Mohon tunggu...
Bayu Mustaqim Wicaksono
Bayu Mustaqim Wicaksono Mohon Tunggu... Teknisi - Bayu

Mempelajari kapal, mengerjakan pesawat, menyukai kereta api, menggunakan sepeda, dan memilih mobil sebagai alternatif terakhir alat transportasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menilai Program Plastik Berbayar

24 Mei 2016   18:18 Diperbarui: 24 Mei 2016   18:23 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu limbah plastik adalah persoalan besar di Indonesia. Akibat limbah plastik, daratan dan lautan tercemar. Limbah plastik bukanlah limbah biasa, ratusan tahun plastik bekas ini akan terakumulasi, menumpuk, dan tidak bisa teruai. Ia bisa tertimbun di bawah tanah atau mengambang bergerombol di perairan.

Jika hal ini tidak bisa dihentikan, bayangkan apa yang akan ditemui oleh generasi mendatang? Hanya plastik. Pada akumulasi yang sangat massif, kumpulan plastik ini jelas akan merusak atau setidaknya mengganggu ekosistem.

Sejak 21 Februari lalu, pemerintah memutuskan kantong plastik tidak lagi gratis. Kebijakan itu awalnya diterapkan di toko-toko moderen di 23 kota. Ketua Umum Aprindo, Roy N. Mandey sebagaimana diberitakanKompas (20/5)menginformasikan bahwa penggunaan kantong plastik di toko-toko jaringan Aprindo sepanjang Maret--April sebanyak 1,2 juta buah. Nilai ini telah menurun daripada penggunaan kantong plastik pada Januari--Februari yang berjumlah 1,7 juta buah.

Pemerintah pun akan meluaskan program ini ke seluruh Indonesia yang rencananya akan mulai diberlakukan pada 5 Juni bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup. Tentu saja harapannya adalah masyarakat akan menjadi lebih sadar untuk tidak lagi menggunakan kantong plastik.

Sebelum program ini dijalankan, pengurangan penggunaan kantong plastik adalah sebuah ketidakmungkinan Berbagai imbauan dan kampanye dari banyak LSM telah dilakukan, bahkan dari pemerintah sendiri, tetapi gagal. Sulit sekali untuk membentuk kesadaran dan budaya ramah lingkungan di masayarakat Indonesia.

Tidak bisa tidak, paksaan harus menjadi keharusan demi mencapai tujuan jangka panjang untuk mengurangi penggunaan plastik. Setelah dipaksa dan merasa terpaksa, masayarakat diharapkan menjadi bisa dan terbiasa dengan ketentuan baru ini. Dan dalam jangka panjang tercipta budaya baru (Kasali, 2010), yaitu budaya berbelanja tanpa kantong plastik.

Jika budaya ini sudah terbentuk, maka kekhawatiran sebagian orang yang mempertanyakan efektivitas program kantong plastik berbayar menjadi tidak relevan lagi. Ada tiga indikator yang dapat dinilai untuk melihat kesuksesan program kantong plastik berbayar dalam mengubah budaya masayarakat. Pertama, penggunaan kantong plastik menurun drastis di toko-toko moderen.

Kedua, masyarakat menyubstitusi kantong plastik yang biasanya mereka dapatkan saat berbelanja menjadi kantong lain (bisa dari kain atau kerajinan barang bekas) yang dibawa oleh mereka sebelum berbelanja. Substitusi penting karena pengurangan kantong plastik bisa dianggap berhasil jika kantong plastik tidak lagi dianggap sebagai opsi yang wajar untuk digunakan. Hal itu bisa terjadi jika penggunaan kantong lain sudah menjadi pilihan utama dan lumrah.

Ketiga, para penjual selain anggota Aprindo tidak lagi memberikan kantong plastik sebagai kebiasaan. Sebelum program kantong plastik berbayar diterapkan, penulis selalu dianggap aneh oleh penjual jika membawa kantong belanja sendiri atau dipaksa membawa kantong plastik jika tidak membawa kantong--padahal barang yang dibeli sedikit/kecil sehingga dapat dimasukkan ke saku. Belakangan ini, penggunaan kantong kain yang selama ini penulis bawa sudah dianggap wajar menolak kantong plastik dari penjual sudah biasa. Seiring dengan perubahan perilaku masyarakat secara massif, perubahan perilaku penjual pun pasti terjadi, minimal tidak memberikan kantong plastik jika tidak diminta.

Namun, pembatasan kantong plastik di tingkat konsumen belumlah menyelesaikan masalah limbah plastik. Para produsen masih menganggap plastik menjadi media paling efektif dan efisien untuk digunakan sebagai kemasan dan dipakai secara besar-besaran.

Jika masayarakat berhasil dipaksa untuk membayar plastik yang mereka pakai, kalangan usaha malah menolak membayar plastik yang mereka gunakan. Rencana pemerintah untuk menerapkan cukai plastik menjadi gagal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun