Hajatan ijab Kabul Ahok-Djarot tempo hari menyisakan kisah seru yang berkaitan dengan sebuah aksesori: jas. Kita cukup beruntung karena dalam masa hidup yang pendek ini, bisa menyaksikan Ahok memakai jas berwarna mentereng.
Ahok memang bukan kader partai, dan karena itu terasa begitu janggal saat melihatnya memakai jas warna merah khas PDIP.
Sepanjang acara penobatan Ahok-Djarot sebagai pasangan cagub-cawagub DKI itu, sang gubernur petahana memang lebih banyak terlihat tidak mengenakan jas sementara orang-orang yang seruangan dengannya kompak berjas merah menyala. Tapi ketika harian Kompas harus memilih satu foto untuk ditampilkan, mereka mengajukan foto saat Bu Mega dan Djarot memakaikan jas merah PDIP ke tubuh Ahok.
Wah, memangnya seberapa penting sih sebuah jas itu? Nyatanya, jas memang memainkan peran cukup penting dalam kehidupan umat manusia. Berikut ini adalah ulasan mengenai sejumlah jenis jas yang ternyata penting itu.
- Pertama adalah jas ‘biasa’, yaitu jas kerja berwarna hitam atau kelabu. Jas ini sering kita lihat dipakai oleh pekerja kelas menengah ke atas. Atau malah sebagian pembaca yang budiman juga kerap mengenakannya. Ya mau bagaimana, kombinasi kemeja lengan panjang-dasi sudah dikuasai sales. Jadi penambahan jas itu penting untuk memisahkan status terhadap para tukang promosi itu.
Jas jenis ini penggunaannya cukup fleksibel. Selain untuk kerja, bisa juga digunakan untuk acara formal lain seperti menghadiri pernikahan. Baik selaku tamu maupun sebagai lakon utama, jas hitam selalu bisa diandalkan - Jas selanjutnya adalah jas yang penggunaannya sangat spesifik, yaitu jas dokter. Warnanya putih bersih, lengkap dengan stetoskop yang tersimpan dalam salah satu sakunya. Buat mahasiswa kedokteran, tentu paham betapa mahalnya jas ini. Bukan karena bahannya bagus atau potongannya sulit, tapi karena susahnya bagi mereka untuk diperbolehkan secara sah mengenakannya.
Jadi bisa dibayangkan rasa sakit hati mereka saat melihat orang yang tidak pernah setegukpun menelan pahitnya dunia pendidikan dokter, tau-tau bisa pakai jas kebangaan itu. Apalagi kalau ternyata dipakai untuk main dokter-dokteran. Sedih hati adek, bang. - Berikutnya adalah jas almamater andalan para mahasiswa. Warnanya beragam, apapun selain hitam dan putih. Tiap kampus ingin mengklaim warna khasnya sendiri. Padahal, jumlah warna itu terbatas sementara jumlah kampus itu tak terhingga. Satu-satunya solusi, kampus pun harus memilih corak yang tepat. Bisa-bisa suatu saat nanti, jas almamater tidak lagi dikenal dengan warnanya, tapi berdasarkan indeks atau kode warna di Photoshop. Jas almamater kampusku warnanya #FFE4C4, jangan sampai tertukar punyamu yang #FFEBCD.
- Apakah jas almamater itu penting? Tergantung. Untuk mahasiswa kupu-kupu anti cupu, jas almamater paling cuma dipakai sekali saat masa orientasi. Lepas itu, masuk lemari jadi sarang nyamuk zika. Tapi untuk mahasiswa aktivis yang mulia, jas almamater selalu menempel dengan setia. Sesetia jaket hijau di tubuh para kuli antar masa kini.
- Jas nge-hits berikutnya yaitu jas partai. Tidak semua negara demokrasi punya kebiasaan menonjolkan jas berwarna sebagai identitas partai. Indonesia adalah salah satu negara yang punya kebiasaan itu. Penulis tidak tahu persis kapan kebiasaan ini dimulai. Tapi penulis bayangkan, jas partai sangat tidak efisien pada Pemilu 1955 yang diikuti 172 partai.
- Yang jelas, popularitas jas partai menanjak saat era fusi parpol Orde Baru. Entah terinspirasi dari kaum rastafari atau dari kombinas warna lampu lalin, pemerintah memaksa warganya memilih satu dari tiga jenis jas: merah, kuning, atau hijau. Dan demi nyawamu, sebaiknya kamu pilih kuning.
- Nah, jenis jas partai inilah yang tempo hari bikin sensasi dengan Ahok. Maklum, jas partai adalah simbol yang dianggap penting. Wajar kalau ada yang menuding bahwa pemakaian jas PDIP menunjukkan keputusan Ahok meninggalkan gaya independennya sekaligus kesediaan untuk bernegosiasi dengan iklim politik partai yang lebih konvensional. Atau bisa saja peristiwa itu tidak menandakan apa-apa, dan Ahok cuma pekewuhkalau menolak memakai jas yang disodorkan kepadanya.
- Terakhir, jas yang juga penting, justru bukan jas dalam arti sebenarnya. Jas yang penulis maksud adalah sebuah konsep, yang dirajut oleh ayah kandung bangsa Indonesia, Bung Karno. Jas itu adalah sebuah singkatan: “Jas Merah” yang diurai menjadi “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”. Mirisnya, menurut putra Sukarno, Guruh Soekarnoputra, kepanjangan itu kurang tepat. Ia mengatakan, “Jas Merah” yang merupakan judul pidato terakhir Bung Karno pada 1966 sebenarnya berarti “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”. Jadi melalui “Jas Merah”, rupanya sudah ada sejarah yang keliru. Entah ditinggalkan atau dilupakan.
- Dan sejarah itu tidak mesti yang berusia puluhan tahun. Peristiwa, omongan, dan keputusan yang dibuat kemarin bisa juga dianggap sejarah. Misal dulu ketika pernah berjuang sendiri, berkomitmen untuk memerintah tanpa dikendalikan kepentingan kelompok. Itu sejarah. Meskipun sekarang sudah bisa bergandengan dengan parpol, komitmen tadi tetap tercatat oleh tinta sejarah.
Tapi di balik itu semua, barang yang namanya ‘jas’ berwarna ‘merah’ itu memang benar-benar ada. Dan kemarin Pak Ahok sudah bersedia mengenakannya. Jadi untuk Pak Ahok, tolong jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H