Bulan Juli-Agustus yang lalu saya sempat bekerja di Kompas tepatnya Kompas.com. Saya bekerja di bagian marketing tepatnya di pasangiklan.com. Tugas saya adalah mengaktifkan iklan yang sudah dibayar klien. Bekerja sebagai marketing merupakan pengalaman pertama saya di dunia kerja karena saya sendiri masih kuliah dan belum punya pengalaman sama sekali. Tapi bukan ini yang saya ingin ceritakan melainkan mengenai multikulturalisme dan pluralisme di Kompas.com.
Saya masih ingat ketika bekerja di Kompas, saya membaca sebuah artikel di majalah internal untuk pegawai perusahaan Kompas yakni Info Kita. Di artikel itu tertulis mengenai Seminar mengenai Wirausaha yang berlangsung di Universitas Multimedia Nusantara yang dihadiri oleh Jakob Oetama dan Wapres Boediono. Artikel itu menceritakan bahwa Boediono mengapresiasi Kompas sebagai perusahaan multikultural yang memiliki andil cukup besar dalam ekonomi Indonesia. Selain itu juga, Perusahaan miik Jakob Oetama dan Alm. PK Oyong ini merupakan perusahaan yang jujur dan bersih karena tidak pernah menunggak pajak. Setelah membaca artikel itu, saya pun langsung membandingkan dengan kenyataan di dalam perusahaannya dan memang itu benar adanya.
Kompas sebagai perusahaan yang multikultural pun sangat menjunjung tinggi pluralisme. Hal ini saya alami ketika bulan puasa Agustus lalu, ketika itu adalah hari pertama puasa yang bisa dibilang hari yang cukup berat bagi umat muslim yang menjalankannya. Saya pun jadi bimbang karena saya tidak menjalankan puasa, apakah saya bisa minum nantinya jika haus? Kalaupun saya minum haruskah saya sembunyi-sembunyi? Apa mungkin saya ikut puasa saja? Lalu saya tetap pergi ke kantor dengan bimbang. Sesampainya di kantor, saya kaget karena ada seorang superviser dari subdivisi marketing yang sedang sarapan di depan orang-orang yang sedang puasa. Saya pun langsung bingung, apa mungkin beliau tidak sadar bahwa yang lain sedang berpuasa atau bagaimana? Saya pun menanyakan kepada teman saya yang muslim, " Apa puasa mba tidak terganggu melihat ada orang yang sedang makan di meja sana?" Dengan santai dia menjawab," Ya abis dia belum sarapan, masa saya larang?" Saya pun kaget dan bilang, "habis tadi dia nawarin sarapan bareng, tapi saya bilang saya sudah sarapan pagi-pagi sekali (maksudnya sahur)." Akhirnya saya yakin bahwa tidak masalah jika saya tetap minum atau makan di sebelah teman saya nanti. Tapi saya tetap ragu ketika saya mau minum, lalu saya pun minum secara sembunyi-sembunyi. Teman saya yang muslim itu pun bilang "Ya ampun, gw ga akan minta kali, tenang saja." sambil tersenyum. Saya pun akhirnya juga menjalani rutinitas seperti biasa dan juga tetap menghormati yang berpuasa dengan tidak terlalu mengumbar rasa nafsu seperti rasa haus dan lapar di depan teman-teman yang berpuasa.
Dengan pengalaman seperti itu saya dapat memetik suatu pelajaran bahwa perkara yang kecil, selesaikanlah dengan menganggap hal tersebut sebagai perkara yang kecil. Begitu juga sebaliknya, bahwa perkara yang besar, selesaikanlah hal tersebut dengan menganggap hal tersebut sebagai perkara yang besar. Teman saya yang muslim tidak terganggu ketika saya minum di depannya karena dia menganggap hal itu adalah perkara yang kecil dan dia selesaikan dengan menganggap itu sebagai bahan candaan dan hal itu terselesaikan dengan baik. Seandainya hal itu dianggap sebagai masalah yang besar, mungkin kami sudah bermusuhan antara saya dan dia. Contoh lain di Indonesia seperti korupsi yang merupakan perkara yang besar namun karena pemerintah bertindak setengah hati dalam menyelesaikannya maka hal itu jadi terlihat sebagai perkara yang kecil dan akhirnya terlupakan begitu saja seperti halnya kasus Century.
Perjalanan panjang Kompas selama 45 tahun telah terlihat dengan semangat kekeluargaan di internal perusahaan itu sendiri dengan menjadikan Bhinekka Tunggal Ika sebagai fondasinya sehingga Kompas tetap bisa menunjukkan eksistensinya sampai saat ini. Semoga kekeluargaan yang ada di dalam internal Kompas itu sendiri bisa menjadi pelajaran kepada bangsa kita untuk bisa saling menghormati dan saling menghargai. Semoga Kompas tetap eksis sampai kapan pun dan tetap menjadi "Amanat Hati Nurani Rakyat".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H