Bagi generasi yang telah dewasa di era pra digitalisasi mungkin dapat membandingkan betapa dahsyatnya perubahan yang terjadi jika dibandingkan dengan era digital saat ini. Perubahan tersebut dapat dilihat dari salahsatu indikatornya berupa perubahan sikap masyarakat Indonesia yang semakin berani menyuarakan perasaan dan pemikirannya baik lewat tulisan, gambar dan media audio visual. Bagi sebagian orang, muncul penilaian bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang bernilai positif sebagai tanda terbukanya ruang demokratisasi dalam berpendapat namun sayangnya, sisi negatif dari era kebebasan itu juga telah mengancam kondisi jatidiri bangsa yang dulu dikenal sebagai bangsa yang sangat lembut, ramah, religius dan kompromis.
Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia menjadi sangat mudah marah, ofensif dan bahkan tidak segan-segan menjatuhkan wibawa negara melalui sarkasme dalam berbagai bentuk. Dapat kita temui di alat pencarian google, gambar-gambar yang menjadikan tokoh-tokoh bahkan sekelas Presiden dibuat sedemikian rupa untuk menimbulkan kesan negatif dan menyudutkan. Herannya, masyarakat Indonesia sepertinya telah terbiasa menganggap hal tersebut sebagai lelucon belaka. Selain itu, masyarakat juga sudah tidak malu dan takut lagi untuk menyebarkan konten-konten yang ekstrim baik yang mengandung unsur pornograpi, ajaran radikal bahkan rupa-rupa tindak kekerasan yang dulu menjadi konten yang harus di sensor sebelum di publikasikan.
Batas-batas itu telah luruh dan semakin tak terkendali. Media telah menjadi ancaman serius dibalik manfaatnya yang besar bagi dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan serta lebih luas lagi bagi kehidupan manusia pada umumnya. Tidak dapat dihindari bahwa globalisasi menjadi sebuah instrumen hubungan internasional namun jika bangsa kita tidak waspada dan memiliki filter yang kuat maka sangat dimungkinkan Indonesia akan kalah dalam peperangan yang di era dewasa ini dikenal sebagai perang hibrida.
Mungkin kita pernah mendengar terminologi perang proxy (indirect warfare) dan perang assimetric (non konvensional), namun dalam konteks perang hibrid, sebenarnya tidak jelas siapa aktor yang berperan namun karena sifatnya yang sangat mencair,soft dan agile agenda perang hybrid dijalankan untuk mencapai output secara bertahap hingga pemenang dalam perang ini dapat menguasai target untuk kepentingan si aktor. Lalu bagaimana untuk mengidentifikasi siapa dan berbuat apa aktor dari perang hybrid tersebut khususnya yang menargetkan Indonesia sebagai obyeknya.
Pertama, kenali typologi aktor yang merupakan sel dari induknya yang lebih besar dimana si induk tersebut bisa jadi bukan merupakan state actor (aktor negara) namun bisa merupakan organisasi berbasis massa dan ideologis yang juga eksis di negara lain bahkan si induk bisa jadi lahir dan tumbuh di suatu negara yang juga menganggapnya sebagai parasit. Aktor ini bisa menyuarakan misi berbasis dogmatis dan aliran-aliran kepercayaan melalui doktrinisasi dengan media kitab suci dimana salah satu targetnya yaitu mengalihkan kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap Ideologi Pancasila yang sudah disepakati sebagai landasan filosofi negara kepada ideologi yang mengusung fundamen keagamaan, seperti contohnya gerakan mendirikan khilafah (Negara berbasis agama Islam).
Kedua, Agitasi secara frontal yang ditujukan untuk memancing reaksi negara baik dalam tujuannya untuk meningkatkan penggunaan kekuatan aparat oleh negara agar dikemudian hari, isu-isu Hak Azasi Manusia menjadi alasan untuk state actor maupun non state actormelakukan intervensi secara fisik dan non fisik. Isu-isu tentang HAM ini sangat lazim digunakan untuk membatasi peran militer dan mendeligitimasi munculnya tokoh berlatarbelakang militer ke pentas politik nasional mengingat hal tersebut dapat menghambat upaya-upaya state actor dalam mencapai tujuannya. Mengapa? Karena dalam perkembangan kehidupan demokrasi di Indonesia, isu-isu supremasi sipil atas militer ternyata telah berhasil merubah skema politik negara bahkan tidak segan-segan menempatkan militer sebagai handicap bagi sekelompok kepentingan yang ingin berkuasa. Upaya-upaya tersebut bahkan dilakukan secara terbuka dengan menggunakan propaganda baik lewat media maupun kegiatan kampanye berbisik dari kampus ke kampus, sekolah ke sekolah, rumah ibadah dan instansi-instansi pemerintah dan swasta.
Ketiga,Infiltrasi kedalam sektor Pemerintahan melalui agen-agen baik non state actor maupun state actor yang menunggangi lembaga-lembaga pemerintah yang masuk dengan memanfaatkan peluang lewat rekruitmen terbuka maupun mekanisme politis dan demokratis. Juga sangat mungkin, agen-agen tersebut sengaja disusupkan ke lembaga militer maupun kepolisian. Output dari kegiatan infiltrasi tersebut biasanya memiliki spektrum yang sangat luas melalui kebijakan yang pragmatis dan sektoral. Karakteristiknya dapat berupa upaya-upaya pelemahan terhadap rancangan dan rencana pemerintah dalam memperkuat sektor pertahanan dan keamanan nasional.
Keempat, Penggunaan komunikasi massa dan propaganda. Pertumbuhan jejaring komunikasi massa menawarkan alat propaganda dan rekrutmen yang kuat. Organisasi Garis Keras seperti ISIS, misalnya, sangat piawai menggunakan berbagai media sosial untuk mempromosikan ideologi dan agendanya. Berbagai bentuk propaganda yang menunjukkan “kehebatan” ISIS disebar melalui Youtube. Sementara pesan-pesan propaganda kelompok bisa dibaca meluas melalui Twitter dan Facebook. Di Indonesia sendiri yang pengguna internetnya menjadi salahsatu terbesar di dunia, jaring media sosial merupakan fasilitator yang accessible dan memiliki pengaruh masif. Selain didukung oleh faktor kecepatan juga karena sajian informasinya bisa sangat up to date hitungan detik saja. Tidak hanya digunakan sebagai alat propaganda, media juga sangat berperan membelokan ideologi dan jatidiri bangsa sebagaimana yang telah diulas di awal.
Pada kesimpulannya, ternyata media memiliki kemampuan setara dengan senjata pemusnah massal bahkan dampaknya bisa lebih masif dan permanen. Bagaimana tidak, pengaruh media bisa merusak moral dan perilaku bangsa dalam hitungan dasawarsa saja, padahal masyarakat Indonesia sebelum era keterbukaan media adalah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi tepa salira, silih asas, asih asuh yang diwariskan secara turun temurun.
Pertanyaannya, bagaimana cara menangkal si “Pemusnah Massal” itu ??? tunggu rilis selanjutnya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H