Niat tak selalu berakhir dengan baik. Banyak tantangan dan kendala untuk menyempurnakan niat menjadi tindakan nyata. Hal tersebut termasuk ketika kita mencoba menjadi audiens passif di hadapan televisi. Sekedar ingin menekan tombol remote televisi itu kini menjadi sulit rasanya. Sumber masalahnya bukanlah dari masalah teknis, melainkan konten televisi yang membuat rasa bersalah di hati.
Kadang terpikir menyalahkan dosa hanyalah menambahkan dosa. Usaha untuk meningkatkan keimanan dengan menyaksikan ceramah televisi rasanya seperti mendekatkan diri pada dosa saja. Bukan ketakwaan yang muncul, melainkan caci dan maki yang yang terlontar dari lisan ini. Pikiran menjadi dangkal yang terakumulasi menjadi kedongkolan melihatnya. Sayangnya banyak orang yang senang menyaksikannya. Mereka berbagi waktu sekedar dengan khidmat untuk menyaksikannya. Antusias nampak tersirat di wajah mereka. Aku sendiri terus larut dengan kekesalan.
Sosok penceramah yang dulu santun, damai, dan menyejukan, kini berubah menjadi orang yang ALAY. Baik perempuan maupun laki-laki nampak sama saja perilakunya. Meski cara mereka mengekspresikan diri masing-masing berbeda, namun bagiku mereka tetap alay. Jauh rasanya mampu diriku mendekatkan sosok mereka sebagai juru dakwah. Mereka lebih lekat dengan sosok penghibur yang berusaha menebar sensasi kesenangan sesaat bagi penontonnya.
Ada penceramah laki-laki yang nampak berlebihan dalam menyampaikan ajaran agamanya. Tangannya melambai-lambai dan meliuk-liuk seperti penari. Jauh dari gambaran seorang guru yang memiliki ketegasan. Nada suara yang mendayu-dayu lebih mendekati serak-serak basah, mengingatkan pada sosok transgender. Bukan ingin mengejek, tetapi jujur ini kurasakan. Hilang citra bahwa seorang juru dakwah laki-laki itu lembut tetapi juga tegas dalam sikap. Sosok yang telah dibenamkan dalam pikiran bahwa laki-laki yang memberikan kajian itu berani dan berperilaku selayaknya laki-laki. Rindu rasanya menyaksikan sosok Zainudin MZ hadir di televisi.
Ceramah yang diisii oleh penceramah perempuan lebih membuat hati menjadi pedih. Acaranya dikemas seperti ajang curhat. Si penceramah menyambut setiap tanya seperti ungkapan hati para pesertanya. Sayangnya, kadang isinya malah menjurus menguak aib pribadi. Entah apa yang dipikir oleh mereka yang mengikutinya sampai rela menceritakan hal tersebut. Sakit kukira akal mereka. Cerita-cerita yang semestinya hanya menjadi konsumsi keluarga dan pribadi diumbar di dalam televisi. Acara seperti ini seperti mengukuhkan bahwa perempuan identik dengan gosip. Hilang rasanya sosok ibu yang meneduhkan dang menyampaikan segala sesuatu dengan damai. Mereka yang melarang sembari memberikan harapan, bukan membongkar hina untuk jualan ceramah. Pastinya ada cara lain untuk menyampaikan niat baik. Ingatkah kita dengan juru dakwah wanita yang terdahulu yang menyampaikan segala sesuatu dengan indah.
Penonton di dalam studio tak ubahnya seperti pemandu sorak. Mereka bersahut ketika ada aba-aba tertentu. Hilang independensi mereka untuk mendapatkan ilmu agama. Ketenangan dan kekhusukan hilang karena harus menuruti perintah pengarah acara. Mereka tenggelam dalam sorak-sorak bukan kedalaman makna. Tuntuan hanya dijadikan hafalan yang berulang, bukan panduan dalam kehidupan. Hikmah hanyut kemudian hilang bersama nikmatnya ghibah. Entah kemana akan dicari lagi ilmu agama. Ia hanya lenyap dalam bungkusan entertainment.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H