“Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
Begitulah kata Soe Hok Gie tentang kegiatan pendakian gunung. Sebuah idealisme yang tinggi. Dan sekarang, semakin banyak orang yang melakukan “pendakian” bukan hanya karena idealisme melainkan karena telah menjelma menjadi gaya hidup, meskipun risiko dalam aktivitas alam tersebut tidak bisa dianggap remeh.
Irhas Muhammad Rosyid adalah salah satu contohnya. Dia mulai melakukan pendakian saat masih menduduki bangku SMK. Bersama teman-temannya, Irhas memilih Gunung Lawu sebagai madrasah lapangan pertama untuk belajar mengenal alam.
Pilihan tersebut diambil karena Lawu merupakan gunung terdekat yang bisa dicapai dari sekolahnya yang berada di Madiun. Selain itu, pendakian ke Gunung Lawu pun sudah cukup familiar dan biasa dilakukan. Beberapa orang bahkan melakukan pendakian ke Gunung Lawu dengan bekal dan perlengkapan ala kadarnya.
Sayangnya, pendakian pertama itu tidak berlangsung mulus. Akan tetapi, pengalaman pertama yang tidak menyenangkan tidak membuat langkahnya surut. Justru kini ia sedang mempersiapkan pendakian ke Gunung Rinjani pada pertengahan tahun ini.
Tahun 2013 lalu, acara pendakian ke Gunung Lawu yang awalnya diprediksikan tidak akan menemui kesulitan yang berarti, justru berakhir sebaliknya. Mereka dihadapkan pada amukan hujan badai.
Pukul 8, ketika angin bertiup keras, mereka memutuskan untuk memecah rombongan. Lima orang yang sebelumnya sudah pernah mendaki Gunung Lawu berangkat untuk mengecek jalur. Bersamaan dengan kepergian mereka, badai semakin membesar diselimuti oleh hujan.
Di sekitar pos 5, tempat mereka bermalam, badai berhasil mematahkan salah satu dari dua tenda yang mereka bawa. Irhas bersama sisa anggota rombongan yang tidak pergi menuju puncak terpaksa berlindung di satu tenda yang tersisa. Itu pun dengan kondisi tenda yang bocor karena robek.
Pada saat itu, ketiga teman perempuannya kedinginan dan seorang teman laki-lakinya menggigil keras. Karena hanya dirinya satu-satunya yang masih dalam keadaan sehat di tenda, dia berusaha semaksimal mungkin untuk menolong temannya yang lain dengan berharap teman-teman lain yang mengecek jalur segera kembali.
Apapun dilakukan, mulai dari mengumpulkan semua orang dan membentuk lingkaran, membungkus mereka dengan sleeping bag, dan membuatkan minuman hangat. Untung, berangsur-angsur keadaan mereka semakin membaik meskipun hujan badai masih deras di luar.