Mohon tunggu...
Bayu Mustaqim Wicaksono
Bayu Mustaqim Wicaksono Mohon Tunggu... Teknisi - Bayu

Mempelajari kapal, mengerjakan pesawat, menyukai kereta api, menggunakan sepeda, dan memilih mobil sebagai alternatif terakhir alat transportasi.

Selanjutnya

Tutup

Money

Menyelesaikan Masalah Buruh Migran Indonesia

2 Mei 2015   15:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:27 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Hanya sedikit orang yang ingin meninggalkan kampung halaman, orang tua, dan keluarga sampai melintasi batas negara. Banyaknya warga negara Indonesia yang menjadi buruh migran meskipun hanya bekerja di sektor informal disebabkan ketiadaan pekerjaan yang layak, upah yang layak, dan kehidupan yang layak.

Calon-calon buruh migran yang sebagian besar berasal dari pedesaan amat mudah tergiur dengan tawaran upah dan kesejahteraan yang akan diterima di negara tujuan. Tentu sangat berbanding terbalik dengan penghasilan di desa yang kecil, bahkan di bawah nilai upah minimum.

Padahal, buruh migran sektor informal amat rentan terhadap pelanggaran aturan ketenagakerjaan. Selain itu, tidak semua negara memiliki instrumen hukum yang melindungi buruh migran.

Pemerintahan yang baru ini akhirnya merencanakan penghentian pengiriman buruh migran sektor informal pada tahun 2017. Namun, sepertinya kebijakan ini hanyalah kebijakan akal-akalan. Pemerintah mencoba “memformalkan” posisi-posisi pekerja rumah tangga menjadi bermacam profesi, sebagaimana disebutkan dalam Kepmenaker No. 1 Tahun 2015.

Pertanyaannya, bagaimana pemerintah dapat menjamin buruh migran kita megerjakan pekerjaan sesuai dengan profesinya? Selama ini saja meskipun kontrak kerja antara pemberi kerja dan buruh migran sudah dibuat, bahkan harus disetujui oleh perwakilan Indonesia di negara tujuan, pelanggaran tetap terjadi. Buruh migran Indonesia dipaksa bekerja melebihi jam kerja, mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga, dan dibatasi haknya.

Pemerintah mesti lebih serius menyelesaikan permasalahan buruh migran. Harus dibuat program yang jelas, terencana, dan terpadu dengan pendekatan yang tidak biasa. Pemerintah harus menolak permintaan pekerja di sektor informal. Seharusnya amat mudah dilakukan karena UU No. 39 Tahun 2004 telah mensyaratkan rekrutmen sampai pembuatan kontrak kerja buruh migran harus di bawah kendali instansi pemerintah.

Selanjutnya, kapasitas calon buruh migran harus ditingkatkan. Pelatihan dan uji kompetensi harus benar-benar dilakukan untuk membentuk calon buruh migran yang terampil sehingga dapat bersaing untuk mengisi pasar tenaga kerja sektor formal. Dengan menempatkan pekerja di sektor formal, pemerintah Indonesia tentu lebih mudah melakukan pengawasan. Buruh migran Indonesia pun mempunyai kedudukan hukum yang lebih kuat sehingga lebih aman dari tindak pelanggaran ketenagakerjaan.

Akan tetapi, masih terdapat sebuah kekurangan besar. Badan hukum/perusahaan pemberi kerja sama sekali tidak terikat dengan hukum Indonesia. Artinya, peran perwakilan luar negeri Indonesia harus diperkuat, bahkan perlu ditempatkan pengawas ketenagakerjaan khusus untuk menangani buruh migran yang memahami ketentuan hukum negara yang bersangkutan. Kontrak kerja yang merupakan jaminan legal bagi buruh migran juga tidak boleh dibuat asal-asalan. Jika suatu negara telah diketahui tidak memiliki instrumen perlindungan buruh migran, pemerintah Indonesia harus tegas menolak penempatan warga negara kita di negara yang bersangkutan.

Pemerintah juga harus mendorong ekspansi perusahaan Indonesia ke luar negeri. Upaya tersebut, selain dapat meningkatkan kemampuan para pengusaha Indonesia untuk bersaing secara global juga dapat menjadi langkah jitu untuk melindungi buruh migran Indonesia. Dengan bekerja di perusahaan Indonesia yang juga terikat hukum Indonesia, risiko pelanggaran hak buruh migran bisa ditekan. Masalah gegar budaya yang biasanya menjadi pemicu permasalahan ketenagakerjaan kemungkinan dapat dihindari.

Djoko Susilo, mantan Duta Besar RI di Bern dalam tulisannya di Jawa Pos (23/4/2015) mengkritisi pemerintah dan pengusaha Indonesia yang tidak bisa melihat peluang di Afrika. Afrika selama ini cenderung diabaikan dan dianggap tidak prospektif. Pemerintah jarang melakukan kerja sama ekonomi sedangkan pengusaha tidak meliriknya sebagai wilayah ekspansi.

Jika saja potensi bisnis seperti di Afrika itu bisa termanfaatkan, akan ada banyak peluang kerja di bawah bendera perusahaan nasional yang relatif lebih aman. Calon buruh migran tidak perlu lagi mengadu nasib di negara-negara yang selama ini terkenal berbahaya, baik karakter orang pemberi kerjanya maupun sistem hukumnya.

Sementara itu, di dalam negeri Presiden Joko Widodo harus memenuhi janjinya untuk menciptakan 10 juta lapangan kerja. Sejak awal, janji Joko Widodo dalam nawacitanya adalah harapan besar besar bagi para buruh migran. Terbukti, antusiasme warga negara Indonesia di luar negeri saat pemilihan umum tahun 2014 lalu meningkat drastis. Di negara yang menjadi basis buruh migran, Joko Widodo memperoleh kemenangan.

Pemerintah tidak boleh lagi hanya sekadar berwacana. Semakin lama janji itu terealisasi, semakin banyak buruh migran kita tersakiti, bahkan sampai dihukum mati. Kritik Okky Asokawati, anggota Komisi IX DPR, yang menyebutkan pemerintah belum memiliki peta jalan yang jelas mengenai penciptaan 10 juta lapangan kerja harus segera disikapi (Jawa Pos, 1/5/2015). Menteri Hanif Dhakiri harus mencapai kinerja yang total dan sistematis, tidak hanya sporadis seperti memanjat pagar tempat panampungan calon buruh migran.

Tulisan ini diikutsertakan "Lomba Blog Buruh Migrant Indonesia" bersama Melanie Subono.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun