Awal Mei 2011, jelang sore hari di salah satu kedai makanan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, seorang anak kecil menyela perbincangan seorang lelaki. Anak itu membawa mainan puzzle. “Om, beli dong om… saya doain dapat rejeki, ya, om?” Suaranya nyaring dan lantang, khas bocah, memaksa lelaki itu menaruh perhatian penuh. “Waduh! doanya gimana?” “Semoga kerjaan om sukses.” Bapak itu tersenyum jahil dan terkekeh, “Kalau beli dua, suksesnya dua?” “Iya, om.” “Kalo belinya tiga?” “suksesnya tiga om. Yaudah om, beli satu harganya sepuluh ribu, kalau tiga, dua puluh ribu.” “Sepuluh ribu dapat tiga, boleh?” “Wah, belum dapat om.” Lelaki itu menoleh ke saya dan bilang, “tuh, kan, ini kan sebenarnya anak yang cerdik.” Anak itu pun berlalu setelah saya membeli sebuah puzzle-nya. Lelaki itu bernama Ronny Poluan, asal Manado. Rambutnya panjang sepinggang, putih semua. Ia suka mengikatnya seperti ekor kuda, lalu menambahkan topi untuk melindungi kepala dari sengat matahari. Ronny mesti mengingat-ingat ketika ditanya usia. Hitung, hitung, dan hitung, ia bilang sudah 58 tahun. Ronny adalah alumni Institut Kesenian Jakarta (IKJ) jurusan teater. Hobinya jalan-jalan seputar Jakarta. Semasa kuliah, ia suka bergaul dengan seniman-seniman asing dan mengajaknya keliling kota. Permbawaannya memang supel dan suka bicara. Berkenalan dengannya seperti bertemu teman lama. Satu benda yang selalu Ronny bawa kemana-mana adalah buku catatan saku. Ia gemar menulis hal-hal yang menarik perhatiannya. Ada tulisan nama-nama anak kecil, lengkap dengan usia dan kebutuhannya. Ada juga komentar-komentar pejabat negara yang ia kutip dari media-media. Semua berkaitan dengan Jakarta Hidden Tour, proyek yang didirikan sejak 2008. Jakarta Hidden Tour bukan tur biasa. Idenya adalah membawa peserta ke daerah-daerah yang tidak biasa, yaitu perkampungan kumuh. Ronny menyebutnya “the real Jakarta”. Ia ingin peserta melihat, bahwa di balik gedung-gedung tinggi perkantoran, mewahnya pusat perbelanjaan, dan jalan-jalan beraspal lebar, ada sekelompok orang yang hidup di bawah garis kemiskinan, menata hidup di daerah-daerah kumuh. Ronny punya tiga kategori untuk orang-orang ini: miskin, sangat miskin, ekstrim miskin. Ronny merasa tergerak berbuat sesuatu. Gerilya dalam menyebarkan ide ini pun dimulai. Belajar dari pengalamannya ketika mengajak seniman-seniman luar negeri berjalan-jalan, ia memutuskan menargetkan turis asing. Ronny bikin brosur seadanya, lalu dengan malu-malu kucing ia promosi ke seputaran jalan Jaksa. Kebanyakan turis-turis itu menolak. Ronny berasumsi mereka khawatir soal keamanan. Dalam berpromosi, Ronny turut dibantu seorang aktivis asal Australia bernama Finlayson. Finlayson orangnya rajin. Ia telepon sana-sini, membuka jalan untuk masuk ke kedutaan-kedutaan asing. Suatu kali di awal 2009, Ronny dapat kesempatan presentasi di kedutaan Australia. Ronny ingat betul kalau pejagaan di sana sangat ketat karena maraknya kasus terorisme di Indonesia. “Wah, itu dijaganya kayak anjing gila.” Ronny mulai presentasi soal Jakarta Hidden Tour. Orang-orang kedutaan tampak senang dan antusias sepanjang presentasi, hingga sebuah pertanyaan menusuk Ronny. “How about the security, Ronny?” Ronny terhenyak. Ia terdiam sesaat sebelum berkata-kata. Ini pertanyaan yang belum terpikirkan olehnya. Akhirnya, ia mencoba menjelaskan, bahwa jika sebatas pencopet, Ronny yakin bisa menjaga mereka. Tapi kalau di luar itu, “it’s beyond my capacity.” Presentasi tak berakhir mulus, tapi cerita soal tur itu merebak bagai virus. Tali-tali karma saling merajut. Promosi mulai mendatangkan peluang. Bertubi-tubi, Jakarta Hidden Tour diliput media-media, lokal dan internasional. Ada Metro TV, Trans TV, TV One, Kompas, The Jakarta Globe, The Jakarta Post, CNN, AIBC Australia, hingga AFP. Pos Kota bahkan sempat menjadikannya headline, tiga hari berturut-turut. Luasnya coverage untuk Jakarta Hidden Tour menjadi berkah. Ronny ingat, di bulan-bulan pertama 2009, ia pontang-panting mencari klien. Dalam sebulan paling hanya ada satu kali tur. Tapi sejak Mei 2009, tur-nya laris manis. Ada saja peminatnya setiap minggu. Ronny berpikir bahwa ini berkat publikasi dari media. “Saya merasa dikarbitkan oleh media.” Dalam setiap tur, ia mematok harga fleksibel, antara Rp200.000-Rp500.000 per orang. Biasanya, ia membatasi hingga empat peserta saja. Namun, pada kasus-kasus tertentu, ia juga membawa rombongan. Rekornya adalah 47 orang sekali jalan. Mereka rombongan dari Norwegia. Dari uang yang terkumpul, Ronny membagi dua. Setengah masuk ke kas operasional, setengah lagi untuk warga setempat. Uang untuk warga setempat ini bisa dalam berbagai macam bentuk. Kadang Ronny memberikan secara langsung berupa uang tunai, kadang berupa sembako, kadang berupa janji temu untuk dokter bagi yang membutuhkan. Tidak ada pakem khusus untuk menentukan metode pembagian ini. Badai kritik Pemberitaan besar-besaran ternyata tak hanya berdampak baik buat Ronny. Ia mulai mendapat kritik juga kecaman dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan non-government organization (NGO). Wardah Hafidz dari Urban Poor Consortium bilang pada Pos Kota, bahwa ia tidak setuju praktek JHT. Alasannya: sangat mencoreng harga diri bangsa. ”Tidak seharusnya kemiskinan diperdagangkan. Ini jelas praktik menjual bangsa sendiri. Pemerintah harus segera mengambil langkah tegas mengehenti-kannya.” Ia juga berpendapat bahwa ini bukti ketidakmampuan pemerintah mengatasi kemiskinan, dan mestinya jadi motivasi bagi pemerintah. Wardah tidak suka metode pemberian bantuan secara langsung yang dilakukan JHT. Menurutnya, dampak buruknya lebih banyak dari dampak baik. Ia khawatir mereka jadi ketergantungan dengan bantuan-bantuan macam itu, bukannya mengembangkan potensi diri sendiri. Ari Budiman dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemprov DKI juga menentang praktek JHT. Ia bicara kepada okezone.com, “Menurut saya, ini bukan paket wisata. Tapi memang dimungkinkan seseorang mengelola orang-orang yang memiliki minat khusus untuk melihat wilayah kumuh di Jakarta. Tapi sebenarnya kalau berbicara tempat kumuh, kan tidak hanya di Indonesia saja. Di negara mana pun di dunia ini kan ada daerah kumuhnya. Lalu kenapa kita heboh dan menampilkan itu.” Ari mengingatkan Ronny agar berhati-hati dan memahami persaingan pariwisata di Asia Tenggara secara utuh. Menurutnya, ada semacam perang dingin untuk menggaet wisatawan asing sebanyak-banyaknya. Paket wisata kemiskinan, dinilai Ari, justru menjadi kelemahan di tengah upaya Indonesia mempromosikan pariwisata. Malaysia dan Singapura, yang selalu menjual keindahan negara mereka, akan merasa diuntungkan dengan adanya wisata kemiskinan di Jakarta. Tak sampai di situ, kritik juga datang dari Tere, artis cum politikus yang jadi anggota DPR. Ia lebih keras, menghimbau agen pariwisata dan pemerintah untuk mengakhiri tur macam JHT. “Saya minta segera dihentikan, karena itu tindakan eksploitasi kemiskinan yang sangat merugikan bangsa Indonesia.” Kritik demi kritik menghujam Ronny Poluan. Mayoritas bicara atas nama eksploitasi, harga diri dan nasionalisme. Tapi, ada satu pertanyaan mendasar yang patut direnungkan: benarkah demikian? Baik Wardah, Ari, maupun Tere, tidak pernah ikut dalam tur. Ronny mengaku bahwa ia terpancing juga dengan pemberitaan miring seputar dirinya dan JHT. Ia panas mendengar komentar pejabat yang menuding ia menghina bangsa. “Atas dasar apa? Anda belum melihat ‘film’-nya… datang, dong. Saya yakin, kalau orang model Ali Sadikin (mantan gubernur DKI Jakarta) pasti akan nyamperin saya dan nanya, ‘mana lo? Apa yang lo bikin?’ Ini dia ngoceh doang di belakang meja!” tukasnya. Ia lantas membolak-balik lembaran di buku catatan sakunya dan membacakan sebuah catatan, “Nih, lihat, Komisi VIII DPR baru saja merancang undang-undang baru soal kemiskinan. RUU fakir miskin selama ini belum ada. Payung hukum untuk mereka belum ada. Lantas, yang menghina itu saya atau pemerintah? Ronny terdiam beberapa saat, matanya menerawang ke kekosongan, ia menelan ludah dan menghela nafas. “Negara tidak hadir di banyak sisi-sisi kehidupan masyarakat.” Ronny sulit menerima hal ini. Perspektifnya sama sekali berbeda. Menurutnya, ketika ia dan bule-bule itu berkunjung ke daerah kumuh, mereka juga jadi tontonan orang setempat. “Jadi, ini siapa yang menonton siapa?” Ia kesal karena orang menilainya sepihak. Ronny menjelaskan bahwa dalam tur itu terjadi interaksi antara peserta dan warga. Dan, mereka semua senang. “Mereka senang, karena saya membawakan mereka ‘boneka Barbie’ yang hidup,” ia lantas terkekeh, mengingat kejadian dimana orang-orang itu mengerubungi bule-bule yang datang, mencubiti kulit mereka yang putih pucat, serta menarik-narik rambut pirang mereka. “Orang suka terlalu sibuk atau terlalu biasa (melihat kemiskinan), sehingga mereka hanya lewat saja.” Ronny tidak pernah menganggap peserta JHT sebagai turis. Ia selalu bilang pada mereka, “You are not my tourist. And You’re not a tourist for me. You are our participants for our development project.” Menyaksikan wajah lain Jakarta [caption id="attachment_181606" align="aligncenter" width="640" caption="Kampung Luar Batang (@bayumaitra)"][/caption] Kampung Luar Batang terletak di kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara. Ia ada di belakang Gedung Museum Bahari, jalan Pasar Ikan. Artikel di fauzibowo.com menyebutkan, kampung ini umurnya lebih tua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kampung ini mulai didirikan pada 1630-an. Dulunya ia merupakan palang pintu bagi pedagang dan peziarah yang ingin masuk Jawa. Islam juga masuk lewat sini. Di mesjid Luar Batang ada makam Habib Husein bin Abubakar Alaydrus, seorang imigran dari Hadramaut yang jadi guru agama di masjid, yang kala itu letaknya berdekatan dengan benteng VOC. Ia adalah pendatang awal, sebelum para pendatang keturunan Arab lain datang dan kemudian ditempatkan di kampung Pekojan, Jakarta Barat. Husein dimakamkan di masjid tempatnya mengajar pada Kamis, 27 Ramadhan 1169 Hijriah atau 24 Juni 1756. Konon, ia meninggal bujangan. Pada masa VOC berkuasa, mereka menjadikan Luar Batang sebagai tempat singgah. VOC melarang perahu-perahu pribumi keluar-masuk Pelabuhan Batavia (kini Sunda Kelapa) pada malam hari. Jadi, awak-awak kapal yang datang malam hari terpaksa menunggu pagi di Kampung Luar Batang. Dulu bentuknya hanya pondokan-pondokan sementara. Di suatu siang yang terik di pertengahan Mei 2011, Ronny Poluan mengunjungi Kampung Luar Batang bersama rombongan Jakarta Hidden Tour. Kala itu, yang ikut ada mahasiswa tingkat akhir dari Universitas Padjajaran, wartawan lepas asal Perancis, aktivis perempuan dan ibunya dari Australia, dan saya. Kami berjalan kaki menelusuri kampung. Riuh-rendah kesibukan warga mewarnai nuansa di Kampung Luar Batang. Tempat ini tak pernah benar-benar mati. Letaknya yang di pinggir laut membuatnya selalu ramai, layaknya sebuah bandar di zaman kolonial Belanda dulu. Orang dewasa menjajakan dagangan di pasar. Ada toko ikan, toko obat, toko elektronik, juga toko alat rumah tangga. Sebagian lain sibuk membersihkan kapal. Ada pula yang melepas lelah, tergolek di geladak. Kala itu anak-anak kecil baru pulang sekolah. Mereka suka berkerumun dengan teman sebaya, laki-perempuan campur saja. Tak butuh waktu lama untuk merasakan tali kemiskinan yang menjerat warga Kampung Luar Batang. Dilihat secara kasat mata, siapapun akan tahu bahwa mereka menjalani kehidupan yang sulit. Air, tempat mereka mencuci dan mandi, sangat kotor. Aroma kampung juga tidak sedap, bercampur antara bau laut, ikan, dan sampah. Jalan-jalan kecil yang membawa kami menelusuri kampung memperlihatkan pemandangan miris terhadap rumah tinggal mereka. Mayoritas dibangun di atas tanah dan batu, dengan dinding kayu atau triplek, dan beratap seng. Saya sempat berkunjung ke sebuah rumah yang setiap malam tergenang oleh air pasang. Rumah itu gelap dan pengap, dengan ukuran tak lebih dari 10 m2. Ruang tidur dan dapur jadi satu. Jangan harap ada kamar mandi. Di ruang itu juga ada sebuah ranjang lapuk dan lemari kayu untuk pakaian. Yang tinggal di sana adalah seorang kuli bangunan dengan istrinya, beserta keenam anaknya. Anaknya yang paling kecil berusia enam bulan. Entah bagaimana mereka membagi ruang ketika malam tiba. Kedatangan Ronny Poluan disambut meriah oleh anak-anak setempat. Mereka sudah mengenalinya. Sebagian dari mereka memanggil-manggil Ronny dengan sebutan “om”. Sebagian lain, terutama yang malu-malu, hanya berdiri memandangi kawan-kawannya yang mengerumuni Ronny dan rombongan. Mereka akan tersenyum atau kabur jika mata kami beradu. Ronny pun langsung disibukkan. Ia mesti meladeni anak-anak, sekaligus memberi penjelasan mengenai Kampung Luar Batang pada para peserta tur. Ia berulang kali berganti dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Para rombongan lantas diajak berkenalan dengan warga setempat. Ada penjaga mesjid kecil yang terbuat dari kayu-kayu, nelayan dengan kapal butut, ibu penjaga warung, hingga abang becak. Pada satu sesi, rombongan tur dipersilakan keliling kampung menggunakan becak. Ronny memberi Rp10.000 untuk masing-masing penarik becak. Ronny juga memperlihatkan kami sebuah ruangan luas bercat putih dan rapi. Ruangan itu ia bangun menjadi tempat belajar-mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak. Ia membayar guru bahasa sungguhan untuk mengajar di sana, setiap Sabtu dan Minggu. “Nantinya, saya ingin membangun perpustakaan,” kata Ronny. Di sudut sebuah gang sempit yang pengap, rombongan Jakarta Hidden Tour yang sudah lelah dan kepanasan duduk bersama anak-anak dan orangtua mereka. Mereka berkenalan, berbincang-bincang,dan bernyanyi bersama. Aktivis perempuan asal Australia di rombongan kami menitikkan air mata. Ia berkata seperti tidak percaya, “bagaimana mungkin mereka masih bisa tersenyum dan tertawa dalam kondisi seperti ini?” Kami menghabiskan waktu sekitar 2 jam di Kampung Luar Batang. Tur diakhiri dengan foto bersama. Anak-anak setempat girang sekali. Ronny juga membelikan jajanan untuk mereka, serta memberi sejumlah uang pada orangtua mereka. Ia lalu pamit dan membawa rombongan menuju mobil yang diparkir di luar kampung. Ada satu kejadian saat rombongan hendak pulang. Seorang lelaki berbadan gempal mendatangi kami dengan wajah berang. “Ini apa-apaan? Ngapain foto-foto? Jangan ke sini lagi, nanti gue ambil kameranya!” Ronny berusaha menjelaskan pada pria itu, namun ia terus saja meracau dan memberondong dengan pertanyaan. Ibu-ibu setempat yang mengantar kami hingga mobil berusaha menenangkan pria itu. Mereka juga berkata pada kami, “sudah, ngga usah didengerin.” Setelah rombongan masuk ke mobil, kami sekali lagi berpamitan dan beranjak pergi. Saya sempat bertanya pada Ronny mengenai soal tadi. Namun ia hanya berkilah, “Biarin saja, lah.” Tur yang digagas Ronny masih jauh dari sempurna. Butuh perencanaan dan kemasan yang lebih matang, terutama soal keamanan dan kordinasi dengan warga lokal. Idealnya, Ronny bisa mendekati pejabat atau tokoh-tokoh lokal lebih jauh. Ini, selain bisa meminimalisir kemungkinan terjadinya bahaya, juga bisa membantu menyebarkan visi dan misi Jakarta Hidden Tour secara lebih menyeluruh di setiap kawasan yang dikunjungi. Pun demikian, di luar segala kekurangan dan keterbatasannya, pesan yang ingin Ronny Poluan angkat dalam tur-nya benar-benar terbaca jelas. Jakarta tidak semuanya indah dan mewah. Ia punya sisi lain yang lebih muram. Jakarta yang tidak boleh kita abaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H