Musim 2023-2024 cukup alot dilalui oleh Borussia Dortmund. Setelah gagal menjadi juara Bundesliga di musim lalu karena bermain imbang melawan Mainz (mengakibatkan poin Dortmund dan Munchen sama, hanya saja produktivitas gol Munchen lebih unggul), rasanya memang Dortmund belum memiliki mental juara yang kuat. Musim ini, di bawah asuhan Edin Terzic, Dortmund terseok-seok di Bundesliga, bahkan tergolong harus bersusah payah untuk mendapatkan slot Liga Champions musim depan, alih-alih mengejar gelar juara. Di kontestasi Piala Liga (DFB-Pokal), Dortmund keok oleh Vfb Stuttgart, ‘kuda hitam’ dari Jerman selain Bayer Leverkusen. Meskipun Terzic berhasil membawa Dortmund melaju secara dramatis hingga semifinal Liga Champions, peluang untuk maju ke final dan menjadi juara dirasa cukup sulit, kalau tidak dikatakan mustahil. Terjadi inkonsistensi berkepanjangan musim ini. Ada yang salah. Ada yang mengganjal. Kiranya, apakah itu?
Salah satu perkara yang disorot oleh fans Dortmund dan para pengamat sepakbola adalah kebijakan sang pelatih, Edin Terzic. Sejak awal mula musim berlangsung, beberapa hal cukup mengganjal, di antaranya adalah keputusan menjadikan Emre Can sebagai kapten tim, merekrut Felix Nmecha dengan biaya transfer yang cukup mahal dari Wolfsburg alih-alih Edson Alvarez yang dirasa lebih dibutuhkan untuk kedalaman skuad, sering dibangkucadangkannya Marco Reus, pemain paling senior Dortmund saat ini setelah Mats Hummels, taktik permainan yang membosankan dan monoton, membuat gerah orang-orang yang menonton pertandingan Dortmund. Terkadang bermain dengan elegan, terkadang bermain angin-anginan. Seruan untuk membebastugaskan Terzic telah lama digaungkan, meskipun terdapat sebagian kecil yang masih percaya akan keajaiban yang dihasilkan oleh ‘black magic’-nya Terzic.
Permasalahan terkait pelatih adalah buntut panjang dari resiko yang dihasilkan oleh mindset Dortmund itu sendiri: menahbiskan diri sebagai klub produsen pemain-pemain berkualitas alih-alih sebagai klub pengejar gelar juara. Akhirnya, para pemain semisal Erling Haaland, Jude Bellingham, Ousmane Dembele, hingga Robert Lewandowski, hanya menjadikan Dortmund sebagai batu loncatan untuk meraih kesuksesan di klub lain. Hal ini jelas berdampak besar terhadap mentalitas juara: Menjadi Deutscher Meister pada 2012, Pokal-Sieger pada 2021, dan King of Europe pada 1997. Dortmund tidak dapat dibandingkan dengan kejayaan besar rival Der Klaasiker-nya, Munchen, yang menjadi pemuncak peraih gelar Liga Jerman dan DFB-Pokal, juga klub Jerman terbanyak peraih gelar juara Liga Champions. Mindset ini harus segera diubah: Menanam dan menumbuhkembangkan pemain-pemain berkualitas dan menjaganya untuk meraih gelar juara. Opsi menjual pemain-pemain berkualitasnya meskipun tidak menjuarai apa pun adalah suatu kerugian besar. Apalagi dari biaya transfer yang fantastis, dialokasikan dengan kurang bijak untuk mencari penggantinya: pemain-pemain lokal dan muda yang kiranya masih punya dua kemungkinan: top or flop.
Untuk meraih kembali renaissance Dortmund seperti tahun 2010-2013 di bawah asuhan Jurgen Klopp, 2001-2002 di bawah asuhan Mathias Sammer (pemain Dortmund pertama yang menjuarai Bundesliga sebagai pemain dan pelatih, juga peraih Ballon D’Or edisi 1997), hingga ketika Dortmund menekuk Juventus dengan pemain sekaliber Alessandro Del Piero dengan skor 3-1 di final Liga Champions musim 1996-1997, tidak hanya diperlukan strategi dari pelatih yang tepat, tetapi juga ambisi dan mentalitas juara yang kuat. Sudah saatnya Dortmund berani untuk mengambil kebijakan baru untuk memboyong pemain-pemain berkualitas dan ternama, memasang target juara Bundesliga dan DFB-Pokal, hingga tidak mudah tergiur oleh bonus-bonus sebelum meraih gelar juara. Musim depan menjadi musim awal berhembusnya angin segar, yaitu akan terjadi perombakan besar-besaran dalam manajemen klub. Harapannya, Dortmund mampu membawa Bundesliga tidak lagi dipandang sebagai farmers league dan menciptakan rivalitas sengit dengan Munchen.
Dortmund tidak kekurangan sumber daya dan dukungan, tetapi seringkali tidak bijak dalam memanfaatkannya. Dortmund memiliki Signal Iduna Park (Westfalenstadion), yang dikenal ‘angker’ bagi tim lawan, karena mereka akan bermain di hadapan 25.000 penonton yang mengisi tribun berdiri. Mereka dikenal sebagai ‘The Yellow Wall’ yang sering menciptakan koreografi-koreografi ikonik. 90 menit tanpa henti nyanyian dan yel-yel disuarakan, seharusnya menjadikan Dortmund memiliki kekuatan tersendiri sehingga dapat meraih kemenangan penuh di kandang. Jangan sampai terjadi kembali kekalahan 0-1 di kandang melawan Vfb Stuttgart beberapa waktu lalu. Padahal pertandingan itu menjadi waktu perayaan 50 tahun berdirinya Signal Iduna Park. Pun demikian ketika dicukur habis oleh Harry Kane dkk. dari Munchen dengan skor 0-4 di ajang Bundesliga. Dan masih banyak contoh lainnya. Saya hakulyakin, ketika prestasi Dortmund mendongkrak, semangat dari para fans akan semakin berkobar. Semakin fantastis koreografinya. Semakin lantang dukungannya.
Waktu kepelatihan Terzic di Dortmund harus dicukupkan terlebih dahulu. Baik di Bundesliga, DFB-Pokal, maupun Liga Champions, seringkali saya menemukan pola permainan monoton dan membosankan yang sama: bermain ball possession tanpa ada kreativitas di lini tengah dan ketumpulan di lini depan, dalam posisi sedang tertinggal skor! Harapannya, Terzic bisa memformulasikan suatu ‘black magic’ sebelum menjamu Paris Saint-Germain (PSG) di semifinal Liga Champions pada 1 dan 7 Mei. Saya agaknya sejalan dengan tanggapan Justhinus Laksana (atau akrab disapa Kuch Justin atau Koci) tentang peluang Dortmund melaju ke final dan menjadi juara Liga Champions. Di satu sisi, ia ingin melihat tim seperti Dortmund berbicara lebih banyak di kompetisi tersebut. Tapi, di sisi lain, ia melihat kualitas pelatih yang kurang mumpuni. Baginya, taktik permainan Dortmund musim ini sungguh katrok. Seolah-olah sulit ditebak taktik apa yang coba diterapkan oleh Terzic di lapangan. Hal inilah yang turut menyusahkan para penjudi: Mereka akan lebih menjagokan lawan yang dihadapi Dortmund, tapi Dortmund sendiri bisa saja secara ajaib meraih kemenangan. Sebuah optimisme berbalut rasa kekhawatiran. Semoga Dortmund melakukan perombakan total dalam kepelatihan, mindset bursa transfer pemain, target juara, dan sadar akan kekayaan dukungan, loyalitas, dan harapan dari para fans yang tersebar dari Maroko, Amerika Serikat, Brazil, Jepang, hingga Indonesia.
Heja BVB!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H