pula berperan dalam menyalurkan lulusannya agar bisa memasuki dunia kerja. Hal ini dilakukan melalui pembentukan lembaga seperti JPC (Job Placemen Center) di masing-masing Universitas. Contohnya JPC di Polinema, mereka kendati baru 2 tahun berdiri sudah menyalurkan ribuan lulusannya. Dra, Umi Habibah selaku pimpinan JPC Polinema memaparkan pihaknya terus melakukan upaya kerjasama dengan pihak luar guna menambah kesempatan bagi anggota yang mendaftar di JPC mereka untuk mendapat kesempatan kerja. Disampaikan pula bahwa perusahaan saat ini cenderung lebih banyak mencari lulusan diploma atau bahkan SMK ketimbang sarjana. Menurut Umi hal ini terjadi dikarenakan dengan pendidikan diploma atau SMK tenaga kerja lebih menguasai bidangnya. Sedangkan Sarjana Strata 1 justru cenderung lebih minim dalam penguasaan ilmu praktis atau praktek dilapangan. Karena Sarjana S-1 memang dibentuk untuk menempati jabatan manajerial yang cendenrung lebih pada pengambilan keputusan dan pembuatan rencana strategi perusahaan. Namun dalam kenyataannya jumlah posisi manajerial disbanding karyawan tentu lebih banyak karyawan. Sehingga seringkali para Sarjana kehilangan kesempatan mereka.

Problematika ini diperparah dengan masih bertahannya pemikiran lama yang membuat mereka enggan membuat lapangan kerjanya sendiri.
Anggota Komisi Pendidikan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Malang Tri Yudiani mengatakan, jumlah pengangguran yang tinggi itu harus menjadi perhatian serius semua pihak. Termasuk pihak Universitas, jangan hanya memberikan kesempatan bagi mereka yang sedang mencari kerja. Namun, memberikan kesempatan dalam berbagai bentuk bagi mereka yang ingin berwirausaha dan menciptakan lapangan kerjanya sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun