Mohon tunggu...
Bayu Maitra
Bayu Maitra Mohon Tunggu... -

Bayu Maitra adalah jurnalis berdomisili Jakarta. Saat ini sibuk bekerja sebagai redaktur areamagz.com dan sesekali menyempatkan diri mengisi blog-nya, bayumaitra.net. Ia menghargai hidup dan mengutuk pembunuhan terhadap binatang. "Natural" dan "karma" adalah dua kata favoritnya. Ia pilih spiritual ketimbang religius. Lebih suka buku dibandingkan televisi. Musik adalah temannya di kala menyunting. Mengapa ia ada di Kompasiana? Anggap saja ia suka dengan ide "jurnalisme warga".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cara 'Melihat' Bentrok SMA 6 dan Wartawan

20 September 2011   05:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:48 6816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_136137" align="aligncenter" width="680" caption="Siswa SMAN 6 dihalangi polisi dan sejumlah guru saat berhadapan dengan sejumlah wartawan di depan SMAN 6, Bulungan, Jakarta Selatan, Senin (19/9/2011). Fotografer Kontan, Fransiskus Simbolon (kanan) mencoba bertahan dari serangan para siswa SMAN 6 di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan, Senin (19/9/2011). Kejadian ini bermula saat sejumlah wartawan melakukan aksi protes berkaitan dengan kasus perampasan kamera video salah satu wartawan Trans 7 saat meliput tawuran sekolah tersebut./Admin (KOMPAS Images/Roderick Adrian Mozes)"][/caption] Kasus keributan antara siswa SMA 6 dengan wartawan cukup bikin gemas. Saya ingin berbagi opini dengan warga Kompasiana. Semoga bisa memberi perspektif lain dalam menyikapi kasus ini. Sebagai background, saya cerita sedikit soal diri sendiri. Saya alumni SMA 6 angkatan 1998, lulus 2000. Kemudian saat ini bekerja sebagai wartawan di situs areamagz.com. Karena background yang saya punya, entah bagaimana, kasus ini jadi terasa dekat. Saya merasa mesti menulis soal ini. Singkat cerita, berita sudah tersebar di berbagai media, blog, juga social media. Di era seperti sekarang, Anda tentu tidak perlu susah-susah mencari informasi. Informasi justru mendatangi Anda dengan kuantitas luar biasa besar. Siapapun bisa berpendapat dan menuliskan pendapatnya. Apa yang saya khawatirkan dari fenomena ini adalah hilangnya orientasi pembaca akibat overload informasi. Saya mengklarifikasi. Tulisan ini bukan pernyataan sikap terhadap kasus. Saya tidak melakukan riset soal ini, jadi saya tidak akan berkomentar. Saya hanya akan berkomentar terhadap informasi yang dihasilkan sebagian orang, sebagai ajakan kepada Anda untuk lebih jeli melihat kasus ini sebelum berasumsi. Ada dua haluan cerita paling besar soal kasus ini. Pertama adalah yang pro-siswa. Saya lihat blog yang mengecam sikap wartawan. Mereka antara lain menyebutkan, wartawan memanjat gedung SMA 6, wartawan mengganggu proses belajar-mengajar, wartawan melakukan pemukulan terhadap siswa, lalu ada juga foto laki-laki dengan wajah lebam, diduga siswa SMA 6 yang dipukul wartawan. Kedua adalah pro-wartawan. Saya lihat banyak media mengambil angle ini. Ada foto-foto luka memar, ada foto wartawan diburu, dan sebagainya. Penulisan cenderung menempatkan wartawan sebagai korban. Ia juga cenderung memperlihatkan solidaritas antar wartawan dalam membela hak dan kewajibannya dalam meliput berita. Banyak orang penasaran dengan kasus ini. Mereka giat kasak-kusuk cari info. Surfing sana-sini, tanya kanan-kiri. Segala informasi ditampung, mulai dari artikel koran, tulisan di blog, foto di Facebook, hingga kicauan di Twitter. Akhirnya banyak yang malah terombang-ambing di lautan informasi. Mereka bingung harus percaya siapa, percaya apa. Ini yang saya sebut dengan kehilangan orientasi. Gawat jika sudah demikian. Pun begitu, jangan lantas menyerah. Justru inilah waktunya kita menjalankan peran sebagai masyarakat yang baik. Kita mesti jeli memilah-milih informasi. Kita mesti berpikir sebelum menelan informasi mentah-mentah. Kita mesti mencari kebenarannya. Ada banyak pertanyaan yang perlu dilontarkan lebih dulu. Untuk versi cerita pertama misalnya. Siapa pembuat cerita? Apa cerita sudah diverifikasi kebenarannya? Tentu saja, menurut kaidah jurnalistik, cerita yang belum diverifikasi tidaklah valid. Penulis juga terkesan kurang bertanggungjawab karena melakukan pemberitaan sepihak. Tapi, di sini bisa ada pengecualian. Misal, penulis adalah awam dan bukan wartawan, sehingga tulisannya hanya murni opini personal dan bukan karya jurnalistik. Tulisannya (baca: pendapatnya) adalah sah dan dilindungi undang-undang. Maka perlakukan tulisan itu layaknya sebuah opini. Hargai pendapatnya, tapi jangan telan sebagai kebenaran mutlak. Lalu soal versi cerita kedua. Lihat posisi masing-masing media. Apakah ia salah satu korban? Jika iya, maka besar kemungkinan berita itu bias. Lalu, kaji tulisannya. Apa tulisan telah memenuhi standar jurnalistik, baik dari prosedur peliputan hingga hasil akhirnya? Apa ada proses verifikasi? Apa sudah cover both side? Bagaimana pemilihan narasumbernya? Jika ada satu saja prosedur yang salah, maka karya itu cacat dan juga tidak layak diterima sebagai kebenaran mutlak. Saya pikir, kita adalah pembaca yang dewasa dan pencari kebenaran. Jika pikiran saya benar, maka kita jelas tidak punya kepentingan dengan segala sensasi dan gosip yang timbul akibat distorsi informasi. Kepentingan kita hanya satu: kebenaran. Saya tidak menyarankan Anda menolak informasi. Saya menyarankan untuk menyaring informasi. Saya bukan melarang Anda kasak-kusuk cari informasi. Hanya saja, mencari informasi juga ada seninya sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun