Sengketa Laut Cina Selatan mencerminkan kompleksitas hubungan internasional antara kepentingan ekonomi, militer, dan geopolitik. Dari perspektif saya, penyebab utama konflik ini adalah tumpang tindih klaim kedaulatan yang diperparah oleh upaya sejumlah negara untuk memperluas pengaruhnya di kawasan strategis tersebut. Hal ini bukan hanya mempengaruhi stabilitas Asia Tenggara, tetapi juga membawa implikasi serius terhadap ekonomi dan keamanan global.
Pertama, klaim historis Tiongkok melalui "Sembilan Garis Putus-Putus" telah menjadi pemicu utama ketegangan. Meski keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional tahun 2016 menyatakan bahwa klaim tersebut tidak memiliki dasar hukum, Tiongkok tetap bersikeras mempertahankan posisinya. Sikap ini menunjukkan bahwa sebagian besar negara besar cenderung mengabaikan mekanisme hukum internasional jika kepentingan nasionalnya terancam. Ini menjadi preseden buruk bagi negara-negara kecil yang bergantung pada aturan hukum untuk melindungi wilayah mereka.
Kedua, kepentingan strategis dan ekonomi yang melibatkan sumber daya alam melimpah di Laut Cina Selatan semakin memperkeruh konflik. Potensi cadangan minyak, gas alam, dan jalur perdagangan global yang melewati kawasan ini menjadikannya sangat berharga. Dalam konteks ini, negara-negara pengklaim, termasuk Vietnam, Filipina, dan Malaysia, tidak hanya bersaing dengan Tiongkok tetapi juga menghadapi dilema antara mengamankan kepentingan nasional dan menjaga hubungan ekonomi dengan Tiongkok, yang merupakan kekuatan ekonomi dominan di kawasan.
Ketiga, keterlibatan kekuatan eksternal seperti Amerika Serikat memperumit dinamika di Laut Cina Selatan. Amerika Serikat mengklaim melindungi kebebasan navigasi internasional, tetapi tindakan patroli militer mereka sering dipandang sebagai upaya untuk menandingi pengaruh Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik. Persaingan antara dua kekuatan besar ini berpotensi menciptakan ketidakstabilan lebih jauh dan meningkatkan risiko konfrontasi militer di perairan ini.
Solusi yang Ditawarkan
Dalam pandangan saya, penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan harus berlandaskan pada prinsip hukum internasional dan dialog yang inklusif. Negara-negara ASEAN harus memperkuat solidaritas dan memainkan peran aktif dalam mendorong pendekatan multilateral. Penyusunan Kode Etik Perilaku (Code of Conduct) yang mengikat secara hukum antara ASEAN dan Tiongkok merupakan langkah yang penting untuk mencegah eskalasi konflik.
Selain itu, mekanisme mediasi internasional oleh lembaga seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dapat menjadi alternatif solusi. Meski tidak mudah, pendekatan ini dapat menekan semua pihak untuk menghormati aturan hukum internasional dan menciptakan stabilitas di kawasan. Negara-negara kecil juga harus berani menegosiasikan kepentingan mereka tanpa terjebak dalam tekanan kekuatan besar.
Kesimpulan
Sengketa Laut Cina Selatan adalah tantangan nyata bagi keamanan dan stabilitas regional. Penyelesaian konflik ini memerlukan komitmen kuat untuk berdialog secara terbuka dan berlandaskan hukum internasional. Dengan pendekatan kooperatif, negara-negara di kawasan dapat menghindari konflik bersenjata yang hanya akan merugikan semua pihak. Dalam hal ini, kepentingan bersama untuk menjaga perdamaian harus menjadi prioritas dibandingkan perebutan sumber daya semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H