Mohon tunggu...
Bayu Kariastanto
Bayu Kariastanto Mohon Tunggu... -

PhD in Development Economics, National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS), Tokyo-Jepang.

Selanjutnya

Tutup

Money

Jatuhnya Pasar Saham China dan Pelajaran untuk Kita

14 Agustus 2015   08:47 Diperbarui: 14 Agustus 2015   08:47 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pergerakan pasar saham China ibarat roller coster, naik cepat dan turun tidak kalah cepat. Dari titik tertinggi tahun ini pada 12 Juni 2015 sampai dengan 6 Agustus 2015 atau hanya dalam 2 bulan,  indeks harga saham Bursa Shanghai telah turun 28.5%. Sebelumnya, sampai dengan 12 Juni 2015, indeks harga saham naik secara drastis sebesar 60% dibandingkan awal tahun atau 152% dibandingkan Juni 2014. Kenaikan indeks sebesar itu tentunya tidak normal dan pasti akan diikuti oleh koreksi pasar, salah satunya melalui kejatuhan harga saham yang bisa kita amati saat ini. Dikatakan jatuh karena dalam sehari harga saham bisa turun sampai 8%.

Terbentuknya gelembung di pasar saham China tidak terlepas dari kebijakan pemerintah China. Stimulus ekonomi China setelah krisis keuangan global menciptakan banyak utang bermasalah yang membebani neraca perusahaan, khususnya BUMN. Deleveraging melalui pasar modal dianggap efektif untuk membersihkan neraca tanpa membawa konskuensi pada variabel moneter lainnya, terlebih jika dana tersebut dimobilisasi dari pengalihan simpanan menjadi investasi. Oleh karenanya, pemerintah mendorong investor ritel untuk masuk ke pasar saham. Salah satu teroboson adalah peluncuran margin trading yaitu pembelian saham dengan pinjaman pada Oktober 2011. Lebih lanjut, ketentuan margin trading diperlonggar pada tahun 2013. Untuk melakukan margin trading, investor hanya dipersyaratkan telah memiliki rekeneing efek selama 6 bulan dan tanpa adanya batasan minimal aset yang dimiliki, jauh lebih longgar dari persyaratan sebelumnya yaitu telah memiliki rekening Efek selama 18 bulan dengan minimal aset 500.000 Yuan (kurang lebih Rp. 1 miliar).

Dorongan pemerintah kepada masyarakat disertai dengan kebijakan yang memudahkan mereka berinvestasi terbukti efektif meningkatkan basis investor retail. Saat ini terdapat kurang lebih 90 juta nasabah dimana 40 juta nasabah adalah nasabah yang baru membuka rekening efek dalam 1 tahun terakhir. Sebagaimana dilaporkan Vox, besarnya basis investor ini menyebabkan 85 persen transaksi di bursa saham Shanghai dilakukan oleh investor retail. Bandingkan dengan indonesia dimana investor retail hanya memiliki 6.5 persen ekuitas yang tercatat di Bursa.

Dalam krisis pasar saham ini, pemerintah China memperlihatkan komitmen yang kuat untuk menjaga bursa sahamnya tidak jatuh, bahkan secara tidak langsung mem-bail out pada pasar sahamnya, suatu kebijakan yang tidak biasa ditempuh pemerintah untuk menyelamatkan pasar saham. Secara garis besar, beberapa langkah dan kebijakan yang diambil pemerintah/bank sentral/regulator yaitu injeksi kas ke pasar saham oleh bank sentral melalui Sekuritas BUMN, penundaan IPO, perintah kepada perusahaan untuk melakukan buy back serta pembatasan transaksi saham.

Episode pembentukan gelembung, pecahnya gelembung serta upaya pemerintah China untuk mengatasinya seperti digambarkan diatas banyak memberikan pelajaran bagi kita dalam mengembangkan pasar modal Indonesia kedepan. Pertama, masyarakat ternyata dapat dimobilisasi secara besar-besaran untuk menjadi investor retail di pasar modal melalui suatu kebijakan dan pemberian insentif. Saat ini basis investor kita masih rendah yang tercermin dari jumlah single Investor Identification (SID) yang hanya diangka 320 ribuan, padahal pasar modal kita telah diaktifkan hampir 38 tahun dan jumlah penduduk Indonesia mencapai 240 juta.

Kedua, peningkatan investor ritel dapat meningkatkan volatilitas pasar yang harus dimitigasi. Sifat investor ritel biasanya hanya ikut-ikutan (herd behavior). Ditengah minimnya lembaga keuangan yang berperan sebagai market leader akibat pengetatan pengaturan bank investasi setelah krisis keuangan global, regulator harus menyiapkan market leader sebelum mengundang investor ritel masuk ke pasar secara besar-besaran. Selain itu, pemerintah/regulator harus memberikan edukasi yang cukup kepada calon investor karena kebijakan mengundang investor ritel seperti ini juga akan menarik minat investor dengan tingkat literasi keuangan yang rendah. Data dari SWUFE China Housholed Finance Survey menunjukan bahwa investor di pasar modal China dengan pendidikan SMP atau lebih rendah mencapai 68%, bahkan terdapat 6% investor yang tidak pernah mengenyam pendidikan. Profil investor seperti ini tentunya akan meningkatkan herd behavior yang semakin meningkatkan risiko berinvestasi di pasar saham, sehingga perlu dimitigasi sejak awal.

Pelajaran ketiga bagi kita adalah harus adanya sistem peringatan dini (early warning system) atas ketidaknormalan yang terjadi di pasar dan munculnya bahaya krisis sehingga dapat diantisipasi sedini mungkin. Sebelum gelembung pasar saham China pecah, beberapa indikator sebenarnya telah menunjukkan terciptanya bubble. Rasio antara saham yang diperdagangkan melalui margin trading dibandingkan dengan total saham yang beredar terus naik dan hampir menyentuh angka 9%, jauh diatas rata-rata rasio di bursa saham negara lain yang hanya di kisaran 2-3%. Selain itu, kenaikan harga saham lebih dari 150% dalam waktu 1.5 tahun seharusnya telah menjadi perhatian, walaupun indeks saham masih di kisaran 5000, masih jauh dibawah nilai tertingginya di tahun 2007 yang mencapai hampir 6100. Jika indikator2 tersebut diperhatikan dan dijadikan early warning atas krisis yang segera datang, tentunya pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan pencegahan krisis yang lebih efektif dan dengan biaya yang jauh lebih rendah.

Pelajaran keempat adalah eratnya koordninasi dan kerjasama antara pemerintah, bank sentral dan regulator untuk menanggulangi ambruknya pasar saham, sehingga kebijakan mereka satu arah dan lebih efektif. Kita bisa amati, pemerintah China menggunakan semua sumber daya yang dimilikinya untuk menenangkan publik, misalnya melalui media-media pemerintah. Disaat yang sama, bank sentral menyuntikkan dana ke pasar saham. Regulator pasar modal pun tidak ketinggalan mengeluarkan kebijakan mengatasi krisis, seperti penundaan IPO dan pembatasan transaksi. Koordinasi dan kerjasama antar lembaga ini perlu kita pelajari dan terapkan di Indonesia, karena di negeri tercinta ini, koordinasi adalah barang mahal, walaupun sudah banyak forum yang dibentuk maupun MOU yang ditandatangani. Bahkan di negara majupun koordinasi antar lembaga terkadang juga menjadi sesuatu yang mahal, tentunya kita masih teringat tidak berjalannya koordinasi antaran bank sentral dan OJK-nya Inggris ditengah krisis keuangan global tahun 2008 lalu.

Akhirnya, saya memprediksikan ketidakpastian di pasar saham China akan berlanjut 1-2 bulan kedepan, dengan dampak ke ekonomi riil yang terbatas dikarenakan masih kecilnya aset keuangan masyarakat yang disimpan di pasar saham dan rendahnya leverage di pasar saham (misalnya rendahnya sekuritisasi). Tentunya kita akan terus mengamati perkembangan di pasar saham China dan terus menjadi “murid” yang baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun