Mohon tunggu...
Bayu Indra Pratama
Bayu Indra Pratama Mohon Tunggu... -

Bayu Indra Pratama

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jelangkung Kehidupan

2 Maret 2011   15:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:08 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kemarin ada sekantong rindu yang tak tersedu. Kembali kuhitung hari petemuan. Bukan dengan deret hitung atau deret ukur melainkan persamaan peluang. Seperti mengundi dadu, aku tak tahu berapa angka pasti yang keluar. Aku hanya bisa menebak besar kecilnya angka. Sama seperti itulah ketidakmengertianku tentang kapan perjumpaan itu datang. Sayangnya otak ini pun tumpul dalam menentukan signifikasi besar kecilnya. Tak ada standar ukur yang aku punya.

Hari raya, mungkin satu – satunya hari yang mampu bisa ditebak. Terima kasihku pada para ahli hisab. Dengan syarat cateris paribus membuat kepastian mendekati sempurna. Sayangnya, tak mungkin kuraih ekstasi dalam hari yang suci. Tak mungkin kunodai hati demi melepaskan endropin sesaat. Ketika itu Tuhan memberikan kesempatan manusia kembali ke tempat asalnya. Menghadirkan dunianya masing – masing pada setiap insan. IA mengisi setiap rumah dengan maaf dan cintanya Begitulah aku yang terjebak dalam maaf dan cintaku sendiri. Kedua hal itu membawa setiap manusia pada dunianya sendiri kecuali aku dengan hasratku. Bisa saja ia terbang bersama gema takbir, tapi gelombang suara tak mampu menghadirkannya utuh. Dimensi hari raya yang tak mungkin kutembus.

Bagaimana dengan waktu lain ? Nyaris tak menemui jawaban. Meski hasil perhitungan togel selalu menghasilkan probabilitas, tapi kali ini aku masih percaya Einsten. Ia berkata Tidak semua yang dapat menghitung dapat dihitung, dan tidak semua yang dapat dihitung dapat menghitung.

Tak mampu dihitung, maka aku mencoba merasa. Rancangan pun mulai dibuat. Asumsi – asumsi mulai dibangun. Paradigma pun mulai dipilih. Tapi semua tak ada arti jika tak vertehen. Tak ada observasi yang bisa dilakukan saat jarak berbatas. Tak ada responden selain dinding kamar. Hanya radiokarbon tubuhku yang menjadi saksi. Sungguh subjektif. Semua objektif jika ini adalah hasil intersubjektif. Haruskan aku bertanya pada Id, Ego dan Superego untuk menjadikannya objektif ? Tak mungkin karena mereka bagian integral tubuh ini.

Aku percaya setan itu ada. Kini ia mulai berbisik. Membujukku ber-sim sala bim. Mantra yang membuatku lupa Kun Fa Yakun. Ia mengajariku untuk merayu Tuhan dan meminta neraka. Aku tak mau. Menurutnya ini cara instant tanpa bahan pengawet. Aku percaya itu dusta. Ia hanya ingin api neraka tetap menyala untukku. Biarlah setan mengonggong, kafilah berlalu.

Pertemuan dan perpisahan seperti mantra jelangkung. Ia datang tak diundang, pergi tak diantar. Kadang kita seperti tahu sebab musababnya, padahal tidak sama sekali. Yang kita lakukan hanyalah melogikanya hingga seolah – olah kita mampu berlogika sama denganNya. Tak putus akal kita mencari kalimat yang tepat untuk membenarkannya. Minimal ada tiga kata yang mampu menggambarkan kepahitan, ujian, musibah ataukah murkaNya. Sayang, adakah salah satu kata yang paling tepat menembus akalNya. Menyamakan lama pikir sebuah kesesatan karena memposisikanNya sederajat dengan kita. Biarlah akal kita menjadi milik kita, dan pemahaman atas keseluruhan adalah milikNya. Kita hanya mampu membangun tangga denganNya.

Diposting juga di blog pribadi haluskasar.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun