Berbicara soal desa kerap memunculkan pertanyaan, apakah di tingkat desa ada aparatur yang mampu mengelola dana sebesar Rp71 triliun yang akan disalurkan kepada 75.265 desa di seluruh Indonesia. Dengan demikian, rata-rata setiap desa akan mendapatkan sekitar Rp943,7 juta. Pertanyaan penting yang harus dijawab adalah: untuk apa dana tersebut digunakan? Pengelolaan dana desa dalam jumlah besar seperti ini memerlukan perencanaan matang agar tidak hanya digunakan untuk proyek rutin seperti pembangunan jalan atau taman yang banyak diulang setiap tahun. Kekhawatirannya adalah, tanpa perencanaan jangka panjang, dana desa hanya akan digunakan untuk proyek-proyek yang mungkin tidak memberikan dampak signifikan bagi kesejahteraan masyarakat desa.
Desa harus mulai berpikir lebih strategis dan jauh ke depan. Penggunaan dana desa perlu diarahkan untuk menciptakan fasilitas yang mampu memberdayakan masyarakat, terutama generasi muda. Misalnya, dana dapat digunakan untuk membangun fasilitas olahraga, perpustakaan, atau pusat teknologi yang memungkinkan semua lapisan masyarakat menikmati manfaatnya. Namun, tantangannya terletak pada kemampuan desa untuk melakukan perencanaan yang efektif. Apakah ada strategi atau perencanaan yang memadai untuk mewujudkan visi ini? Jika tidak ada, maka risiko penggunaan dana untuk proyek-proyek yang kurang relevan akan semakin besar.
Dalam konteks pembangunan, ada tiga pendekatan utama yang sering digunakan: teknokratik, politik, dan partisipatif. Pada masa Orde Baru, pendekatan teknokratik mendominasi, di mana kebijakan pembangunan diputuskan oleh para ahli dan birokrat. Ketika memasuki era demokrasi, pendekatan teknokratik tidak sepenuhnya dihilangkan, tetapi mulai bergeser ke arah pendekatan politik. Di era demokrasi liberal, pembangunan sering kali ditentukan oleh logika politik elektoral, di mana anggaran pembangunan lebih diprioritaskan pada daerah yang mendukung kekuatan politik tertentu. Hal ini tentu saja bukan kesalahan, karena itu adalah ciri khas politik demokrasi liberal. Namun, pendekatan ini tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah, terutama di tingkat desa.
Agar pembangunan desa lebih inklusif, pendekatan partisipatif harus diperkuat. Pendekatan partisipatif berarti bahwa pembangunan desa tidak hanya didorong oleh kepentingan politik atau teknokratik, melainkan oleh partisipasi masyarakat desa itu sendiri. Dalam Undang-Undang Desa, konsep musyawarah desa diperkenalkan sebagai instrumen demokrasi tertinggi di tingkat desa. Musyawarah desa ini melibatkan perwakilan dari golongan-golongan masyarakat dan dusun yang ada di desa, di mana mereka berkumpul untuk bermusyawarah, mendiskusikan, dan memutuskan rencana pembangunan desa untuk jangka waktu satu tahun atau lebih. Kepala desa wajib memperhatikan hasil musyawarah ini sebagai panduan dalam merencanakan kebijakan desa.
Namun, pelaksanaan musyawarah desa ini seringkali dihadapkan pada tantangan kapasitas pengawasan dan monitoring. Meskipun keputusan diambil secara demokratis, ada kekhawatiran bahwa tanpa mekanisme monitoring yang baik, penggunaan dana desa tidak akan optimal. Di sinilah peran penting pendamping desa yang bertugas memberikan masukan terkait apa yang paling baik untuk dilakukan. Pendamping desa berfungsi sebagai pemberi referensi atau know-how, memberikan panduan bagi masyarakat desa untuk mengambil keputusan yang tepat. Proses musyawarah desa ini idealnya mencerminkan prinsip Pancasila, khususnya Sila Keempat, yaitu "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan." Di sini, penting bahwa dalam proses musyawarah desa, masyarakat tidak hanya mengedepankan kepentingan praktis, tetapi juga kebijaksanaan (wisdom) dan logika rasional (reasoning).
Selama ini, kebijakan di desa sering kali terhambat oleh salah satu dari dua hal: ada dana tetapi tidak ada kebijaksanaan, atau ada kebijaksanaan tetapi tidak didukung oleh dana yang memadai. Desa harus menemukan keseimbangan antara keduanya. Uang tanpa kebijaksanaan hanya akan berakhir pada proyek-proyek yang tidak memberikan manfaat jangka panjang, sementara kebijaksanaan tanpa dukungan dana akan sulit untuk diimplementasikan. Oleh karena itu, penting untuk mengintegrasikan dana yang ada dengan kebijakan yang berbasis pada partisipasi masyarakat, yang dibangun melalui proses musyawarah yang mengedepankan hikmat kebijaksanaan.
Penting juga untuk memastikan bahwa dana desa tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang tampak di permukaan, tetapi juga untuk pemberdayaan jangka panjang. Pemberdayaan ini bisa melalui pengembangan ekonomi, peningkatan akses terhadap teknologi, pendidikan, dan kesehatan, yang semuanya dapat dicapai melalui perencanaan yang matang dan partisipatif. Desa harus mampu membangun kekuatan kolektif, atau "community power," yang diimbangi dengan kebijaksanaan dalam pengelolaan sumber daya yang ada. Dengan cara ini, desa tidak hanya akan berkembang secara fisik, tetapi juga secara sosial dan ekonomi, memberikan manfaat nyata bagi seluruh masyarakatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H