Ketika hendak memulai tulisan ini ada perasaan yang menghantui. Muncul kekhawatiran jika tulisan ini dilepas ke publik, saya akan di-judge mendukung Islam Liberal, Anti Islam, bahkan seorang atheist. Saya begitu ngeri dengan keadaan sekarang dimana orang dengan mudah untuk menghakimi pandangan orang lain. Percikan ide kemudian dapat membuat orang melabelkan asosiasi tertentu kepada lainnya. Bahkan dengan berdalil menggunakan Google, seseorang mudah mencap orang lain sebagai seorang munafik hingga kafir.
Saya merasa resah setiap natal selama dua tahun terakhir ini. Bukan karena saya ingin merayakannya, melainkan diskursus mengenai ucapan “selamat natal” yang ada di jejaring sosial maya. Saya bisa memahami dalil dan argumentasi pihak yang mengharamkan pengucapan “selamat natal”. Sebaliknya saya mengerti alasan yang diajukan oleh mereka yang tetap mengucapkannya. Tak ada masalah karena keduanya tidak ada yang paling benar karena masing-masing memiliki landasannya. Saya justru khawatir bila perbedaan ini malah mengerucut kepada kebencian pada sesama di dalam umat yang sama sekali tidak merayakannya. Kita sibuk memperdebatkannya, sementara para penganutnya tengah larut dalam kegembiraan.
Keresahan itu kemudian menjadi nyata ketika pertarungan terjadi di ruang-ruang publik. Status Facebook, Celotehan di Twitter dan hangatnya diskusi di media massa mengejawatahan perbedaan ini. Mereka yang diluar mungkin ada yang tertawa, cuek, bahkan terancam eksistensinya. Kita saling serang sampai lupa kalau ada yang senang diatas keributann kita ini. Mereka yang tidak peduli karena kita tak kunjung adaptif dengan kondisi sekarang. Kita juga adalah gajah yang saling serang sedangkan para semut mati terinjak. Mereka yang takut karena wajah kita yang kemudian berubah menjadi sangat galak kepada diri sendiri maupun orang lain.
Mengerucutkan perbedaan ini pandangan hanya menampilkan keyakinan kita ini sebagai agama kebencian. Mungkin kita tidak pernah merasa perdebatan masalah haram maupun tidak haram ini meyakitkan bagi mereka yang merayakan. Mereka tak butuh diberikan selamat atas keyakinannya, melainkan diakui sebagai entitas di negeri ini dan saudara sebangsa karena iman itu melekat pada diri sendiri bukan dalam kata “selamat”. Perdebatan di wilayah publik yang heterogen sama dengan mempertanyakan eksistensi mereka sebagai bagian Indonesia. Hal kita lakukan ini hanya mempersiapkan benih perpecahan di negeri ini. Alangkah apik bila semua dikemas dalam medium-medium homogen yang justru menguatkan keyakinan yang kita miliki. Penghargaan menjadi penting hidup dalam sebuah negara yang beragama bukan negara agama.
Mungkin kita bebas bicara di sini karena lupa kalau ada saudara yang menjadi minoritas di tempat lain. Saat hak-hak suadara untuk beribadah di tempat lain, sikap empati hingga emosional muncul dari dalam diri. Tanpa sadar kita melakukan hal serupa di negeri ini. Kita menuntut kesetaraan atas saudara-saudara kita di tempat lain, kita sendiri sering bersikap diskriminasi pada minoritas yang ada. Sebuah kewajaran bila pihak lain memaksakan kehendaknya ketika saudara-saudara kita menjadi minoritas karena kita yang mayoritas disini memaksa kehendak. Ini adalah sebuah cerita tak berakhir ketika enggan mulai memuliakan orang lain. Bukankah kita satu bangsa, bangsa manusia ?
Ketegangan yang hadir diantara kita justru menunjukan bahwa apa yang kita yakini ini bukan rahmat bagi semesta alam. Sikap keras antara sesama pemeluk agama ini bukan sesuatu yang diharapkanNya. Kita ini bersaudara meski dalam pemahaman berbeda. Biarkan orang lain dalam pilihannya karena memang tak ada paksaan dalam beragama. Jangan sampai kemudian kita menjadi hakim atas iman dan ketakwaan orang lain. Sesungguhnya yang mengetahui keduanya hanya manusia dan Sang Maha Mengetahui. Mungkin keterangan agama dalam KTP kita sama, tetapi soal iman siapa yang tahu.
Bagi yang mengharamkannya ia kemudian tampak sebagai sosok yang intoleran terhadap mereka yang ada diluar kelompoknya. Menurut mereka pandangannya adalah sikap teguh memegang prinsip akidah. Untuk mereka yang tetap memberikan ucapan selamat, sikapnya adalah usaha untuk membumikan rahmat bagi semesta alam. Pandangan yang kemudian dikecam karena diduga dapat menggoyahkan akidah. Alangkah menjadi indah sebelum mencoba toleran terhadap penganut kepercayaan lain, sebaiknya kita berusaha untuk toleran kepada saudara sendiri.
Kita menyakini bahwa sungai besar ini akan terpecah menjadi beberapa aliran. Hanya ada satu golongan yang kemudian akan dijamin keselamatannya. Mereka yang selamat adalah orang-orang yang mengikuti jejak Sang Pemberi Risalah. Sebuah relativitas kebenaran yang telah diajarkan sejak awal keyakinan ini ada dengan tetap mengukuhkan Sang Maha Tunggal sebagai sebagai kebenaran hakiki. Itulah bukti kebesaran Sang Maha Pencipta yang membenamkan akal dan hati kepada manusia. Petunjuk itu sudah semesti menjadi petunjuk untuk saling menghargai sesama saudara. Bukankah kita telah sepakat mereka yang merasa paling benar justru mengarah kesesatan ?
Sebuah kebhinekaan yang telah menarik banyak orang untuk belajar agama ini. Kebhinekaan berpikir yang kemudian mengantarkan kita kepada kejayaan peradaban. Sebuah nilai yang kemudian diimitasi oleh mereka tidak memiliki keyakinan sama dengan kita. Sesuatu yang membangkitkan peradaban mereka ketika kita malah tenggelam dalam titik jenuh dan kini tercerai berai. Menempatkan perbedaan kepada hak masing-masing, memberikan kesempatan kita memikirkan hal yang lebih luas. Sudah sekian lama kita terpuruk, tetapi kita malah asyik untuk menunjukan kebenaran diantara kita sendiri. Kesibukan yang kemudian yang melalaikan kita untuk menunjukan kebenaran yang kita yakini kepada semesta alam. Kita adalah ayam yang berkelahi dalam kandangnya sendiri, hingga lupa kejayaan masa lalu tidak hanya dibangun atas dasar syariah melainkan juga keberagaman ilmu pengetahuan dan budaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H