Mohon tunggu...
Bayu Imantoro
Bayu Imantoro Mohon Tunggu... Dosen - Pelajar

masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hukuman Mati dan Potong Tangan Bagi Koruptor

19 Mei 2010   08:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:07 1197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sanksi berat, baik potong tangan maupun hukuman mati untuk pelaku tindak pidana korupsi adalah tidak berlebihan. Hal ini harus menjadi pertimbangan serius bagi para pengambil keputusan dan penegak hukum. Berikut beberapa hal yang dapat diperhatikan:

1. Potong tangan adalah hukuman yang efektif karena memenuhi 3 unsur, yaitu kemudahan pelaksanaan, biaya murah, dan memberikan efek jera (lihat Abu Bakar Ba'asyir dalam http://www.antara.co.id/view/?i=1181133540&c=NAS&s).

Potong tangan menimbulkan efek jera karena selain disaksikan masyarakat luas, juga diumumkan oleh negara (contohnya: bahwa si A sudah dipotong tangan karena korupsi sekian Milyar, dicantumkan dalam koran nasional). Potong tangan juga tidak serampangan dalam penerapannya. Harus melibatkan tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat yang sigap untuk mengobati luka akibat potong tangan.
2. Kejahatan Korupsi luar biasa efek buruknya bagi bangsa dan negara serta lintas generasi yang menanggung akibat korupsi. Sehingga tidak tepat mengkaitkan hukuman potong tangan dan hukuman mati dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Maka kita lontarkan pertanyaan kepada mereka yang mengatakan potong tangan melanggar HAM: "Dimana hak asasi kita-kita yang "terpaksa" menanggung malu dan hutang serta berbagai kerugian seperti kemiskinan, kesulitan hidup, kesempitan lapangan kerja, dan lain sebagainya, akibat kelakuan para koruptor???"
Perlu diketahui, bahwa potong tangan menimbulkan kewajiban negara mengobati luka sampai sembuh. Hukuman mati juga memiliki pertimbangan kemanfaatan, khususnya bagi keluarga yang ditinggalkan.
Sehingga tidak serta merta diterapkan. (lihat kasus dizaman Khalifah Umar Ibnu Khattab dimana tidak diterapkan potong tangan bagi seorang pencuri miskin kelaparan dan yang butuh makan bagi keluarganya). Sehingga penerapan potong tangan dan hukuman mati adalah selektif kepada mereka yang secara meyakinkan terbukti memperkaya diri dengan korupsi. Dan mungkin bisa dibatasi, dengan menerapkan batas minimal uang/harta yang dikorupsi untuk dapat diancam pidana potong tangan.

3. Apabila potong tangan dan hukuman mati diterapkan, maka negara tidak perlu lagi pusing-pusing mengeluarkan biaya makan untuk para tahanan korupsi. Biaya lebih murah bisa didapatkan. Lagipula, apabila tetap dengan hukuman tahanan seperti selama ini, nanti mereka bisa keluar setelah sekian tahun menjalani masa tahanan, bahkan bukan tidak mungkin akan korupsi lebih canggih dari sebelumnya.
Pemerintah dalam hal ini Depkumham butuh dana Rp8000 per sekali makan bagi tahanan. Jika terpidana korupsi divonis 10 tahun saja maka Depkumham harus mengeluarkan dana Rp8.000 x 3 kali makan x 10 tahun x 365 hari.Totalnya, Rp87.600.000. Itu untuk satu koruptor, kalau semakin banyak negara makin boros padahal uangnya bisa digunakan bagi subsidi rakyat miskin. (lihat Fauzan Al-Anshary dalam: http://iriantosyahkasim.multiply.com/reviews/item/45)

4. Pidana mati untuk koruptor di Indonesia bisa diberlakukan, bila mengacu kepada UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 2 Ayat 2 menyebutkan Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah apabila tindak pidana korupsi itu dilakukan bila keadaan negara dalam bahaya, bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

5. Pidana mati dan potong tangan sejalan dengan syariah Islam, dan karena hukum Islam menjadi salah satu sumber hukum positif, maka seharusnya penerapan pidana mati dan potong tangan bagi koruptor harus dipertimbangkan. Walaupun sebagian ahli fikih memperdebatkan masalah perbedaan antara korupsi dan pencurian, serta hukumannya, maka sebenarnya dalam hukum Islam dikenal adanya ta'zir, yaitu hukuman yang semua ketentuannya ditetapkan oleh hakim. Meski tetap mengacu kepada syariat dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala juga. Namun khusus untuk hukuman ta'zir, hakim mendapatkan hak lebih besar untuk menentukan bentuk dan beratnya hukuman. Apabila kita jeli memanfaatkan "celah" ini, maka perdebatan fikih tidak perlu ada. Apabila dianggap korupsi tidak sama dengan mencuri, maka, kita bisa manfaatkan ta'zir dan menerapkan hukuman mati atau potong tangan bagi koruptor.

6. Perlunya UU Mahkamah Syariah dan UU Pemberantasan Korupsi yang disempurnakan dengan sanksi hukuman potong tangan. Aneh apabila kita selalu mendalilkan dengan KUHP buatan penjajah Belanda yang sudah basi itu karena usia yang sudah lapuk dimakan zaman.
UU Pembuktian Terbalik juga harus kembali diperjuangkan, sepeninggal mantan Kejakgung Prof.Baharuddin Lopa, maka kita kesulitan untuk kembali memperjuangkan UU itu yang katanya berhenti di DPR. Dasar Pembuktian Terbalik bisa kita temukan pada sikap Khalifah Umar Ibnu Khattab yang Khalifah yang kedua ini (634-644) mendapat inspirasi dari pertanyaan Nabi Zakaria AS kepada Maryam binti 'Imran:

-- YMRYM ANY LK HDZA (Q.S. AL ‘AMRAN, 3:37), dibaca:
-- ya- maryamu anna- laki ha-dza-, artinya:
-- Hai Maryam dari mana kamu memperoleh ini?

Ayat (3:37) tersebut diaplikasikan oleh Khalifah 'Umar ibn Khattab Radhiyallahu Ta'ala Anhu kepada aparat kekhalifahan, anna laka hadza. Sejak itu anna laka hadza menjadi jurisprudensi dalam Hukum Islam, yaitu terdakwa korupsi harus membuktikan kebersihan dirinya, jadi sebaliknya dengan sistem hukum yang kebanyakan dianut di seluruh dunia, yaitu jaksa yang harus membuktikan kesalahan terdakwa, yang filosofinya katanya berlandaskan pada "praduga tidak bersalah". Padahal korupsi yang sudah parah membudaya ini haruslah dipakai sistem terbalik anna laka hadza, praduga bersalah. Contohnya oknum Jaksa UTG yang gajinya hanya Rp 3,5-juta sebulan dapat memiliki mobil sampai 4 buah. Hanya saja kita harus hati-hati dalam hal penterapan sanksi potong tangan itu. Secara fikih, sanksi harus selalu dibarengi dengan adanya pengamanan yang cukup terhadap perbuatan-perbuatan yang akan dikenai sanksi tersebut. Dalam arti masyarakat dan negara telah memberikan kepada pelaku perbuatan-perbuatan tersebut kesempatan untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara-cara yang halal serta menutup peluang-peluang terjadinya cara-cara yang tidak halal. Kedua, terdapat grey area (daerah batas abu-abu) antara perbuatan korupsi dengan kesalahan administratif. Dalam hal ini di situlah letak pentingnya anna laka hadza, apakah kesalahan admintratif itu memperkaya diri si pelaku atau tidak.(lihat: http://cetak.fajar.co.id/kolom/print.php?newsid=857).

7. Penerapan potong tangan bisa dimulai dengan Aceh. Qanun yang mengatur hal ini harus segera dijadikan prioritas pemerintah. Jika para pelaku koruptor itu sudah dikenai hukuman potong tangan, maka diharapkan bisa menjadi obat mujarab agar orang-orang lain tidak ikut-ikutan makan harta haram. (lihat: Dr. Mohammad Nasir Arafat (intelektual Aceh) dalam Koruptor Perlu Dihukum Potong Tangan).

8. Selain membenahi masing-masing individu, ciptakan kesadaran dalam keluarga. Efek jera dari hukum harus tetap dilakukan, karena manusia adalah makhluk lemah yang mudah terjebak rayuan setan dan kondisi yang memungkinkan untuk berbuat jahat. Sehingga hukum yang memberi keadilan bagi korban korupsi, yaitu kita-kita rakyat Indonesia, harus menjadi pertimbangan serius penguasa negeri. Keseriusan pemberantasan korupsi akan memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa di negara kita hukum dapat ditegakkan dan masih ada perlindungan bagi rakyat.

Masak' Malaysia dan Singapura serta China bisa, kita ga bisa???

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun