Mohon tunggu...
Bayu Maitra
Bayu Maitra Mohon Tunggu... -

Bayu Maitra adalah jurnalis berdomisili Jakarta. Saat ini sibuk bekerja sebagai redaktur areamagz.com dan sesekali menyempatkan diri mengisi blog-nya, bayumaitra.net. Ia menghargai hidup dan mengutuk pembunuhan terhadap binatang. "Natural" dan "karma" adalah dua kata favoritnya. Ia pilih spiritual ketimbang religius. Lebih suka buku dibandingkan televisi. Musik adalah temannya di kala menyunting. Mengapa ia ada di Kompasiana? Anggap saja ia suka dengan ide "jurnalisme warga".

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

JRP dan Loyalitas Wartawan

18 Agustus 2010   17:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:54 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_231226" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Pada suatu siang di Juli, 2008. Sebuah file berisi artikel masuk ke komputer saya, judulnya Jakarta Rock Parade, Saved by Mono. Ini karya Nicko Krisna, Web Reporter kami. Artikel itu sepanjang 250 kata, padat oleh opini, ditulis dengan berapi-api. Ketika itu, saya menjabat sebagai Jr. Editor untuk majalah AREA versi cetak. Posisi Editor kosong karena yang menjabat sudah pindah kerja. Otomatis, saya bertanggung jawab langsung kepada Editor in Chief. JRP adalah proyek ambisius dari promotor BIGanendra. Sebuah festival musik rock yang rencananya digelar selama tiga hari berturut-turut dengan line-up musisi dalam dan luar negeri, dari era 50-an hingga 2000-an. Masyarakat menyambut baik, demikian antusiasnya hingga hingar-bingar JRP sudah terdengar jauh sebelum acara dimulai. Dalam bayangan, ini seperti JavaJazz Festival versi rock. JRP diharapkan menjadi festival rock internasional pertama di Indonesia.Taglinemereka, "Let's Make History". Apa daya, harapan tak sesuai kenyataan. Dalam tulisannya, Nicko menilai JRP gagal total. Banyak band yang gagal didatangkan (termasuk Yeah Yeah Yeahs), ada band yang pembayarannya bermasalah, banyak band batal tampil, belum lagi pengunjung tetap sepi dari hari ke hari lantaran tiket yang relatif mahal. Banyak orang kecewa. Persiapan JRP kurang matang. Di akhir artikel, Nicko bilang bahwa acara ini diselamatkan oleh Mono, band asal Jepang yang tampil memikat. Secara teknis, saya melihat tak ada yang salah dari tulisan Nicko. Ia membuat laporan tentang konser musik dengan memakai sudut pandang orang pertama. Ini membuat artikel dipenuhi data,personal insight, serta opini hasil pengamatan panca indera-nya. Buat saya, ini tak masalah. Kata siapa penulis tak boleh beropini? Nicko juga menambahkan beberapa kutipan penonton sebagai pemanis. Saya putuskan, artikel ini layak naik cetak. Keesokan harinya, Nicko memberitahu saya bahwa artikelnya 'dicabut'. Saya bingung. Asumsi saya hanya dua. Pertama, ada suatu kesalahan penulisan yang lolos dari pengamatan saya sehingga artikel ini tak boleh naik cetak. Kedua, ada pengaruh di luar lingkup editorial yang mendesak. Saya lantas menelpon Editor in Chief yang saat itu sedang di luar kantor. "Kenapa, Bay?" "Itu, artikel JRP kenapa dicabut?" "Bahasanya terlalu keras." "Lho, tapi kan ngga ada yang salah. Itu artikel bagus." "Si bos yang minta dicabut." "..." Di atas langit ada langit, di atas bos ada bos-nya si bos. Saya tak bisa berkata-kata. Ada rasa kesal dan penasaran melihat Editor in Chief saya demikian penurut. Saya hanya bisa meminta maaf pada Nicko. Dalam hati, saya merasa berhak atas sebuah alasan yang masuk akal. Beberapa hari kemudian majalah kami naik cetak. Namun, saya masih penasaran mengapa artikel JRP dicabut. Editor in chief saya sedang berada di ruangannya ketika saya masuk dan menanyakan soal yang sama. "JRP itu pasang iklan di kita. Kita harus menjaga hubungan." "Kalau acaranya memang jelek, gimana?" "Ya, mendingan ngga usah dimasukin tulisannya." "Lho, tapi, ini kan berita." "Ya, kalau berita jelek ngapain ditulis?" "..." "Nanti, kalau tahun depan mereka bikin acara lagi dan ngga mau mengiklan di kita gimana?" "..." Untuk kedua kalinya saya terdiam. Tapi, kali ini saya dapat jawaban. Asumsi nomor dua lah yang menjadi alasan dicabutnya artikel tersebut. Ada kepentingan bisnis yang kuat hingga mampu menggeser independensi editorial. Memang, ada kebiasaan lama di kantor untuk membuang 'berita buruk'. Kebijakan kita cenderung mengangkat berita yang baik (atau 'baik-baik'), karena lebih menguntungkan secara bisnis dan resikonya lebih kecil. Saya sendiri suka dengan berita baik, namun dengan alasan berbeda. Bagi saya, berita baik bisa menularkan hal yang baik pada masyarakat. Tapi, ini bukan berarti menghindari 'berita buruk' atau menulis berita secara 'baik-baik'.

---

Suatu Rabu malam di Juni, 2010, saya mengikuti kelas narasi yang diadakan oleh Yayasan Pantau. Kelas ini mengajarkan apa yang disebut jurnalisme sastrawi/new journalism/narrative journalism/narrative reporting,sebuah genre yang mengawinkan disiplin paling berat dalam jurnalisme dengan cara bertutur memikat ala sastra. Kasarnya, ini seperti membuat novel, tanpa fiksi setitik pun. Andreas Harsono menjadi pengajar di sesi pembuka tersebut. Ia mengajak kami mengkaji kembali sembilan elemen jurnalisme. Ada satu pelajaran menarik tentang "segitiga loyalitas wartawan" dalam jurnalisme. Sisi pertama diisi oleh sponsor, ini mencakup media tempat wartawan tersebut bekerja, pemegang saham, dan pemasang iklan. Sisi kedua ialahaudience, ini berarti pelanggan. Dan, di sisi ketiga ialah warga. Ada yang memperlakukan segitiga ini sebagai segitiga sama sisi, di mana wartawan harus membagi loyalitasnya sama rata. Saya tidak sepakat. Pada akhirnya, wartawan harus memilih salah satu. Jika itu terjadi, loyalitas wartawan adalah kepada warga. Jika saat ini saya mengingat-ingat soal JRP tersebut, yang tersisa ialah rasa sesal. Bukan menyesali keputusan Editor in Chief yang telah menarik artikel tersebut, tapi lebih menyesali diri sendiri. Mengapa saya tak meyakinkan si Editor in Chief? Mengapa saya tak bertanya lebih jauh pada bos-nya si bos? Mengapa saya tak berkekuatan untuk melawan pengaruh klien terhadap independensi editorial? Dan, terutama, mengapa saya diam saja? Seiring waktu, majalah Area pun berkembang. Perubahan demi perubahan dilakukan seiring dengan pendewasaan. Saya dipercaya menjadi redaktur areamagz. Misi saya jelas: meningkatkan kualitas editorial Area. Saya jadi ingat perkataan Adolf Ochs saat membeli harian The New York Times. “Rencana bisnis yang menempatkan audiens mendahului kepentingan politik dan keuntungan finansial jangka pendek adalah strategi keuangan jangka panjang terbaik.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun