Mohon tunggu...
Bayu Mustaqim Wicaksono
Bayu Mustaqim Wicaksono Mohon Tunggu... Teknisi - Bayu

Mempelajari kapal, mengerjakan pesawat, menyukai kereta api, menggunakan sepeda, dan memilih mobil sebagai alternatif terakhir alat transportasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Jokowi, PDIP, dan Rakyat dalam Pandangan Psikologi

15 April 2015   23:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:03 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dua puluh April nanti tepat enam bulan Joko Widodo menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Telah banyak pengamat yang memperbincangkan sepak terjangnya, bahkan jauh sebelum dirinya dicalonkan oleh PDIP berpasangan dengan Jusuf Kalla. Namun, belum ada satu pun yang mengupasnya dari sudut pandang psikologi.

Penulis pun akhirnya berinisiatif mendatangi dan berbincang dengan Dra. Virdhati Conitatun, Psikolog. Psikolog yang berpaktik di Medical Center Insitut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) ini menjelaskan bahwa dalam hidup kita pasti menemui masalah, yang akan membuat kita mengambil pilihan. Dalam memilih, perlu dipikirkan tiga hal pokok: sebab, tujuan, dan risiko.

Pada pemilihan presiden pada 2014 lalu rakyat pasti punya sebab untuk memilih Jokowi, baik karena faktor internal maupun eksternal. Tujuannya tidak lain adalah demi mendapatkan kehidupan yang lebih sejahtera. Yang menjadi persoalan, kebanyakan orang melupakan faktor risikonya—dan sayangnya hingga kini belum ada asuransi yang bersedia menanggung risiko politik dari pemilih.

Perlu dicatat, Jokowi dan PDIP pun mengalami ketiga fase yang dialami rakyat itu, walaupun dengan subjektivitas yang berbeda. Kini setelah pilihan dijatuhkan, maka faktor sebab menjadi tak relevan untuk kembali diperbincangkan. Hanya tinggal tujuan dan risiko yang ada di depan.

Setelah pemilihan umum, rakyat, Jokowi, dan PDIP menjalankan peran masing-masing sesuai dengan porsinya. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa setiap individu menjalankan berbagai peran dalam fase kehidupan yang sama. Coni, nama panggilan Virdhati Conitatun, mencontohkan, “Kamu paling gampang aja, berperan sebagai mahasiswa kalau berhadapan dengan dosen, kalau dengan orang tua pasti menjadi anak, beda lagi kalau bersama teman-teman. Nah, manusia itu bisa menjalankan peran berbeda-beda walaupun cuma punya satu tubuh,”

Jokowi sedikitnya sedang menjalankan dua peran besar sekarang, sebagai Presiden Republik Indonesia dan sebagai kader PDIP. Apakah “imbauan” Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri bisa diartikan sebagai intervensi atas peran Jokowi? Bisa ya dan bisa tidak. Sebagai seorang kader partai, sudah tentu ada keterikatan dan persetujuan terhadap garis ideologi partai yang wajib dilaksanakan dalam jabatan publik manapun atau sebagai warga negara biasa. Terlebih, kemenangan PDIP dalam pemilihan umum telah menegaskan bahwa ideologi PDIP ternyata disetujui oleh lebih banyak warga negara dibandingkan ideologi partai lain. Sudah sewajarnya kader PDIP yang kemudian memegang amanah rakyat ini tidak berkhianat dengan berpaling ke pemikiran lain yang tidak disetujui rakyat. Dan di situlah fungsi ketua umum untuk mengingatkan, di wilayah ideologi.

Beda halnya lagi dalam formalitas bernegara. Partai sudah terlembagakan dalam sebuah lembaga legislatif yang dari sanalah dijalankan pengawasan dan perjuangan gagasan. PDIP tidak bisa menganggap Jokowi dalam kapasitasnya sebagai presiden sebagai individu petugas partai yang setiap programnya harus disetujui partai. PDIP sudah seharusnya melewati jalan resmi DPR untuk memberi masukan kepada presidennya.

Masalah bertambah rumit karena PDIP dan rakyat bukanlah individu yang mempunyai warna yang jelas. Sebagai akumulasi massa, akumulasi gagasan, dan akumulasi tindakan, baik rakyat atau PDIP tidak mungkin menjadi sepenuhnya benar atau sepenuhnya salah. Selalu ada oknum yang membuat massa mengarah kepada keburukan. “Kalau semua peran dapat dijalankan dengan baik, surga penuh. Pasti ada yang berbuat tidak benar.”

Coni menambahkan bahwa kemampuan menjalankan tiap peran dengan baik sangat tergantung pada kemampuan individu untuk belajar. Bukan di sekolah tertentu, karena tidak ada sekolah khusus yang mengajarkan untuk menjadi presiden, menjadi rakyat, bahkan menjadi orang tua sekalipun. Hidup ini adalah sekolah yang lama yang harus ditempuh untuk mendapatkan kematangan mendalami peran.

Individu yang belum memerankan perannya dengan baik cenderung untuk bertanya mengapa saat permasalahan terjadi. Padahal sudah diketahui bahwa jawaban pertanyaan itu tidaklah ada pada dirinya, yang sering disebut sebagai takdir. Pikiran-pikiran mengenai penyebab itu cenderung digunakan untuk berlindung dan justru menyalahkan orang lain. Akhirnya energi habis hanya untuk memikirkan hal yang sebenarnya tidak perlu dipikirkan. Maka, seharusnya yang timbul adalah pertanyaan bagaimana, karena ini terkait dengan apa yang bisa dilakukan oleh diri sendiri.

Bila diri sudah bisa menerima masalah yang terjadi, tindakan selanjutnya adalah mengambil solusi. Solusi selalu merupakan pilihan-pilihan dengan sebab, tujuan, dan risiko masing-masing. Seseorang memang selalu menghadapi mekanisme ini terus-menerus, itulah yang disebut usaha. Dan usaha tidaklah mengenal kata akhir. Individu yang gagal melakukan perannya akan menjadi depresi dan kalap. Dia tidak siap menghadapi risiko atau kurang optimal dalam berusaha.

Opini yang berkembang belakangan menunjukkan hal demikian. Jokowi menjadi tertuduh utama dalam situasi negara sekarang ini. Rakyat dan PDIP lupa bahwa mereka juga memiliki peran dalam negara ini. Menunjuk hidung orang lain tidaklah mengubah keadaan. Kontribusi tiap individu melalui sinergilah yang akan memunculkan kekuatan besar untuk memperbaiki keadaan.

Pun begitu Jokowi, sebagai presiden janganlah melemparkan lagi kesalahan jika tak ingin kehilangan peran.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun