[caption id="attachment_393645" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: http://statik.tempo.co/data/2014/10/20/id_335811/335811_620.jpg"][/caption]
Seorang pemimpin yang dipilih oleh kehendak mayoritas rakyat, tentu tidak harus memiliki hutang budi kepada siapa pun. Meski sistem pemilihan Presiden di Indonesia harus melalui kendaraan partai politik, tidak harus selalu bagi-bagi jabatan dan menurut kehendak pimpinan partainya.
Mental "Ewuh Pakewuh" harus ditempatkan secara proporsional. Dalam konteks pemimpin bangsa, hutang budi pemimpin sangat jelas dan terang benderang. Bukan abu-abu, apalagi tidak jelas. Sesuai konstitusi UUD 1945, Presiden terpilih harus mengembalikan kepercayaan rakyat yang telah memilihnya dengan bekerja sebaik-baiknya demi kemakmuran rakyat yang telah memberikan amanah kepemimpinan di pundaknya.
Sebaiknya pemimpin terpilih, mampu menyingkirkan semua kepentingan dari orang-orang yang dianggap merecoki dengan ketegasan. Kepentingan bangsa dan negara harus mampu diletakan di atas kepentingan pribadi dan golongan. Jangan merasa serba salah, karena menggunakan kendaraan partai yang diusung sewaktu pemilihan berlangsung.
Terpilihnya seorang pemimpin sesuai dengan konstitusi yang sah, sudah memberikan satu kepastian bahwa pemimpin tersebut bukan Presiden partai. Akan tetapi Presiden milik semua rakyat Indonesia. Dan itu artinya, hutang budi pemimpin ada pada rakyat. Bukan pada seseorang yang memasuki usia senja dan orang yang gemar menumbuhkan bulu. Semoga kita semua masih ingat peristiwa 12 tahun lampau. Jangan sampai terjadi pelengseran yang kemudian diganti oleh pemimpin yang memikirkan kepentingan diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H