Perkembangan teknologi budidaya udang di Indonesia semakin pesat, seiring dengan berkembangnya budidaya udang putih vaname (litopenaus vannamei), sebagai komoditas ekonomis ditambak selain udang windu dan ikan bandeng. Secara ekonomis udang vaname hasil budidaya mempunyai pangsa pasar yang lebar pada setiap ukuran atau sizenya jualnya., sehingga berkembang disetiap tingkatan teknologi mulai tradisional sampai dengan super intensif. Pada teknologi intensif dicirikan padat tebar benih udang vaname diatas 100 ekor/m2 dengan pakan tambahan menggunakan pakan pellet yang mengandung protein antara 35-40%. Dampak positif dari penggunaan pakan dengan protein tinggi adalah pada pertumbuhan udang relatif cepat, sedangkan dampak negatifnya adalah sisa dari pakan, feses udang vaname akan bertumpuk didasar tambak terurai menjadi amoniak yang berbahaya bagi kelangsungan udang vaname. Dampak lainnya, limbah air proses budidaya dengan kandungan amoniak tinggi (>0,5 ppm) menyebabkan pengkayaan perairan (Eutrofikasi), blooming plankton, oksigen terlarut menjadi rendah, sehingga kualitas lingkungan perairan menjadi menurun.
Berbagai upaya manajemen telah dilakukan baik ditahap persiapan air media budidaya dengan sterilisasi air media untuk menurunkan kadar amonik dan bahan organik, maupun manajemen selama pemeliharaan melalui teknologi bioflok, close water system, race water system dan penggunaan bakteri probiotik. Manajemen lain yang sekarang menjadi tahapan teknis adalah upaya untuk mengurangi masukan nutrien dari pakan selama budidaya udang intensif yaitu dengan melakukan metode panen parsial (bertahap). Panen parsial adalah pengambilan udang sebagian dari jumlah populasi yang ada ditambak dengan tujuan utama mengurangi jumlah kepadatan udang per satuan luas. Panen parsial ke -1, biasanya dimulai setelah udang mencapai berat per ekor 10 g/ekor (size 100) atau udang berumur 60 hari. Parsial ke-2 dilaksanakan 2 minggu berikutnya dengan berat udang mencapai 14 s/d 15 g/ekor (size 66-70),umur 75 hari, dilanjutkan parsial ke 3 umur 90 hari dengan asumsi berat udang 17 g/ekor (size 57). Dua minggu setelah parsial ke-3, dilakukan panen total.
Beberapa manfaat yang bisa diperoleh dari panen parsial antara Lain :
1.Aspek teknis budidaya : Kondisi kualitas air dapat lebih terjaga dikarenakan jumlah input pakan berkurang yang berdampak pada limbah yang dihasilkan dari sisa pakan dan feses udang dapat diminimalisir.Pertumbuhan udang harian (ADG) relatif > 0,2 g/hr dikarenakan ruang gerak udang semakin lebar dan kesempatan makan semakin banyak.
2.Aspek Ekonomi:panen parsial membuat perputaran uang semakin cepat karena 2 bulan pemeliharaan sudah ada udang vaname yang terjual dan pendapatan dari hasil penjualan dapat digunakan untuk pembelian saprokan yang lain.
3.Aspek lingkungan : Internal lingkungan tambak akan terjaga segi kualitas airnya. Lingkungan perairan umum (eksternal) akan lebih ringan dalam menerima beban cemaran limbah dari tambak udang vaname intensif, sehingga proses self purification berlangsung dengan sempurna.
4.Aspek sosial-budaya : Dengan panen parsial keamanan tambak lebih terjamin karena hanya melibatkan sebagian orang dalam pelaksanaannya, sehingga kualitas udang hasil panen berkualitas dan mempunyai harga jual tinggi.
Lingkungan dan budidaya udang adalah satu bagian yang tidak bisa di pisahkan dan saling mempengaruhi. Upaya manajemen lingkungan berkorelasi positif bagi keberhasilan usaha budidaya. Manjemen panen dengan teknik panen parsial merupakan salah satu perangkat dalam berbudidaya untuk menuju perikanan yang ramah lingkungan untuk mencapai ecoefisiensi.
Semoga bermanfaat
"Lingkungan terjaga, tambak udang berjaya "
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H