Masyarakat nontunai (cashless society) hanya bisa diwujudkan jika transaksi pembayaran lebih dominan menggunakan sistem pembayaran dan instrumen pembayaran nontunai. Bank Indonesia selaku regulator, pemberi izin, pengawas, dan fasilitator sistem pembayaran, dalam berbagai regulasi memberikan ruang bagi bank atau lembaga selain bank untuk berpartisipasi mnyelenggarakan jasa sistem pembayaran. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa peran bank lebih dominan daripada lembaga selain bank.
Sayangnya, penyelenggaraan jasa sistem pembayaran yang dilakukan oleh perbankan diduga tidak sepenuhnya sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (dijelaskan di bawah). Hal itu jelas merugikan konsumen jasa sistem pembayaran—yang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/1/PBI/2014 diartikan sebagai setiap pihak individu yang memanfaatkan jasa sistem pembayaran dari penyelenggara untuk kepentingan diri sendiri dan tidak untuk diperdagangkan.
1.Biaya Penyetoran dan/atau Penyediaan Uang
Bank Indonesia pada 16 Januari 2014 telah menetapkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/1/PBI/2014 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran (selanjutnya disebut PBI Perlindungan Konsumen). Dalam penjelasan Pasal 2 huruf e PBI tersebut, yang dimaksud dengan “penyetoran uang rupiah” antara lain penyetoran uang rupiah oleh konsumen kepada penyelenggara melalui loket penyelenggara (counter), cash deposit machine (CDM), atau sarana lainnya. Penyetoran uang rupiah oleh konsumen dapat bertujuan untuk simpanan, pemindahbukuan, pembayaran, dan/atau penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang rupiah.
Adapun yang dimaksud dengan “penyediaan uang rupiah” antara lain penyediaan uang rupiah oleh penyelenggara kepada konsumen dalam rangka penarikan uang rupiah oleh konsumen melalui loket penyelenggara (counter), automated teller machine (ATM), atau sarana lainnya dan penukaran uang rupiah oleh penyelenggara (counter).
Dalam penggunaan transaksi nontunai yang diselenggarakan oleh bank, penyetoran (utamanya) dan penarikan uang menjadi sangat penting dan pasti terjadi, baik oleh nasabah maupun nonnasabah. Pemilihan diksi konsumen bukannya nasabah dalam PBI itu kemudian menegaskan bahwa bank seharusnya memberikan pelayanan jasa sistem pembayaran yang setara kepada nasabah maupun nonnasabah. Tidak boleh ada pembedaan.
Kemudian, pada Pasal 22 PBI Perlindungan Konsumen diatur bahwa, “Dalam penyediaan dan/atau penyetoran uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Penyelenggara dilarang mengenakan biaya kepada Konsumen.” Namun hingga kini, regulasi BI ini diduga belum sepenuhnya dipatuhi oleh bank. Bank Mandiri misalnya menetapkan biaya setor Rp5000 untuk tabungan valuta asing apabila disetorkan bukan oleh nasabah sendiri. Selain itu, Bank Mandiri juga mematok biaya saat penarikan melalui teller yang nilainya Rp2.500 atau Rp5.000 (tergantung jenis tabungan dan lokasi cabang). Bank Muamalat Indonesia juga memungut biaya Rp2.000 bila nasabah melakukan penarikan melalui teller senilai kurang dari 10 juta rupiah.
Nur Angga Pratama, petugas pelayanan pelanggan Bank Mandiri KCP Surabaya ITS menuturkan, kebijakan menetapkan biaya penarikan adalah untuk mengedukasi nasabah menggunakan layanan ATM dan layanan elektronik lainnya. “Tidak perlu antre di teller panjang-panjang,” jelasnya.
Berbeda dengan Bank Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia, BRI mengenakan biaya untuk semua bentuk penyetoran dan penarikan. Untuk penyetoran dengan berita ke cabang di dalam kota ataupun antarkota, penyetor dikenakan biaya Rp5.000 jika merupakan nasabah dan Rp10.000 jika bukan nasabah. Sedangkan untuk penyetoran antarkota tanpa berita, dikenakan biaya Rp5.000 baik nasabah maupun nonnasabah. Jika menyetor lebih dari 200 juta rupiah, biaya yang dikenakan lebih besar lagi, yakni Rp125.000. Selain penyetoran, penarikan melalui teller juga dikenai biaya yang besarmya Rp10.000 jika menarik uang ≤ 2,5 juta rupiah, Rp7.500 jika menarik uang > 2,5 juta rupiah, dan Rp125.000 jika menarik uang ≥ 200 juta rupiah. Tidak hanya itu, penarikan melalui ATM BRI pun tidak luput dari biaya yang nilainya Rp100 (selengkapnya lihat gambar).
[caption id="attachment_411366" align="aligncenter" width="564" caption="Tabel biaya layanan melalui kantor Bank Rakyat Indonesia yang terpajang di BRI Unit Keputih. (Bayu M. Wicaksono)"][/caption]
Pihak BRI Unit Keputih, Surabaya saat dimintai keterangan terkait hal ini, Jumat (17/4), tidak bisa menjawab dengan dalih pimpinan Unit sedang tidak ditempat, dan menyarankan untuk mencari informasi di kantor cabang. Sayangnya, petugas pelayanan pelanggan BRI KC Kenjeran saat ditanyai tampak menunjukkan kebingungan sehingga mengarahkan untuk menemui supervisor-nya, Karyadi. Setali tiga uang, supervisor tingkat cabang juga tidak mau memberikan keterangan karena merasa tidak berwenang, “Kami di sini hanya sebagai pelaksana, yang membuat kebijakan kantor wilayah. Silakan kalau mau, ke Plaza BRI di Jalan Basuki Rahmat (Surabaya, penulis).” Hingga tulisan ini dimuat, kantor pusat BRI yang dihubungi melalui e-mail callbri@bri.co.id pada hari yang sama, belum memberikan tanggapan.
Dari beberapa contoh di atas, sangat jelas terjadi perbedaan antara ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia dan praktik yang dijalankan oleh perbankan.
2.Surcharge
Dalam pola bisnis kartu debet dan kartu kredit, pihak bank yang diajak kerja sama oleh pedagang akan meminta imbalan senilai beberapa persen dari nilai barang yang ditransaksikan menggunakan kartu debet/kredit. Itulah yang disebut merchant discount rate (MDR). MDR harus dibayarkan oleh pedagang akibat kontribusi bank telah meminjamkan mesin EDC-nya dan menyediakan sistem pembayaran untuk pedagang.
Akan tetapi, tidak jarang pedagang yang menaikkan harga barang senilai MDR, sehingga pembelilah yang menanggung MDR tersebut. Tanggungan pembeli senilai MDR biasa disebut surcharge. Jadi, definisi surcharge atau tambahan biaya transaksi adalah biaya yang dikenakan kepada pengguna alat pembayaran menggunakan kartu (kartu debet atau kartu kredit) pada saat transaksi akibat pengalihan biaya MDR kepada pembeli, yang seharusnya dibayarkan pedagang kepada bank. Namun, tidak selamanya pemungutan surcharge adalah untuk menutupi MDR. Contohnya, meskipun jaringan Prima dengan prinsipal PT Rintis Sejahtera melalui halaman webnya menyebutkan nilai MDR = 0%, masih juga ada pedagang pengguna mesin EDC Prima yang tetap mengenakan surcharge.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Alat Pembayaran Menggunakan Kartu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 (selanjutnya disebut PBI APMK) sebenarnya telah melarang praktik pungutan surcharge. Pasal 8 ayat (2) PBI APMK mengatur, “Acquirer wajib menghentikan kerja sama dengan Pedagang yang melakukan tindakan yang dapat merugikan.” Dalam penjelasannya disebutkan bahwa termasuk dalam pengertian ”tindakan yang merugikan” adalah tindakan pedagang yang merugikan prinsipal, penerbit, acquirer dan/atau pemegang kartu, antara lain memproses tambahan biaya transaksi (surcharge).
Diatmana Parayudha, karyawan Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, saat menjadi narasumber [Nangkring] Jelajah Nontunai di Surabaya, Sabtu (28/3), menegaskan kembali larangan surcharge, “BI sudah melarang. Silakan laporkan merchant yang seperti itu.”
Leonard Panjaitan, pegawai BNI untuk bisnis kartu, dalam tulisannya di Kompasiana (2010) menyebutkan, surcharge juga merupakan hal yang dilarang di Amerika Serikat berdasarkan Truth in Lending Act hasil amandemen tahun 1975. Dibandingkan PBI APMK, aturan hukum milik Amerika Serikat itu lebih jelas mendefinisikan surcharge, “The term ‘surcharge’ as used in section 103 and section 167 means any means of increasing the regular price to a cardholder which is not imposed upon customers paying by cash, check, or similar means.”
Meskipun dilarang dan ada ancaman untuk menghentikan kerja sama dengan pedagang yang memungut surcharge, pada kenyataannya masih banyak pedagang yang tidak jera. Patut dicurigai bahwa bank selaku acquirer tutup mata atas tindakan nakal para pedagang tersebut. Petugas pelayanan pelanggan Bank Mandiri KCP Surabaya ITS, Nur Angga Pratama mengungkapkan sudah ada klausul yang disepakati antara pihak bank dan pedagang mengenai besaran MDR dan siapa yang menanggung. Rekannya—petugas pelayanan pelanggan yang lain—kemudian menerangkan bahwa Bank Mandiri biasanya menerapkan MDR 2% dan dibebankan kepada pembeli.
Padahal, di PBI APMK, pada Pasal 38 terdapat pula ancaman kepada acquirer yang melanggar ketentuan dalam Pasal 8 berupa pengenaan sanksi administratif: teguran; denda; penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan APMK; dan/atau pencabutan izin penyelenggaraan kegiatan APMK.
3.Biaya Penutupan Uang Elektronik
Dugaan pelanggaran ketiga berkaitan dengan uang elektronik. Penggunaan uang elektronik secara khusus diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 (selanjutnya disebut PBI Uang Elektronik).
Bank Indonesia dalam Pasal 13A ayat (2) huruf c PBI Uang Elektronik melarang penerbit uang elektronik mengenakan biaya pengakhiran penggunaan uang elektronik (redeem). Bagi penerbit yang melanggar ketentuan tersebut diancam dikenakan sanksi administratif berupa: teguran; denda; penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan uang elektronik; dan/atau pencabutan izin penyelenggaraan kegiatan uang elektronik, berdasarkan ketentuan Pasal 33.
Bank Mandiri sebagai salah satu penerbit uang elektronik (Mandiri e-money dan produk lainnya)—sebagaimana dilansir melalui halaman webnya—rupanya masih mengenakan biaya sebesar Rp5.000 apabila pemegang kartu hendak menghentikan penggunaan uang elektronik dan menguangtunaikan saldo e-money-nya (gambar kiri). Di halaman web-Bank Mandiri yang lain, ketentuan nilai biaya tidak diungkapkan dengan jelas dan hanya disebut sebagai biaya administrasi (gambar tengah). Anehnya, pada buku panduan Indomaret card (uang elektronik hasil kerja sama Bank Mandiri dan PT Indomarco Prismatama), disebutkan bahwa tidak ada biaya yang dikenakan saat pengembalian kartu / pengakhiran penggunaan (gambar kanan).
[caption id="attachment_411384" align="aligncenter" width="630" caption="Klausul biaya pengakhiran penggunaan / penutupan / penguangtunaian saldo uang elektronik terbitan Bank Mandiri dari berbagai sumber. Jelas tampak ketidaksinkronan satu sama lain. (Bayu M. Wicaksono)"]
Ketiga perbedaan itu juga membuat bingung pihak KCP Surabaya ITS saat dimintai penjelasan. Setelah petugas cukup lama mencari informasi melalui komputer di meja pelayanan pelanggan, akhirnya disimpulkan bahwa tidak ada biaya yang dikenakan. Akan tetapi, bisa saja kebijakan tersebut berbeda dengan kantor cabang lainnya yang malah mengenakan biaya penutupan.
Praktik-praktik perbankan yang diduga bertentangan dengan regulasi semacam ini harus mendapatkan perhatian serius dari Bank Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan masih ada lebih banyak hal yang bisa jadi terindikasi melanggar Peraturan Bank Indonesia yang ada. Penegakan regulasi adalah kunci untuk menciptakan lingkungan kondusif yang akan mengakselerasi pertumbuhan transaksi nontunai. Ketegasan Bank Indonesia, komitmen dari bank dan lembaga selain bank sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran, dan partisipasi masyarakat diharapkan mampu menciptakan masyarakat nontunai, segera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H