Mohon tunggu...
Bayu Yoga Dinata
Bayu Yoga Dinata Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Komunikasi Brawijaya Malang

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ditulis Dalam Cahaya

17 Desember 2010   03:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:39 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12925582601864614381

Anak itu datang 3 tahun yang lalu. Aku sudah merasa dia berbeda dengan anak-anak lainnya saat pertama melihatnya menatap matahari sambil tersenyum bahagia. Entah apa yang dipikirkannya -- mungkin sekedar memastikan apakah di tempat kami matahari juga bersinar terang--. Memang dia sedikit angkuh. Sebagai contoh saat kuajak berkenalan ia tidak menunjukkan respon sedikit pun. Pasif, bertindak defensive, lebih senang bertahan dari jangkauan orang-orang yang tak dikenalnya. Tak ada tanda-tanda ia akan mengambil inisiatif menyerang. Kehidupan kami dengannya seperti sebuah pertandingan sepak bola yang berakhir tanpa gol. Terasa ‘hambar’.

Dian nama anak itu. Dian yang berarti lilin. Seperti namanya, cahaya merupakan hadiah terbesar dari Tuhan yang ia dapatkan. Dian buta, tapi bukan buta total. Cacat di matanya memang membuatnya tidak dapat melihat dengan sempurna. Namun, Dian masih bisa melihat cahaya. Cahaya itulah kebahagiaan terbesar dalam hidupnya. Seumur hidup aku tak pernah melihat orang yang sebahagia Dian jika melihat cahaya. Cahaya lampu, senter, hand phone, tv, matahari dan yang paling Dian suka cahaya bulan. Terutama bulan purnama.

“Cahaya bulan itu lembut, selembut belaian kasih seorang ibu.” kata Dian padaku saat aku berhasil mendekatinya. Mudah saja ternyata mendekati orang seperti Dian. Seperti yang dikatakan sebuah buku berjudul “Bagaimana mempengaruhi orang lain”. Bicarakanlah apa yang orang itu sukai. Singkat saja, Dian menyukai cahaya. Maka kubicarakan soal cahaya di hadapan remaja itu. Sekarang ia sudah duduk di hadapanku menangis tersedu-sedu setelah bercerita panjang lebar tentang kehidupannya. Ayahnya meninggal saat pergi memanggil dukun beranak di kampungnya. Malam itu badai datang menerjang gubuknya yang terasing di tengah hutan. Kontraksi di perut ibu dian sudah tak tertahankan lagi. Berbekal nyali sang Ayah menerjang badai untuk memanggil dukun beranak di desa yang berjarak 20 km dari gubuknya. Naasnya, belum sempat menemui sang dukun. Pohon tumbang terlebih dahulu menumbangkan tubuh pria itu. Alkisah Dian terlahir tanpa bantuan siapapun dan walhasil entah mengapa mata Dian berwarna putih. Hanya putih. Tanpa ada setitik pun warna hitam seperti mata kebanyakan manusia. Apakah penderitaan Dian berakhir sampai di situ saja? Untuk menghidupi anak satu-satunya wanita itu harus bekerja keras hingga melupakan kesehatan tubuhnya. Akhir kata, saat Dian berumur 10 tahun ibu yang memiliki belaian selembut cahaya bulan itu tewas di telan ganasnya penyakit anemia. Ujungnya, oleh warga, Dian di kirim ke SLB (Sekolah Luar Biasa) ini. ***

Sebagai anak kepala asrama SLB berbagai peristiwa telah kualami. Anak-anak cacat dari usia sekolah SD-SMA tinggal di asrama yang diasuh ibuku ini. Aneh binti ajaib kelakuan mereka. Ada yang suka keluar masuk rumahku tanpa ketok pintu atau mengucapkan salam terlebih dahulu (maklum anak luar biasa). Ada juga yang suka buang hajat sembarangan. Sampai stress ibuku menghadapi anak-anak itu. Tapi saat mengingat bahwa semua yang ia lakukan akan dibalas oleh Allah dengan pahala berlipat, semangat ibuku semakin menjadi-jadi.

“Huh. Buat apa ngurusin anak seperti mereka? Memang setelah lulus bisa apa mereka? Soal berak aja masih diurusin,” ucap seorang tetangga pada ibuku.

Kalimat-kalimat seperti itu sudah sering ditenggak ibuku bulat-bulat. Diam dan senyum sudah menjadi ikon yang muncul jika ibu mendapat celaan seperti itu. Aku juga kadang sering mengomentari sifat ibu yang adem ayem seperti itu.

“Ibu kok diam aja? Seharusnya ibu balas dong kalimat mereka. Apa ibu mau terima begitu saja segala penghinaan yang ibu terima?” diam dan senyum. Hanya itu ekspresi yang ia keluarkan untuk membalas argumentku.

Semua kekesalanku semakin memuncak saat mengetahui ada orangtua murid yang sengaja memasukkan anaknya ke sekolah ini hanya karena enggan mengurusi anaknya yang cacat (orangtua macam apa mereka?). Semudah itukah mereka mengabaikan anak kandung mereka sendiri? Dimana hati nurani mereka? Dimana naluri mereka sebagai orang tua? Apakah saat yang terlahir dari rahim istri mereka bukan anak yang diharapkan mereka bisa begitu saja membuang buah hati hasil jerih payah mereka sendiri. Seperti kata orang “mau enaknya saja”.

“Ibu harus tegas dong! Jangan terima murid kalau jelas anak itu di buang orang tuanya!” protesku pada ibu suatu hari.

“Justru karena itu kita harus menampung mereka, nak,” kilah ibuku.

“Ibu ikhlas kok,”

Kalau sudah berkata seperti itu dengan wajah polos dan cantiknya, aku tak sanggup berkata-kata lagi. Diam dan menurut. Karena dia Ibuku, kalimatnya harga mati bagiku.

Di tempat ini aku menemukan suatu pengalaman lucu. Suatu hari ada sekelompok orang yang datang ke tempat kami untuk meminta sumbangan, mereka bilang uangnya akan digunakan untuk membangun sebuah panti asuhan. Dalam hati ku berkata “Di sini juga panti kawan!!” Yah, terdengar sedikit egois, memang tempatku juga panti, walau bukan panti asuhan, tidak semua anak di sini pantas diberi sumbangan karena sebagian dari mereka tergolong anak orang berpunya. Tapi ada satu tali penghubung nasib antara anak-anak panti asuhan dengan anak-anak kami, mereka sama-sama “berkekurangan” apa maksudnya? Pikirkanlah sendiri kawan . .***

Enam tahun sudah berlalu semenjak Dian keluar dari asrama kami. Sejak SD dia sudah tumbuh bersamaku di sini, namun entah mengapa saat duduk di kelas 1 SMALB Dian tiba-tiba menghilang. Hanya sepucuk surat dengan tulisan braile tergeletak di atas ranjangnya. Surat singkat berisi ucapan terima kasih Dian pada Bunda. Saat itu aku ingat beberapa hari sebelum kepergiannya Dian pernah bercerita padaku.

“Dod, menurutmu orang seperti aku bisa jadi apa ya setelah lulus SMA nanti?”

“Yah banyak kok yan (panggilan akrab Dian).” Jawabku singkat dan sekenanya.

“Contohnya? Bisa jelaskan lebih spesifik?” Tanya Dian serius.

“Ya nantikan kamu dilajarin berbagai keterampilan di sekolah, nah keterampilan itu bisa kamu gunakan buat bikin usaha setelah lulus”

“Maksudmu keterampilan memijat itu?”

Aku mengagguk heran melihat ekspresinya yang marah.

“Kau pikir semua orang buta harus jadi pemijat? Lalu untuk apa aku sekolah sampai saat ini kalau hanya untuk jadi tukang pijat? Biar jadi tukang pijat bersertifikat gitu? Hah.” Dia menghela nafas panjang.

“Hey tapikan denganbersekolah wawasanmu bertambah, coba lihat sekarang kamu jadi pandai ngomong gini.”

“Halaha….” Tiba-tiba dia bangkit dan berlalu begitu saja.

Memangku sadari aku sering meremehkan Dian dan menyepelekan apa yang bisa dia lakukan. Menganggap dia sebagai orang yang harus kita tolong dan kasihani. Namun hal ini sepertinya sangat bertolak belakang dengan kepribadian Dian. Ia sangat benci dikasihani maupun dibeda-bedakan dengan manusia normal lainnya. Sungguh aneh …

Lulus kuliah kuputuskan merantau ke Yogyakarta. Ini karena penilaianku disini industri kreatif berkembang cukup pesat. Cocok untuk sarjana advertising sepertiku. Selama dua minggu sudah aku hilir mudik mendatangi berbagai tempat untuk melamar kerja, namun seringkali jawaban mereka “maaf mas sudah penuh”. Hampi putus asa aku rasaakan. Sampai kudengar sebuah pengumuan diradio tentang pencarian staf baru. Ini tentu saja membuatku bersemangat takpelak keesokan harinya pagi-pagi aku sudah menatangi kantor radio itu.

Kantor sederhana bergaya minimalis. Jelas sekali kalau kantor ini sebenarnya rumah yang diubah paksa menjadi sebuah kantor. Kendati demikian sungguh terlihat indah dan rapi tataletak maupun taman yang ada didepan kantor. Setelah menjelaskan maksud kedatanganku pada receptionis di ruangan depan. Dia memintaku menunggu di kursi yang bersusun memanjang menghadap meja recepsionis.

“Tunggu bentar ya mas, pimpinan kami sedang on air” Ucap wanita muda itu.

Beberapa menit berlalu hingga tiba-tiba pintu di belakang si receptsionis terbuka.

“Dian??? Kenapa kamu disini?” Ucapku kaget mendapati pria itu dihadapanku.

“Dodi? Kamu Dodi ya suramu ga mungkin aku salah dengar”

“Iya ini aku, Dodi” ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun