Tadinya mau nulis serius nih. Target Ramadan buat bangsa dan negara. Widiiw. Tapi, kok target buat diri sendiri malah ga ditulis. Kayaknya kurang pas. Akhirnya, jeng... jeng.... Jadilah tulisan ini.
Ramadan kali ini sih saya inginnya bukan puasa biasa. Kalau dicoba merunut ke belakang, selama bulan Ramadan belum ada hal spektakuler yang saya lakukan. Aduh, jadi malu.
Zaman SD, puasa sehari penuh aja sudah menjadi pencapaian yang sangat besar. Iya ga? Kalau dipikir-pikir, itu kan memang kewajiban. Jadi, belum bisa disebut sebagai pencapaian.
Masa SMP dan SMA, masih ala-ala ABG. Kebahagiaan puasa zaman itu ya saat bisa menghabiskan waktu berpuasa bersama teman-teman. Kegiatannya bebas. Bisa diatur, seringnya diisi liga bola di PS. Jangan ditiru yak! Yang penting pulang saat matahari sudah nyaris menyentuh cakrawala. Alias sudah hampir magrib.
Setelah itu, momen puasa menjadi hambar. Kesannya sama saja dengan hari biasa. Ada tugaslah. Ada kerjaanlah. Ada Si Komo lewatlah. Macet dong?
Intinya, ga ada target khusus yang akan dicapai. Mengalir saja sampai akhir. Tanpa terasa 30 hari berlalu. Ramadan pergi dan baru akan datang setahun lagi. Syedih.
Saat salat di masjid sekarang-sekarang ini, mulai terpikir. Kok sekarang imamnya seumuran ya. Bacaannya bagus pula. Umur sama tapi kok bacaan beda, apalagi hafalannya.
Awal-awal ikut kajian lagi, ada yang lebih jadi pikiran. Sekarang peserta kajian agama kebanyakan anak muda. Dulu padahal saya yang paling kecil (ya iyalah masih SMP itu, itu juga buat isi buku Ramadan). Sekarang populasi orang tua justru yang minoritas. Rajin-rajin ya bocah sekarang buat ngaji.
Keputusan pun dibuat karena jika Ramadan ini ga boleh sama seperti kemarin-kemarin. Bisa semakin ketinggalan nanti. Sekarang harus masuk fast track. Lakukan hal-hal yang positif, bermanfaat, penting, dan mendesak.
Kebetulan sekarang semakin mudah mendapatkan informasi. Banyak masjid menawarkan berbagai program Ramadan. Dan yang paling menarik buat saya adalah belajar bahasa Arab.