Mohon tunggu...
Bayu Mustaqim Wicaksono
Bayu Mustaqim Wicaksono Mohon Tunggu... Teknisi - Bayu

Mempelajari kapal, mengerjakan pesawat, menyukai kereta api, menggunakan sepeda, dan memilih mobil sebagai alternatif terakhir alat transportasi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Uang Elektronik, Fakta dan Strategi

4 April 2015   20:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:32 786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media sosialisasi uang elektronik. (Bank Indonesia)

[caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Media sosialisasi uang elektronik. (Bank Indonesia)"][/caption] Berbagai kelemahan uang tunai, seperti biaya pengelolaan yang besar, kecepatan transaksi yang lambat (yang sangat berpengaruh pada transaksi ritel), dan tidak tercatatnya aktivitas transaksi yang rawan digunakan untuk tindak kriminalitas kerah putih, mendorong Bank Indonesia meluncurkan program Gerakan Nasional Nontunai (GNNT). Seiring dengan pencanangan GNNT, penggunaan uang elektronik juga semakin digencarkan. Uang elektronik adalah alat pembayaran nontunai yang nilainya sama dengan uang tunai yang disetor dan disimpan dalam media berbasis chip atau server. Namun, nilai uang yang ada dalam media uang elektronik bukan meupakan simpanan sebagaimana diatur dalam undang-undang perbankan. Karena bukan simpanan (tidak ditujukan untuk menghimpun dana pihak ketiga, tidak dijamin, dan tidak diberikan bunga), lembaga selain bank pun bisa menjadi penerbit uang elektronik. Dalam analisis MasterCard Advisors (2013) dalam proyek "Cashless Journey", penggunaan metode pembayaran nontunai dalam transaksi ritel di Indonesia mendekati 0% dan masih tergolong tahap pengenalan. Tidak berbeda jauh, rilis McKinsey & Company (2013) menunjukkan transaksi nontunai hanya sebesar 0,6% dari total transaksi ritel. Hal ini terjadi karena instrumen pembayaran nontunai yang selama ini ada: kartu debet, kartu kredit, cek, bilyet giro, dan nota debet tidak cocok dipakai untuk transaksi ritel yang memiliki karakter: nominal kecil, frekuensi sering, digunakan secara massal, dan membutuhkan transaksi yang cepat. [caption id="" align="aligncenter" width="420" caption="Per Januari 2015, terdapat 20 penerbit uang elektronik di Indonesia, baik dalam jenis tergistrasi maupun tidak teregistrasi. (Bank Indonesia)"]

[/caption] Saat ini terdapat dua puluh bank dan lembaga selain bank yang menjadi penerbit uang elektronik. Menurut pencatatannya, uang eletronik terbagi dua: tidak teregistrasi dan teregistrasi. Uang elektronik yang tidak teregistrasi umumnya menggunakan media chip dalam kartu. Mandiri e-money dan BCA Flazz merupakan dua penguasa dalam segmentasi ini. Karena tidak teregistrasi sehingga siapapun yang memegang kartu dapat menggunakannya, nominal uang yang dapat disimpan dalam kartu uang elektronik dibatasi hanya satu juta rupiah. Uang elektronik dengan media kartu paling cocok untuk transaksi harian/ritel. Transaksi dapat berjalan cepat, hanya sentuh dan selesai. Uang elektronik jenis kedua, teregistrasi, umumnya berbasis server melalui pintu identifikasi nomor telepon atau akun daring. Nominal uang yang tersimpan bisa mencapai lima juta rupiah. Karena teregistrasi, tidak semua orang bisa menggunakannya, diperlukan PIN saat melakukan transaksi. Maka, kecepatan transaksi yang menjadi kelebihan uang elektronik pun tereduksi. Mekanisme pembayaran dengan uang elektronik teregistrasi di Indonesia masih sulit. Ketika melakukan transaksi fisik, pemilik uang elektronik harus mengaktivasi nominal uang yang setara atau lebih besar dari tagihan pembayaran menggunakan PIN. Lalu pedagang yang akan mengeksekusi transaksi. Kelebihan nilai uang akan kembali ke saldo uang elektronik. Mekanisme ini lebih menyerupai transaksi konvensional (sediakan uang, bayarkan, dan terima kembalian), dan bisa jadi membutuhkan waktu yang lebih lama saat transaksinya daripada transaksi tunai. Di Afrika Selatan, pembayaran dengan uang elektronik teregistrasi cukup dengan memindai QR code, yang secara otomatis memberitahukan pengguna mengenai harga yang harus dibayarkan. Pengguna kemudian cukup memasukkan PIN sebagai otorisasi dan transaksi selesai. Lebih mudah. Di lain sisi, uang elektronik berbasis server bisa dipakai bertransaksi pada toko daring, digunakan untuk transfer dana, dan ditarik tunai. Sayangnya, fitur ini sangat bersinggungan dengan fasilitas pembayaran melalui bank, baik itu kartu ATM, kartu debet, atau kartu kredit. Untunglah BI mulai tahun 2014 dengan cermat menginisiasi penggunaan uang elektronik berbasis server sebagai produk keuangan untuk masayarakat yang tidak terjangkau atau kurang terjangkau layanan perbankan (unbanked dan underbanked area). Layanan ini diberikan melalui agen layanan keuangan digital yang disetujui bank BUKU IV (bermodal besar). Pemerintah juga menggunakannya sebagai alat distribusi berbagai bantuan sosial. Strategi Pertumbuhan Penggunaan Uang Elektronik Menurut MasterCard Advisors, tingkat pertumbuhan transaksi ritel nontunai di Indonesia selama 2008-2013 berada pada angka 23%. Singapura saja dapat tumbuh 39% dan hasilnya sudah 61% transaksi ritelnya nontunai. Jadi, perlu upaya strategis untuk mengakselerasi pertumbuhan penggunaan uang elektonik. Masih dalam publikasi yang sama, secara global MasterCard Advisors menawarkan empat prasyarat terjadinya transaksi nontunai: adanya akses layanan keuangan, makroekonomi dan faktor budaya, skala merchant 'pedagang', serta teknologi dan infrastruktur. Mari kita pertimbangkan keempat faktor tersebut pada para pihak di Indonesia, yang meliputi: pembuat kebijakan, pedagang, masyarakat pengguna, dan penyelenggara. Pembuat kebijakan telah mengambil langkah awal yang baik. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik telah menjadi payung hukum yang kuat untuk mengatur aktivitas terkait uang elektronik. Peraturan tersebut kemudian diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 16/8/PBI/2014 yang mengisi kekosongan hukum sekaligus mengadakan terobosan untuk menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pemanfaatan uang elektronik. Sosialisasi juga dilakukan di kampus-kampus dan pada tahun 2015 ini juga menyasar para blogger Kompasiana. Pemerintah pusat melalui bermacam bantuan sosial telah mengedukasi belasan juta penerimanya mengenai keberadaan uang elektronik. Pemerintah daerah umumnya menitikberatkan pada sektor layanan umum sebagai proyek awal. Sayangnya, aktivitas BI dan pemerintah masih berada pada titik-titik kecil yang belum meluas, sehingga pertumbuhan penggunaan uang elektronik masih lambat. Dari sekian model sosialisasi dan dorongan yang dilakukan oleh BI dan pemerintah, nampaknya cara paksa dengan mewajibkan penggunaan uang elektronik adalah yang paling efektif. Artinya, tidak ada mekanisme pembayaran tunai yang dapat digunakan untuk layanan publik, seperti pada Trans-Jakarta. Agar langkah paksa ini berjalan baik, pemerintah harus menentukan sektor yang paling mengimbas banyak orang untuk diintervensi pertama kali, transportasi contohnya. Meskipun masyarakat menolak dapat dipastikan bahwa itu hanyalah sebuah gegar budaya sementara yang akan hilang dengan sendirinya. Contoh nyatanya yaitu saat pemberlakuan wajib uang elektronik di KRL Jabotabek, kegaduhan terjadi dan terbukti itu hanya sebentar. Pihak kedua yang berperan adalah merchant 'pedagang', yang diklasifikasikan menjadi dua. Jenis pertama adalah pembuat tren (leading), yaitu pedagang yang telah memiliki reputasi, memiliki jangkauan luas, dan terkait dengan kebutuhan harian. Contohnya adalah layanan transportasi, SPBU, dan toko modern. Tidak hanya sebagai penerima pembayaran, pedagang kategori ini dapat menjadi ujung tombak pengenalan dan penyebaran produk uang elektronik kepada masyarakat. Saat uang elektronik sudah dikenal, barulah pedagang kategori kedua (lagging) akan menyediakan layanan pembayaran menggunakan uang elektronik. Pia Stolt, pekerja media di Swedia saat diwawancarai The Guardian (11/11/14) menceritakan bahwa semakin banyak orang yang ingin membeli majalah tetapi tidak memiliki uang tunai. Akhirnya, Situation of Stockholm tempatnya bekerja memutuskan bekerja sama dengan iZettle, sebuah perusahaan pembayaran mobile, untuk menjual majalah dengan cara nontunai. "Hasilnya sangat baik, penjualan eceran meningkat 59%," ungkap Pia. Contoh tersebut menunjukkan bahwa apabila penggunaan uang elektronik sudah cukup tinggi, di Swedia sudah mencapai 59%, para pedagang yang akan berlomba-lomba menyediakan fasilitas pembayaran nontunai. Pihak berikutnya, masyarakat pengguna, sebagai pihak kunci untuk menyukseskan penggunaan uang elektronik. Selain dengan pemaksaan, keuntungan nyata juga dapat mendorong keinginan masyarakat untuk menggunakan uang elektronik. Keuntungan nyata tersebut di antaranya adalah antrean pembayaran yang lebih sedikit dan cepat, seperti pada pembayaran tol Jasa Marga atau potongan harga yang ditawarkan, seperti di Indomaret dan Trans-Jogja. Dan yang terakhir adalah penyelenggara, baik itu penerbit, prinsipal, acquirer, serta penyelenggara kliring dan penyelesaian akhir. Dalam [Nangkring] Jelajah Nontunai di Surabaya (28/3), salah satu Kompasianer memberikan kritik kepada perbankan yang selama ini menjadi penerbit karena kurang gencar menyosialisasikan uang elektronik. Dirinya menceritakan tidak pernah sekalipun mendapatkan penjelasan mengenai uang elektronik saat berada di kantor cabang bank. Pedaganglah yang lebih intensif untuk menyosialisasikannya. Kritik tadi tentu harus disambut positif oleh penerbit untuk meningkatkan kinerja mereka. Selain pada penerbit, masalah lain seputar penyelenggaraan uang elektronik adalah belum adanya pihak yang menjadi prinsipal (pihak yang bertanggungjawab atas pengelolaan sistem dan/atau jaringan antar anggotanya yang berperan sebagai penerbit dan/atau acquirer). Akibatnya, media uang elektronik dari satu penerbit tidak dapat digunakan pada mesin penerbit lain. Herlina dari Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) ketika menjadi pembicara [Nangkring] Jelajah Nontunai di Surabaya mengungkapkan, interkoneksi antarpenerbit memerlukan proses, apalagi uang elektronik ini masih tergolong baru. "Saat ini di KCJ dan Trans-Jakarta sudah bisa, nantinya semuanya," jelas Herlina. Dengan semua langkah yang akan dan sudah diambil, diharapkan penggunaan uang elektronik meningkat pesat. Masyarakat akan dimudahkan untuk bertransaksi dan negara juga semakin efektif dalam mengelola keuangan. Uang elektronik: muda & mudah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun