Mohon tunggu...
Bayu Mustaqim Wicaksono
Bayu Mustaqim Wicaksono Mohon Tunggu... Teknisi - Bayu

Mempelajari kapal, mengerjakan pesawat, menyukai kereta api, menggunakan sepeda, dan memilih mobil sebagai alternatif terakhir alat transportasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menunggangi Hercules, Melintasi Indonesia

9 Juli 2014   22:30 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:50 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langkah Mem-Buru(2)

Bandung, Senin (24/2), masih dinaungi langit hitam. Matahari masih malas untuk menampakkan rupanya. Sinarnya yang terang dan hangat sangat dirindukan untuk menghapus dinginnya udara di Pusat Pendidikan Pasukan Khusus (Pusdikpassus), Batujajar.

Akan tetapi, kerumunan orang berpakaian loreng dan abu-abu telah siaga di lapangan hitam Pusdikpassus. Pengecekan personel dilakukan berkali-kali, di lapangan, ketika memasuki truk dan bus, dam sebelum kendaraan bergerak meninggalkan lapangan. Pagi ini akan menjadi pagi yang istimewa, karena ratusan orang itu akan diberangkatkan menuju Ambon dan Tual sebagai pasukan Ekspedisi NKRI 2014 kloter pertama.

Iring-iringan bus dan truk kemudian bergerak. Dalam lengangnya lalu lintas pagi di Bandung, tercurah banyak doa dan puja-puji kepada Tuhan mengiringi perpindahan menuju Pangkalan Udara (Lanud) Husein Sastranegara. Semua orang bermimpi, baik mereka yang sedang melanjutkan tidur malam yang terpotong akibat jadwal pergeseran pasukan, maupun mereka yang sudah terjaga dan bersemangat menyambut penerbangan perdananya menggunakan pesawat-angkut-pasukan TNI Angkatan Udara.

Suara azan subuh menyusup di tengah deru mesin truk yang mulai memasuki gerbang Lanud Husein Sastranegara. Terpampang gagah di landasan, sebuah pesawat Hercules C-130 short body berwarna hijau gelap dengan pintu palka yang sudah terbuka. Dengan gerakan cepat, hampir 1 ton alat dan perlengkapan komunal seperti beberapa motor kapal bertenaga 100 daya kuda dan peralatan komunikasi radio lengkap, serta perlengkapan pribadi—yang rata-rata dimuat dalam dua tas per orang—berpindah dari truk ke dalam perut Hercules.

[caption id="attachment_347035" align="aligncenter" width="600" caption="Bandung, 24/4 - Pesawat Hercules C-130 short body terparkir di landasan pacu Lanud Husein Sastranegara. (Feikal/Bayu)"][/caption]

Meskipun dari luar Hercules terlihat seperti pesawat komersial biasa semacam Boeing dan Airbus, kondisi kabinnya sungguh berbeda. Tidak ada deretan kursi dengan busa menghadap ke depan. Di pesawat ini, yang disebut kursi hanyalah berupa rajutan tali-temali yang terikat ke dinding saat tidak digunakan atau diturunkan dan disangga sebilah logam jika hendak digunakan. Dan “kursi” itu semua menghadap ke samping, sejumlah empat banjar dari kiri ke kanan.

Ruangan kosong antara kursi banjar kedua dengan ketiga yang tepat berada di tengag bagian longitudinal pesawat digunakan untuk meletakkan tas-tas dan perlengkapan lainnya. Bahkan, tidak cukup di situ, tas-tas juga menyesaki ruang di belakang kursi banjar kesatu dan keempat. Beruntunglah mereka yang dapat bersandar di tas yang isinya sebagian besar berisi pakaian, karena tidak jarang orang yang membawa peralatan teretentu yang sangat tidak nyaman untuk disandari, seperi palu pemecah batu milik tim geologi.

Beruntung pula orang yang mendapatkan tempat duduk yang nyaman di depan atau di belakang kabin pesawat. Karena hanya di posisi itulah terdapat jendela yang dapat digunakan untuk mengamati indahnya hamparan kepulauan Indonesia. Sayangnya, saya mendapatkan posisi duduk tepat di tengah pesawat selama separo perjalanan. Tanpa jendela, tanpa cahaya, ditambah dengan bisingnya deru propeller yang segaris dengan posisi kursi itu, perjalanan serasa siksaan yang lama dan seakan tidak pernah selesai.

Dari dalam kabin pesawat pun dapat terlihat langsung gading-gading rangka dan pelat luar yang membentuk badan pesawat. Di atas kabel berbagai ukuran dan warna menjalar sepanjang pelat atas, baik yang memanjang maupun melintang. Tanpa adanya langit-langit seperti di pesawat komersial, ketinggian ruang kabin hampir mencapai tiga kali tinggi manusia. Oleh sebab itu, prajurit-prajurit TNI Angkatan Udara untuk menyebut pesawat Hercules sebagai angkot (angkutan kota) udara.

Saat matahari mulai terbit dataran Bandung, Hercules mulai bergerak menuju landasan pacu. Getaran yang tercipta dari gesekan ban pesawat dengan aspal landasan hampir sama dengan truk yang melewati jalan berbatu. Tepat di ujung landasan pacu, getaran bertambah hebat, lama sekali. Saya kira pesawat telah lepas landas dan mengalami turbulensi akibat tabrakan dengan awan. Ternyata, menurut informasi dari orang yang yang duduk di samping jendela, pesawat tidak bergerak dan masih menapak di darat. Rupanya, itu adalah tahap persiapan sebelum sebuah pesawat Hercules lepas landas. Semua propeller diputar sampai mendapatkan kecepatan rotasi yang tinggi untuk menghasilkan daya yang cukup untuk mendorong pesawat mencapai kecepatan lepas landas. Sementara itu, ban direm sempurna, sehingga tidak ada pergerakan maju sama sekali. Mekanisme inilah yang menyebabkan Hercules bisa lepas landas pada landasan yang pendek.

Beberapa menit kemudian, Hercules mulai melaju menyusuri landasan pacu. Dan... kami mulai merasakan kemiringan yang menandakan proses lepas landas dimulai. Tidak lama kemudian terdengar bunyi melengking tinggi yang memekakkan telinga tepat dari posisi ban berada. Dan berdasarkan perhitungan ketepatan waktunya, ini adalah saat ban dilipat dan dimasukkan ke dalam ruang di bagian bawah pesawat. Suara bising tadi adalah bunyi motor hidrolis yang sedang bekerja dalam proses pelipatan ini.

[caption id="attachment_347036" align="aligncenter" width="600" caption="Laut Jawa, 24/2 - Gumpalan awan putih dan salah satu pesawat propeler terlihat dari jendela Hercules yang sedang mengudara."]

1404894211646297196
1404894211646297196
[/caption]

Lega rasanya mengetahui pesawat ini telah mengudara dengan sempurna, karena dalam dunia penerbangan, proses mengudara dan mendarat adalah masa paling kritis selama siklus hidup suatu pesawat. Ketiadaan hiburan selama perjalanan ditambah posisi duduk yang sangat berimpitan sehingga mustahil untuk bergerak ke manapun membuat hampir semua orang tertidur. Selain itu, tidur juga berguna untuk menghilangkan keinginan untuk buang air kecil karena tidak ada toilet di dalam pesawat Hercules.

Berdasarkan pengamatan kemiringan air dalam sebuah botol air, dapat diketahui bahwa kondisi pesawat selama di udara tidak horizontal terhadap datum tetapi miring ke belakang (dalam dunia perkapalan disebut trim by stern). Sekitar pukul 10 WITA, ketinggian terbang berkurang drastis. Mesin hidrolis ban berbunyi kemlai, pertanda ban sudah keluar dan siap menapak ke landasan. Setelah itu pesawat miring ke kiri, memosisikan arah pesawat sama dengan arah landasan. Tidak lama kemudian, ban menyentuh landasan, pesawat mendarat. Rem difungsikan dan pesawat berhenti dari kelajuan ratuan mil per jam.

Pintu palka pun terbuka memberikan celah bagi cahaya matahari untuk memasuki kabin. Dan betapa herannya ketika menyaksikan tulisan besar, “Selamat Datang di Pangkalan Udara Hasanuddin, Makassar”. Rupanya di Makasssar ini harus diadakan pengisian ulang bahan bakar. Satu tempat yang paling banyak dituju di Lanud Hasanuddin ini adalah toilet, tetapi ada juga sebagian orang yang menuju hanggar Sukhoi yang berada di sisi kiri tempat parkir Hercules. Sayangnya petugas Provost TNI AU dengan sigap menghalau setiap orang yang mendekati hanggar tersebut. Akhirnya, hanya kejauhan kami dapat mengamati deretan Sukhoi generasi terbaru yang pengadaannya baru selesai 2013 kemarin. Tidak tangung-tanggung, satu skuadron lengkap.

Tidak lama kemudian, seluruh penumpang dipanggil kembali untuk masuk ke dalam pesawat. Kali ini saya memilih tempat duduk di samping jendela. Berbeda dengan di Bandung, di Makassar ini temperatur udara di kabin sangat panas. Mungkin ini terkait dengan perbedaan suhu antara Bandung dan Makassar serta perbedaan intensitas penyinaran matahari di pagi dan siang hari. Tetapi itu tidak berlangsung lama, setalah lepas landas suhu kabin kembali dingin.

Dari jendela Hercules, terlihat hamparan daratan di kaki Pulau Sulawesi, melintasi teluk, dan melewati pulau-pulau kecil di sekitar Sulawesi. Daratan-daratan di bawah bergerak pelan sekali. Seakan pesawat ini bergerak dengan kecepatan yang amat rendah dan nyaris berhenti. Sungguh mengerikan ketika membayangkan pesawat ini benar-benar berhenti, dan kemudian jatuh. Untungnya, ketinggian jelajah semakin dinaikkan dan pesawat terbang di atas awan.

Ketika pesawat turun dan terbang di bawah awan, terlihat Pulau Ambon yang cantik dengan pohon-pohon kelapa di pesisirnya. Kami mendarat di sini. Keluar dari pesawat, dan disambut dengan tari Cakalele khas Maluku. Hanya tim yang bertugas ke Tual yang melanjutkan perjalanan dengan pesawat kembali. Sedangkan tim Namlea yang bertugas di Pulau Buru dan tim Masohi yang bertugas di Pulau Seram akan melanjutkan perjalanan menggunakan kapal feri.

Pukul 15.00 WIT, saya menjalankan salat zuhur dan asar di Lanud Pattimura. Betapa sejuknya berwudu dengan air di Kepulauan Maluku. Tujuh jam menunggangi Hercules dari Bandung ke Ambon, sebuah pengalaman tak terlupakan melintasi Indonesia.

Hi halua tua mese-mese.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun