Orang yang senantiasa memperbaiki diri akan melihat bahwa setiap kritik (bahkan semua hal) menjadi sarana baginya untuk memperbaiki diri. Bahkan, ia berterima kasih atas kritik yang ia terima. Orang yang senantiasa memperbaiki diri tidak melihat bahwa 'proses' mengahadapi suatu kritik itu seperti proses tawar-menawar (negosiasi) harga, matabat, atau prestise diri yang seakan-akan tergadai dengan pendapat, karya, atau perbuatannya yang tertolak. kritik bukanlah senjata yang diarahkan untuk melumpuhkan kita, tapi kritik tak lebih seperti lampu peringatan bahwa ada hal yang harus kita benahi.
Tapi, akan ada pertanyaan, "Apakah setiap kritik harus kita terima?"
Bahwa setiap kritik harus kita hadapi dengan segenap rasa hormat adalah mutlak adanya. Bagaimanapun tujuan/orientasi/interpretasi kita dalam menghadapi kritik, pada hal hubungan kemanusiaan, kita tetap mengutamakan pula keharmonisan antarsesama. Ini tak dapat diabaikan. Tapi, tidak semua kritik harus kita terima! disinilah 'kebijaksanaan' berperan, yaitu ketika kita harus menolak suatu kritik bahkan harus dapat menanggapinya dengan tegas!
Ya, tidak semua kritik harus kita terima. Ada kritik yang harus kita tolak dengan tegas. Bagaimana kita bisa memahami kapan kita harus menerima, kapan pula harus menolak? sekali lagi saya katakan bahwa kita butuh kebijaksanaan. Dengan kebijaksanaan berarti kita menilai sesuatu tidak hanya dari satu sudut pandang. Dengan kebijaksanaan berarti pulakita membutuhkan pengetahuan yang seluas-luasnya tentang beraneka ragam standar kebenaran, apakah itu kebenaran menurut agama, adat, atau negara. Dengan kebijaksanaan kita bisa melihat dengan jernih sehingga kita tahu yang mana yang harus kita terima dan yang harus kita tolak. Dengan kebijaksanaan berarti pula kita bisa jadiakan tampak berbeda dengan pendapat awam. Tapi, kebijaksanaan pasti berakhir dengan kebaikan.
Ada satu kisah tentang penolakan suatu kritik yang sangat indah yang dicontohkan oleh Khulafaur rasyidin Umar bin Khattab. Suatu ketika Umar bin Khattab akan memasuki daerah yang terkena wabah penyakit. Namun, di tengah perjalanan Umar bin Khattab terhenti karena ada beberapa orang yang menganjurkan agar ia tidak memasuki daerah itu dengan pertimbangan keselamatan sang amirul mukminin sendiri. Tapi, ada pula seorang sahabat penting yang tetap meminta agar Umar bin Khattab meneruskan perjalanan memasuki daerah tersebut. Saat itu terjadilah perdebatan yang cukup sengit di antara mereka. Akhirnya, Umar bin Khattab memutuskan untuk menunda perjalanan dan kembali ke Madinah. Ketika ia hendak pergi, seorang sahabat, Abu Ubaidah bin Jarrah, menyampaikan kritik, "Wahai Amiril Mukminin, apakah Anda akan lari dari takdir Allah". Tersirat dalam kritik sahabat ini bahwa Umar bin Khattab bersifat pengecut sehingga mengambil keputusan yang lebih menyelamatkan dirinya. Umar bin Khattab kembali dan menatap tajam Abu Ubaidah bin Jarrah dan berkata, "Ya, saya akan lari dari takdir Allah menuju takdir Allah".
Bukan menjadi orang yang pandai menghadapi kritik, tapi cukuplah kita menjadi orang bijak yang senantiasa memperbaiki diri.
(Tulisan ini adalah komentar atas artikel tentang menanggapi kritik yang pernah saya baca)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H