Panasnya hubungan Indonesia dan Autralia akibat tindak penyadapan intelijen Australia atas sejumlah pejabat Indonesia, perlu disikapi dengan lebih terukur dan cerdas. Baik pemerintah Indonesia maupun Australia harus memikirkan posisi geopolitik negara masing-masing untuk jangkan panjang karena secara geografis kedudukan tiap-tiap negara tidak akan pernah berubah sampai kapanpun. Selain itu, perlu dipertimbangkan pula hubungan saling ketergantungan Indonesia—Australia. Biarpun di bidang ekonomi, baik Indonesia maupun Australia masih memiliki persoalan strategis yang harus dihadapi bersama. Salah satu contohnya adalah masalah migrasi pengungsi / pencari suaka dan pembagian wilayah di Timor Gap.
Pendapat-pendapat tersebut mengemuka dalam dialog Soegeng Sarjadi Syndicate, Senin (25/11). Dalam dialog yang dipandu Soegeng Sarjadi itu, keempat pembicara sepakat bahwa masalah penyadapan ini memang sudah merupakan hal yang keterlaluan. “Kita harus menyatakan kemarahan kita, karena kalau tidak marah malah aneh. Tetapi cara marahnya (dengan membakar bendera Australia, berdemonstrasi di Kedubes Australia, dan peretasan situs Australia) saya lihat kurang pas,” kata Bambang Harimurti, wartawan senior Tempo.
Kiki Syahnakri juga menganggap wajar kemarahan rakyat Indonesia. Menurutnya, sebagai negara sahabat, Indonesia merasa tersinggung kedaulatan dan harga dirinya atas penyadapan tersebut. Dia menilai kurang tepatnya kebijakan Australia yang memilih menjadi kepanjangan tangan Amerika Serikat di kawasan daripada menjadi sahabat baik Indonesia.
“Tetapi, penyadapan ini juga ada bagusnya, karena menunjukkan kita masih memiliki rasa nasionalisme,” tutur Kiki. Saat disinggung megenai tindakan apa yang harus diperbuat Indonesia, mantan Wakil Kasad ini memilih untuk meningkatkan kemampuan insan intelijen Indonesia dan meningkatkan kesadaran seluruh masyarakat Indonesia terkait keamanan nasional. “Meminta Australia menghentikan penyadapan saya kira terlalu naif, karena selama ada kepentingan pasti ada penggunaan intelijen, yang salah satu metodenya adalah penyadapan,” lanjut Kiki.
Budiarto Shambazy yang juga menjadi salah satu narasumber, mengapresiasi keberanian Putin yang segera memutuskan untuk tidak lagi menggunakan komputer yang terhubung dengan jaringan untuk menuliskan semua dokumen di Kremlin. Di sisi lain, dirinya masih mengharapkan masalah penyadapan ini bisa diselesaikan sedamai Obama—Merkel. Wartawan senior Kompas ini juga meyakini di alam demokrasi, antara dua negara demokratis bukan merupakan ancaman satu sama lain.
Namun, bila memang kasus penyadapan ini tidak bisa berakhir secara mulus, Indonesia seharusnya menggunakan momentum ini untuk menunjukkan kekuatannya. Tentu bukan kekuatan militer melainkan kekuatan diplomasi. Karena penyadapan ini ada kaitannya dengan kepentingan Amerika Serikat, pemerintah Indonesia seharusnya menyatakan melindungi Snowden—kontraktor badan intelijen Amerika Serikat yang membocorkan sejumlah informasi rahasia. Pemerintah dapat menggali informasi-informasi yang lebih banyak dari Snowden dan mengumumkannya secara terbuka kepada masyarakat internasional. Hal tersebut secara nyata akan mempermalukan Amerika Serikat dan sekutunya sekaligus memperkuat posisi diplomasi Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H