Sudah tiga hari aku sakit. Batuk, pilek dan demam jadi langganan setiap bulannya. Terserah orang bilang, aku penyakitan atau tidak, tapi memang ada kalanya imunitas menurun. Penyebabnya apa, aku pun tak mengerti. Kelelahan atau makanan yang kurang sehat sudah aku hindari, lalu apa ya ? aku pun tak tahu. Kalau ditanya karena lingkungan, aku mulai terbiasa dengan suasana Yogya yang berhati nyaman.
Sempat terpikir olehku untuk ke dokter, sesuatu yang akhirnya aku batalkan. Ya…. Dalam kasus remeh – temeh begini, aku enggan berurusan dengan dokter. Apalagi ketika harus menerima obat yang notabene bentuk lain dari racun. Jujur saja, aku lebih percaya pada pengobatan warisan leluhur yakni kerikan. Biar kata kuno, ini relatif manjur bagiku. Mungkin ini adalah sesuatu yang tak relevan lagi di dunia kesehatan moderen, tetapi biar saja orang bilang. Toh, siapa pun yang sakit pasti berpikir tentang apa pun cara sembuh untuk sesegara mungkin.
Terlepas dari baik dan buruknya, aku menyadari betul apa yang aku lakukan ini. Pernah berpikir untuk berhenti kerik – mengerik tetapi niat itu kandas. Mudah saja untuk berhenti metode pengobatan ini karena ini hanya urusan kebiasaan. Merubahnya hanyalah urusan rekayasa perilaku dan kebiasan. Namun menghentikan sebuah perilaku dan kebiasaan seperti menghentikan budaya dalam konteks mikro. Layaknya menghapus sesuatu yang telah dibangun dan diwariskan sejak lahir.
Kerikan, seperti sesuatu yang konyol. Meski mendapati tubuh lebam, banyak orang yang senang melakukanny. Tindakan yang seolah – olah menyiksa diri demi kesehatan. Logika yang kadang tak masuk akal, bagaimana angin bisa keluar dengan kegiatan yang mirip menyayat tubuh ini. Sesuatu yang tak mampu dijabarkan secara ilmiah atau aku yang tak tahu soal penjelasannya.
Tradisi kerikan adalah metode pengobatan lazim dilakukan di Indonesia. Aku tak punya data pasti mengenainya, tapi dalam asumsiku hampir seluruh orang di Indonesia mengenalnya. Paling tidak keluarga memperkenalkannya pada setiap generasi. Kini mari kita tanyakan pada diri masing – masing, siapa yang tidak pernah mengenal atau merasakan kerikan ? Kita mengenal atau merasakan kerikan tentunya dari orang terdekat, bisa jadi adalah ayah – ibu, kakek – nenek, paman – bibi atau yang lain. Sebelum adanya moderenitas yang menciptakan individualisme dan spesialisasi dalam hidup, orang – orang terdekat itulah yang menjadi pengerik pada tubuh kita. Mereka rela mengobati orang yang disayangi. Tidak dapatlah dipungkiri proses internalisasi kerikan merupakan proses integral dalam kehidupan kita. Dari proses turun temurun ini ada sebuah nilai yang sayang dilewatkan jika harus diputus.
Siapa bilang mengerik adalah pekerjaan mudah. Banyak tantangan mereka hadapi. Sesuatu yang kadang kurang kita sadari. Kita sering merasa sakit ketika logam pengerik digoreskan ditubuhkan. Tetapi pernahkan berpikir si pengerik sama menderitanya dengan kita. Seiring goresan koin, terangkat pula daki dari kulit kita. Sesungguhnya ada rasa jijik dengan kotoran, tetapi rasa itu enyah seiring sayang pada si sakit. Belum lagi jika si sakit memiliki bau badan berlebih, sesuatu tak anyal menganggu si pengerik. Bau badan bisa saja hilang ditelan wangi minyak kayu putih atau balsam, namun ia tetaplah seorang manusia yang mampu merasa. Meski begitu, sekali lagi rasa sayang mengalahkan segalanya.
Setiap perih goresannya, ada kasih sayang di dalamnya. Sebuah kelembutan yang ditransformasikan lewat cara yang kurang mengenakannya. Mengatasi semua ketidaknyamanan demi sebuah harapan kesembuhan. Meski caci kadang terhujam padanya karena sakitnya dikerik, semua segera sirna ketika melihat si sakit sehat. Setiap kerikan bukanlah sayatan yang menyiksa melainkan belaian hangat pada si sakit. Belang merah di punggung seperti sebuah tanya cinta. Sungguh sayang bila, ada yang merasa malu setelah dikerik. Ia seperti tidak menghargai upaya pengerik dan tiada syukur atas kesembuhan yang diupayakannya. Merah tanda cinta, begitulah aku coba menyebut semua ini.
Kerikan pun mampu menembus ruang dan waktu. Ruang dimana si sakit bisa begitu dekat dengan si pengerik. Sesuatu yang mungkin terlewatkan dibanyak kesempatan. Sebuah dimensi dimana keduanya didekatkan dengan bahasa yang sama, bahasa kesembuhan. Namun bila dicermati lebih dalam bukan hanya kesembuhan melainkan kasih sayang. Kerikan mendekatkan yang jauh dan melekatkannya dalam keintiman. Tanpa disadari begitu banyak waktu yang kita habiskan tapi sedikit pun menyisakan untuk orang – orang terdekat. Kerikan mencoba mendekatkan kita ketika kita mulai alpa.
Sesuatu yang tak mampu yang dilakukan oleh ilmu kesehatan modern. Dimana manusia hanyalah dijadikan objek dalam kerangka stimulus dan respons. Kita hanya menjadi objek yang diberikan obat atau terapi yang kemudian dilihat hasilnya. Buruk atau baik hasilnya dari tindakan akan memberikan acuan stimulus – respon selanjutnya. Demikian dan terus berulang – ulang. Hal ini seperti menafikan manusia sebagai sebuah entitas sosial. Sebuah elemen yang terabaikan.
Dalam konteks ini, aku bisa memahami mengapa bagi sebagian orang, “kerikan”, dianggap sebagai candu. Banyak orang ingin berhenti “kerikan”, pada akhirnya gagal. Kerikan bukan hanya sebuah metode penyembuhan dengan menghangatkan tubuh, melainkan di dalamnya adanya sebuah keintiman. Ada usaha membangun kehangatan ruhaniyah. Kedekatan emosional dan kasih sayang tumbuh dalam interaksi selama proses kerikan. Pada akhirnya hal ini yang menumbuhkan kehangatan jwa yang memacu si sakit untuk sembuh.
Meski dalam masyarakat modern peran pengerik tergantikan oleh kehadiran tukang pijat dan kerik, sugesti ini tetap tertanam baik. Proses komunikasi, interaksi dan keintiman dalam proses tersebut menjaganya tetap ada. Setiap kerikan merangsang hormon endofrin dan mengahasilkan ekstasi pada diri si sakit. Biar pun derajat kepuasanya berbeda, tetapi ia telah mengiring si sakit pada romantisme masa lalu. Fisik bisa saja sakit, tetapi kenangan menjadi obat yang tak tertawarkan. Sesuatu yang tidak mampu diperoleh dari metode pengobatan lain.