Mohon tunggu...
Bayu Kariastanto
Bayu Kariastanto Mohon Tunggu... -

PhD in Development Economics, National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS), Tokyo-Jepang.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Redominasi Rupiah, Pentingkah?

4 Agustus 2010   01:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:20 3162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konferensi pers Gubernur Bank Indonesia tentang redenominasi rupiah menegaskan bahwa BI akan mengusulkan redenominasi rupiah dengan menghilangkan 3 nol terakhir di mata uang kita. Prosesnya direncanakan akan berlangsung selama 5 tahun dimulai pada tahun 2011. Proses denominasi terdiri dari dua tahap, yaitu 2 tahun masa sosialisasi dan 3 tahun masa transisi. Dalam masa transisi, Rupiah lama dan Rupiah baru akan berlaku secara bersamaan, sehingga setiap barang akan memasang dua harga. Misalnya, 1 butir telur akan mematok dua harga yaitu 1.000 Rupiah lama dan 1 Rupiah baru.

Dengan redenominasi ini, nilai nominal Rupiah akan lebih setara dengan mata uang Negara lain, misalnya 1 Yen akan setara 0.1 Rupiah, 1 Ringgit akan setara 2.8 Rupiah, dan 1 Dollar akan setara 9 Rupiah. Redenominasi sudah sepatutnya dilakukan mengingat Rupiah memiliki nilai nominal paling tinggi di dunia setelah empat Negara berkembang lainnya, yaitu Zimbabwe, Vietnam, Somalia, dan Iran. Bagi yang sering berinteraksi dengan mata uang asing, betapa kita merasakan bahwa nilai Rupiah terlalu besar dan “kurang berharga” dibandingkan mata uang asing.

Secara makro ekonomi, dampak redenominasi Rupiah tidaklah ada. Dilihat dari model ekonomi apapun, redenominasi tidak akan berpengaruh ke variabel nominal apalagi ke variabel riil dalam perekonomian sehingga saya kurang sependapat dengan pendapat beberapa ahli ekonomi yang mengatakan redenominasi memberikan efek negatif pada ekspektasi pelaku pasar. Lebih jauh, redenominasi tidak akan menyebabkan kenaikan/penurunan inflasi. Untuk menggambarkan efek netral redenominasi secara sederhana, proses redenominasi dapat digambarkan sebagai berikut: Pak Badu memiliki uang Rp.10.000 dan harga sebutir telur Rp. 1.000, sehingga pak Badu dengan uangnya mampu membeli 10 butir telur. Jika pemerintah melakukan redenominasi dengan menghilangkan 1 nol terakhir, maka uang pak Badu akan menjadi Rp. 1.000 dan harga satu butir telur menjadi Rp.100. Redenominasi ini tidak menimbulkan efek inflasi karena dengan uang yang dimilikinya, pak Badu tetap bisa membeli 10 butir telur, sama persis dengan jumlah telur yang dapat dibelinya sebelum redenominasi.

Kekhawatiran beberapa pengamat ekonomi tentang kekacauan dalam perekonomian setelah redenominasi Rupiah saya kira kurang beralasan. Dengan waktu sosialisasi yang cukup, saya kira masyarakat Indonesia sudah cukup cerdas untuk memahami redenominasi dan mampu bertransaksi sama baiknya menggunakan rupiah lama maupun rupiah baru.

Untuk memahaminya lebih mendalam, mari kita tengok pengalaman redenominasi di negara lain yang memiliki tingkat perekonomian yang relatif sama dengan Indonesia, yaitu Turki dan Rumania. Turki menghilangkan 6 nol pada mata uangnya “Lira” pada 1 Januari 2005, sedangkan Rumania menghilangkan 4 nol pada mata uangnya “Leu” pada 1 Juli 2005. Kedua proses redenominasi tersebut berlangsung lancar dan tidak menyebabkan kekacauan dalam kegiatan perekonomian. Turki melakukan sosialisasi redenominasi selama 1 tahun, sedangkan Rumania hanya dalam waktu 6 bulan. Bandingkan dengan rencana BI, sosialisasi akan dilakukan selama 2 tahun, rentang waktu yang sudah sangat memadai untuk sosialisasi, karena saya yakin masyarakat Indonesia tidaklah lebih bodoh dari masyarakat Turki maupun Rumania.

Memang harus diakui redenominasi bisa digunakan sebagai alat untuk mengendalikan money supply pada saat terjadi hyper inflation (sanering) dan biasanya sanering dilakukan didalam perekonomian yang sedang collapse oleh rezim yang bermasalah. Ironisnya, Indonesia pernah merasakan pengalaman buruk tentang sanering pada saat akhir orde lama pada Desember 1965. Saat itu pemerintah memotong nilai nominal mata uang, sedangkan harga barang dibiarkan tetap mengikuti harga lama. Akibatnya masyarakat merasakan dampak yang luar biasa karena saat itu harga barang hanya turun satu persen dari nilai pemotongan, sehingga kekayaan masyarakat menjadi jauh lebih kecil dari kekayaan awal. Tetapi yang perlu diingat bahwa redenominasi sekarang berbeda dengan sanering tahun 1965, inflasi saat ini sangat terkendali dan BI juga memberikan masa transisi yang cukup sehingga harga barang akan turun sebesar penurunan nilai nominal uang.

Walaupun secara garis besar rencana BI sudah baik, ada beberapa masukan untuk menyempurnakannya. Pertama, saya lebih prefer untuk menghilangkan 2 nol daripada 3 nol. Alas an pertama adalah secara de facto bahwa nilai pecahan Rupiah terendah yang berlaku di masyarakat adalah Rp. 100. Dengan dua digit redenominasi, perilaku masyarakat tidak akan berubah karena mereka masih dapat menggunakan pecahan terkecil yang biasa mereka gunakan. Alasan kedua, redenominasi 3 digit akan dapat menyebabkan perubahan inflasi karena efek pembulatan. Ambil contoh sebuah barang seharga Rp.100 akan dijual Rp. 1 setelah redenominasi karena tidak ada pecahan Rp. 0.1, sedangkan dalam redenominasi dua digit, penjual masih dapat menjual barang tersebut senilai Rp. 1. Harus diakui bahwa redenominasi 2 digit juga tidak bebas dari efek pembulatan, tetapi efeknya akan sangat kecil karena saya yakin bahwa secara de facto pecahan terkecil yang berlaku di masyarakat sekarang adalah Rp. 100.

Usulan kedua saya adalah pengurangan waktu untuk proses redenominasi. Pertama, masa transisi sebaiknya dikurangi dari 3 tahun menjadi hanya 2 tahun. Kembali ke pengalaman Turki dan Rumania, masa transisi di Turki adalah 2 tahun sedangkan di Rumania hanya 1.5 tahun. Saya yakin Indonesia bisa mengikuti jejak mereka untuk memperpendek masa transisi, karena Indonesia memiliki tingkat perekonomian dan kualitas SDM setara dengan mereka. Pengurangan masa transisi dirasa penting karena masa transisi identik dengan ketidakstabilan. Masa sosialisasi seharunya juga bisa diperpendek. Seperti dijelaskan diatas bahwa masa sosialisasi di Turki selama 1 tahun dan Rumania hanya 6 bulan, masa sosialisasi di Indonesia bisa diperpendek hanya menjadi 1 tahun terhitung dari awal 2011. Secara de facto, sebenarnya sosialisasi sudah dimulai saat BI mengumumkan rencana redenominasi pada awal Agustus 2010. Jika pengurangan waktu tersebut disetujui, secara keseluruhan redenominasi hanya akan memerlukan waktu relatif singkat hanya 3 tahun dan kita tidak akan berlama-lama dalam menyelesaikan sebuah agenda.

Mengingat bahwa redenominasi memberikan banyak manfaat tanpa memberikan risiko berarti pada perekonomian, sudah selayaknya masyarakat mendukung program tersebut. Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan yang terkesan masih apriori dengan rencana denominasi harus segera memberikan dukungan bagi BI guna memperlancar agenda besar ini.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun