Mohon tunggu...
Bayu Muhammad Noor Arasy
Bayu Muhammad Noor Arasy Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Menulis tentang isu-isu sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang sedang berkembang di tanah air.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Indonesia Harus Bersuara mengenai Ketegangan Laut di Tiongkok Selatan

23 Mei 2024   12:32 Diperbarui: 23 Mei 2024   16:08 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Philippine Coast Guard(PCG)/AFP 

CoC yang dimaksud merupakan suatu mekanisme yang dikembangkan dari Code for Unplanned Encounters at Sea (CUES). Dahulu, hal tersebut dibentuk untuk menyediakan hotline komunikasi yang akan digunakan apabila terjadi keadaan panas di LTS. Sempat tertunda karena pandemi Covid-19, CoC kini terus dibahas oleh ASEAN dan RRT.

Awal bulan ini, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Indonesia, Hadi Tjahjanto, seorang mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), menyerukan semua pihak untuk menahan diri melakukan aksi-aksi yang provokatif.

"Kita harus terus menyerukan agar semua pihak menahan diri dari aksi yang dapat memicu insiden, menjaga status quo, serta menggunakan cara-cara non-kekerasan dan perundingan damai yang berdasarkan norma hukum internasional, utamanya UNCLOS 1982," ujarnya dalam acara Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) bulan Maret tahun 2024.

Tapi, Jakarta belum memberikan respons yang lebih tegas terkait dinamika persengketaan Filipina dan RRT yang sedang memanas di LTS.

Posisi tersebut memang konsisten dengan posisi Indonesia, terutama seperti yang diungkapkan oleh Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia. Pejambon telah berulang kali menekankan bahwa Indonesia bukanlah negara yang memiliki sengketa di LTS, atau non-claimant. Salah satunya disampaikan oleh Menlu Retno Marsudi ketika Indonesia bersitegang dengan RRT pada 2016 silam.

Mirisnya, pernyataan Retno keluar menanggapi insiden masuknya sejumlah kapal nelayan asal RRT ke ZEE Indonesia untuk melakukan penangkapan ikan ilegal selama beberapa bulan. Seolah-olah, Beijing tidak mempedulikan status Indonesia sebagai non-claimant state.

Pihak berwenang Indonesia langsung mengambil tindakan dengan menyita kapal nelayan RRT dan menahan awaknya. Tapi dalam satu kejadian terjadi kontak fisik ketika kapal penjaga pantai RRT ikut campur dan menabrak kapal nelayan yang sedang dibawa ke Pulau Natuna untuk dibebaskan dari penahanan Indonesia. Aksi pihak RRT dikecam Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sebagai tindakan yang arogan.

Sementara itu, RRT memprotes penangkapan nelayan-nelayan mereka yang telah menangkap ikan secara ilegal di ZEE Indonesia. Dalam kasus ini, RRT menegaskan nelayan mereka memancing di wilayah tradisional penangkapan ikan mereka dan tidak masuk ke dalam wilayah perairan Indonesia.

Protes-protes dari pemerintah disusul dengan kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Pulau Natuna untuk mengadakan rapat kabinet di atas kapal perang. Setelahnya, aktivitas Angkatan Laut (AL) Indonesia berpatroli menghadapi infiltrasi-infiltrasi kapal RRT di perairan Natuna meningkat. Sebuah tindakan dramatis untuk mempertegas kedaulatan Indonesia di wilayah tersebut.

Insiden Terus Berlanjut

Tidak berhenti di situ, RRT juga melanggar kedaulatan Indonesia di tengah-tengah pandemi Covid-19. Pada akhir 2020, Kapal penjaga pantai RRT memasuki dan berkeliaran dalam ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun