Mohon tunggu...
Bayu Kariastanto
Bayu Kariastanto Mohon Tunggu... -

PhD in Development Economics, National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS), Tokyo-Jepang.

Selanjutnya

Tutup

Money

Perlambatan Ekonomi, Menanti Kebijakan Moneter yang tepat.

18 Agustus 2015   07:46 Diperbarui: 18 Agustus 2015   08:42 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Perekonomian negara-negara berkembang termasuk Indonesia saat ini sedang mengalami tekanan. Tren pertumbuhan ekonomi terlihat belum banyak berubah. BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun 2015 melanjutkan trend pelemahannya dan tumbuh hanya 4.67%. Tingkat pertumbuhan yang terlalu rendah untuk negara sebesar Indonesia untuk dapat  meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi angka pengangguran.

Untuk mengatasi perlambatan ekonomi tentunya perlu stimulus, baik stimulus fiskal maupun moneter. Namun, stimulus moneter dipandang lebih efektif dibandingkan stimulus fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Hal ini dikarenakan stimulus moneter dapat diformulasikan secara cepat, dapat diimplementasikan segera, dan lebih cepat ditransmisikan. Berbeda dengan stimulus fiskal yang memiliki sifat alami yang lebih lambat dan memiliki horizon yang lebih panjang. Ambil contoh, pemerintah ingin memberikan stimulus ekonomi dengan melaksanakan proyek padat karya. Proses pelaksanaannya akan memakan waktu lama, mulai penganggarannya di kementerian, persetujuannya di DPR, pemilihan proyek, penunjukan pelaksana, dan sebagainya. Oleh karenanya, sudah menjadi best practice internasional bahwa kebijakan moneter lebih diutamakan dalam memberikan stimulus ekonomi disaat terjadi krisis ataupun resesi. Tidak berlebihan jika kita terus mendorong Bank Indonesia untuk lebih proaktif menyikapi perlambatan pertumbuhan ekonomi saat ini.

Secara teori, terdapat setidaknya 3 pilihan kebijakan yang dapat diambil oleh otoritas moneter, pertama, yaitu inflation targetting dimana fokus utama dari kebijakan moneter adalah mengendalikan tingkat inflasi (tingkat inflasi dijadikan landasan utama menetapkan kebijakan moneter, misalnya tingkat bunga acuan). Kedua, adalah exchange rate targetting dimana otoritas moneter memfokuskan diri untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah. Terakhir adalah monetary targetting, dimana fokus utama otoritas moneter adalah mengendalikan variable moneter terpilih, misalnya jumlah uang beredar. Dalam perkembangannya, dalam kondisi tidak normal, otoritas moneter dapat menjadikan variabel non-moneter seperti angka pengangguran atau pertumbuhan ekonomi sebagai fokus utama atau landasan pengambilan kebijakan. Sebagai contohnya, the Fed dalam lingkungan moneter Amerika Serikat yang tidak normal saat ini (menyentuh zero lower bound, Krugman’s stagflation, dll) mengunakan tingkat pengangguran sebagai dasar utama pengambilan kebijakan moneter.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia dapat dikategorikan sebagai sebuah negara kecil yang terbuka (small open economy). Kecil dalam artian bahwa kebijakan atau tingkat harga di pasar keuangan Indonesia tidak berpengaruh terhadap tingkat harga di pasar keuangan internasional (price taker), terbuka dalam artian bahwa lalu lintas modal dan perdagangan internasional tidak dibatasi. Beberapa penelitian seperti dalam Gertler, M., Gilchrist, S. dan F. Natalucci (2003), GalÌ, J., dan Monacelli, T. (2005), dan Kariastanto (2011), merekomendasikan inflation targetting sebagai kebijakan paling optimal untuk small open economy, termasuk dalam menghadapi shock dari pasar keuangan dan ekonomi global. Kebijakan ini menciptakan kesejahteraan (wealth effect) terbaik diantara pilihan kebijakan yang ada.

Membaca pernyataan Gubernur Bank Indonesia di media akhir-akhir ini, saya kesulitan membaca arah kebijakan Bank Indonesia, apa yang menjadi concern utama Bank Indonesia, apakah tingkat inflasi, nilai tukar rupiah, defisit neraca berjalan atau pertumbuhan ekonomi. Kesan yang saya tangkap malahan Bank Indonesia concern pada semua hal tersebut, tidak menyusun prioritas, bahkan ada kesan Bank Indonesia tidak mengambil posisi sama sekali, misalnya menyikapi pelemahan Rupiah atau menyikapi data inflasi. Fokus pada banyak hal dapat kontra produktif karena akan menyulitkan Bank Indonesia untuk mengambil kebijakan. Suatu kebijakan selalu memiliki dampak yang berbeda atas variabel-variabel tersebut. Selain itu, pilihan kebijakan yang diambil tentunya tidak menghasilkan output terbaik. Mengikuti mayoritas hasil penelitian, saya berpendapat Bank Indonesia dapat fokus pada data tingkat inflasi saja (inlation targetting).

Saya berpendapat ada beberapa langkah yang dapat diambil Bank Indonesia selaku otoritas moneter untuk mengoptimalkan kebijakan moneter yang diambilnya. Pertama, Bank Indonesia harus lebih terbuka dan mengkomunikasikan dasar pengambilan kebijakannya, misalnya tingkat inflasi (inflation targetting). Dalam era perekonomian saat ini, peran otoritas hanya sebagai derigen, bukan player utama yang dapat mengendalikan pasar. Derigen akan dianggap efektif jika dapat mengarahkan anggotanya secara sukarela mengikuti arah yang ditetapkannya. Syarat utama agar dirigen diikuti anggotanya adalah arah gerakannya jelas dan terbaca dengan baik. Begitupun otoritas moneter, dasar pengambilan kebijakan otoritas moneter harus dikomunikasikan dengan jelas, sehingga setiap kebijakannya dapat diikuti dan diantisipasi pelaku pasar. Dapat dibuktikan secara ilmiah bahwa kebijakan moneter yang terantisipasi (anticipated policy) akan lebih efektif dan menimbulkan biaya bagi perekonomian yang jauh lebih rendah. Tidak heran, the Fed selalu mengumumkan dasar pengambilan kebijakannya, misalnya data tingkat pengangguran akan dijadikan dasar utama penentuan tingkat suku bunga acuan the Fed saat ini.

Kedua, saat ini terdapat ruang bagi Bank Indonesia untuk memberikan stimulus moneter. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan tingkat Inflasi tahun kalender Januari s/d Juni 2015 masih rendah, yaitu baru mencapai 0.96%.  Inflasi bulan Juli 2015 juga rendah, hanya sebesar 0.92%, padahal terdapat momen mudik dan lebaran. Oleh karenanya, jika pemerintah tidak menaikkan harga Bahan Bakar Minyak, saya memperkirakan Inflasi tahun 2015 ini dapat berada dibawah 4%. Oleh karenanya, saat ini terdapat ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga acuannya. Jika Bank Indonesia khawatir dengan interest parity ditengah tren pelemahan Rupiah, stimulus dapat diberikan dengan menaikan likuiditas di pasar melalui penurunan giro wajib minimum ataupun melalui operasi pasar terbuka.

Ketiga, koordinasi kebijakan antara otoritas moneter dengan pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan harus lebih diintensifkan saat memberikan stimulus moneter. Tanpa koordinasi dengan pemerintah, saya tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi saat Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuannya dan dalam waktu hampir bersamaan, pemerintah menetapkan kenaikan harga bahan bakar minyak. Selain itu, peningkatan likuiditas di pasar keuangan terlebih dalam kondisi perekonomian yang masih lemah dapat mendorong timbulnya moral hazard di industri jasa keuangan, yang beberapa penelitian menunjukkan dapat dimitigasi dengan peningkatan supervisi terhadap para pelaku di industri jasa keuangan. Disinilah letak pentingnya koordinasi antara bank Indonesia dengan Otoritas Jasa Keuangan sebagai pengawas lembaga jasa keuangan di Indonesia.

Terakhir, Bank Indonesia harus hadir di pasar menjaga volatilitas Rupiah. Saat ini volatilitas Rupiah sudah terlalu tajam, tentunya hal ini menyulitkan dunia usaha untuk menjalankan roda bisnisnya. Volatilitas Rupiah yang tinggi juga mendorong spekulasi yang dapat menekan Rupiah lebih dalam serta menurunkan nilai riil Rupiah karena risiko Rupiah membesar. Saya memiliki kesan Bank Indonesia saat ini melepaskan Rupiah sepenuhnya kepada pasar, padahal sebelumnya Bank Indonesia, seperti hampir semua Bank Sentral dengan mata uang mengambang seperti Rupiah, selalu menyatakan komitmen penuhnya secara terbuka untuk menjaga volatilitas nilai mata uangnya. Saya berharap Gubernur Bank Indonesia dapat segera menyatakan dan mengumumkan komitmen Bank Indonesia menjaga volatilitas nilai tukar rupiah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun