Mohon tunggu...
Bayu Mustaqim Wicaksono
Bayu Mustaqim Wicaksono Mohon Tunggu... Teknisi - Bayu

Mempelajari kapal, mengerjakan pesawat, menyukai kereta api, menggunakan sepeda, dan memilih mobil sebagai alternatif terakhir alat transportasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pemerintah (Tidak) Melindungi Buruh Migran Indonesia

28 April 2015   00:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:37 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buruh migran Indonesia (BMI) yang berada di luar negeri adalah duta negara. Martabat bangsa Indonesia dapat terlihat dari sejauh mana buruh migran kita dihormati. Persepsi warga dunia terhadap BMI-lah yang merupakan persepsi nyata terhadap Indonesia. Lalu, bagaimana pemerintah melindungi harkat dan derajat BMI?

Untuk melayani para BMI, pemerintah secara khusus membentuk Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) sebagai lokomotif penanganan BMI. Namun, hingga kini keadaannya masih carut-marut. Fayakhun Andriadi, anggota Komisi I DPR dalam tulisannya di Kompasiana (2011) menilai keberadaan BNP2TKI tidak bermanfaat. Gesekan antara BNP2TKI dan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) begitu kuat.

BNP2TKI dan Kemenaker berebut kewenangan tetapi saling lempar tanggung jawab. Padahal, dalam UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan PerlindunganTenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri,sudah diatur tugas tiap-tiap lembaga. Lebih dari itu, dengan struktur BNP2TKI yang diisi perwakilan berbagai instansi seharusnya deadlock koordinasi bisa teratasi, tetapi kenyataan menunjukkan sebaliknya.

Pelayanan menjadi tidak optimal dan justru memberatkan masyarakat. BNP2TKI dituding malah menjadi sumber masalah karena banyaknya permainan yang dilakukan seputar penempatan pekerja. Fayakhun pun berkesimpulan BNP2TKI harus dibubarkan atau dilebur kembali dalam Kemenaker.

Penempatan pekerja luar negeri yang dilakukan oleh Pelaksana penempatan TKI swasta (PPTKIS) juga sarat pelanggaran. Undang-undang sudah mensyaratkan adanya perjanjian penempatan yang disepakati antara PPTKIS dan calon BMI saat dilaksanakan perekrutan. Sayangnya, masih banyak PPTKIS yang “bermain” dan melanggar perjanjian, terutama terkait poin jenis pekerjaan, waktu keberangkatan, biaya penempatan, dan jaminan penempatan. Bahkan sering ditemukan calon BMI yang sudah lama sekali berada di penampungan tetapi tidak mendapat kepastian kapan diberangkatkan.

Adapula oknum PPTKIS yang diduga melakukan tindak pidana perdagangan orang. Keterlibatan calo/sponsor seringkali mengindikasikannya. Pengawasan yang minim dan sosialisasi yang kurang menambah subur kegiatan ilegal ini.

Di negara tujuan, untuk melakukan perlindungan seyogianya pemerintah mengetahui kondisi faktual BMI. Data menjadi indikator utama yang harus dimiliki. Sayangnya, sampai saat ini pemerintah melalui tiga instansinya: BNP2TKI, Kemenlu, dan Ditjen Imigrasi Kemenkumham tidak memiliki data yang sinkron terkait jumlah BMI di luar negeri.

Selain itu, kondisi para BMI di luar negeri pun tidak terpantau dengan baik oleh perwakilan RI. Dalam penempatan dan perlindungan BMI, perwakilan RI di luar negeri sebenarnya memiliki peran yang amat penting: mendata kedatangan, keberadaan dan kepulangan BMI; menilai perusahaan yang bekerja sama dengan PPTKIS; menilai perusahaan atau individu pengguna BMI; serta memberikan persetujuan atas surat permintaan pekerja dari pengguna BMI, perjanjian kerja sama penempatan, dan rancangan perjanjian kerja. Banyaknya tugas tersebut tidak mungkin bisa dilakukan oleh staf diplomatik biasa.

Kepala BNP2TKI, Nusron Wahid akhirnya menyatakan, “BNP2TKI memandang perlu dan mendesak menempatkan pegawai teknis yang menguasai penempatan dan perlindungan TKI (P2TKI) di setiap negara penempatan TKI, untuk membantu perwakilan RI di luar negeri pada fungsi P2TKI,” sebagaimana dimuat oleh Kompas.com, Kamis (12/2). Pernyataan ini adalah sebuah pengakuan pahit yang menggambarkan lemahnya kinerja pemerintah dalam memberikan pelayanan terhadap BMI di luar negeri, selama ini.

Tidak adanya komitmen pemerintah untuk melindungi BMI menyebabkan hak-hak BMI dengan mudah diabaikan. Perjanjian kerja tidak sesuai, pembayaran gaji yang tertunda, dan perlakuan tidak menyenangkan merupakan segelintir maslah yang dihadapi BMI. Bahkan, tidak sedikit BMI yang menjadi korban tindak kekerasan, pelecehan seksual, dan perampasan kebebasan. Kasus-kasus seperti itu banyak terjadi pada sektor domestik (dengan pekerjaan sebagai penata laksana rumah tangga [PLRT]). Namun, pada sektor lain pun kerap terjadi pelanggaran serupa.

Saat ini, 59 orang BMI sedang menanti hukuman mati setelah mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap dari pengadilan setempat. Terbanyak berada di Malaysia (45 orang), disusul oleh Cina (9 orang), Saudi Arabia (5 orang), dan Qatar (1 orang). Selain itu, 219 orang di berbagai negara sedang dalam proses hukum. Sementara ada 92 kasus baru yang menunggu disidangkan (Melanie S., 2015).

Dalam setiap kasus tersebut, martabat bangsa Indonesia dipertaruhkan. Jika BMI diremehkan dan dilecehkan, sama artinya dengan pelecehan Indonesia sebagai bangsa. Upaya perlindungan BMI yang dilakukan pemerintah atas nama negara dipertanyakan. Pemerintah gagal melindungi BMI serta kehormatan bangsa dan negara.

Undang-undang yang mengatur penempatan dan perlindungan pekerja di luar negeri tidak dimaknai dengan menonjolkan aspek pelayanan negara kepada warganya sekaligus memberi jaminan keamanan. Undang-undang dan berbagai peraturan turunannya itu justru dimaknai dengan orientasi bisnis. Dan terbukti, perputaran uang baik yang legal maupun ilegal dari aktivitas penempatan BMI ini sangat massif. BMI yang selalu dielu-elukan sebagai peyumbang devisa terbesar kedua untuk negara kenyataannya hanya dijadikan ladang pemerasan oleh oknum yang seharusnya memberi pelayanan. Jika pendekatan bisnis seperti ini terus digunakan, selamanya perlindungan hanya menjadi impian.

Tulisan ini diikutsertakan "Lomba Blog Buruh Migrant Indonesia" bersama Melanie Subono.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun