Di jaman yang serba modern dan canggih seperti sekarang, kemudahan dalam berkomunikasi bukanlah sesuatu yang tabu, aneh, ataupun menggelitik. Jarak. Ya, ketika jarak memisahkan kita.
Pola pikir manusia, khususnya negara-negara barat, ”memberi” solusi dalam mengatasi keterbatasan tersebut. Berawal mula dari percakapan konvensional seperti surat-menyurat pada kurun waktu 1950 – 1990 an, secarik kertas, tinta hitam, amplop, lalu dikirim melalui kantor pos. Sesimpel itu kah? Memang betul hal itu butuh proses, karena harus menunggu beberapa hari untuk sampai ditangan penerima. Namun demikian benar–benar populer pada masa itu, saling mengirim kabar, bertukar informasi, penggunaannya pun secara global.
Memasuki Era milenium, tahun 2000-an, bentuk pola komunikasi berkembang pesat menjadi telepon rumahan, yellow pages sebagai pelengkapnya. Tak butuh lama bentuk komunikasi ini populer, yang pada akhirnya bermunculan juga telepon umum di pinggir-pinggir jalan untuk menunjang mobilitas manusia berkegiatan sehari-hari.
Selang dekade kemudian, berkembang lagi menjadi telepon nirkabel atau handphone yang notabene akrab disapa oleh orang Indonesia. Meskipun pada waktu itu ukurannya sangat, sangat besar.
Kecerdasan manusia (dengan seizin Tuhan) seolah tiada habisnya, seiring berjalannya waktu, ukuran yang sangat besar itupun “menciut” menjadi kecil sehingga lebih efisien penggunaannya. Kemudian, penemuan mutakhir yang menopang penggunaan handphone ialah SMS (Short Messaging Service). Manusia dapat saling memberi kabar atau informasi tanpa perlu bertatap muka. Percakapan antar individu yang notabene terpisahkan oleh jarak, menjadi terasa dekat. Sangat dekat.
Apa implikasi dari itu semua? Telepon umum yang jamak dijumpai di pinggir-pinggir jalan kini beralih fungsi menjadi minimarket, pelebaran jalan, ataupun fasilitas publik lainnya.
Lagi-lagi kecerdasan manusia kembali menggeliat, Internet menjadi trendsetter beriringan dengan maraknya penggunaan handphone. Dunia terhubung pada satu forum.
Selangkah lebih maju, bentuk pola komunikasi baru muncul (lagi). Dewasa ini, semakin banyak istilah asing yang merasuki benak orang Indonesia. Blackberry, Android, Google glass, Iphone, dan juga ”bumbu” yang digunakan seperti BBM, Instagram, Whatsapp, WeChat, beserta bala sekutunya. Operating system, kamera, internet, serta beberapa fitur canggih lainnya tumpah ruah dalam satu kemasan bernama smartphone atau tablet.
Ada efek positif dalam perkembangan teknologi tersebut. Namun efek negatif nya juga sudah tentu ada bagi orang yang berpikir “lebih tajam”, hal itu dapat dimanfaatkan. Merampok. Menjebol rekening bank contohnya. Terlepas dari apa “perangkat tambahan” yang digunakan individu tersebut.
Pada hemat saya, sebagaimanapun teknologi itu terus mendorong manusia untuk berinovasi, terus berfantasi untuk menciptakan penemuan–penemuan baru. Rupanya itu berbanding lurus, menggerus waktu yang manusia miliki. Namun pada akhirnya, percayalah. Kita sebagai manusia akan sampai pada satu titik jenuh.
Detik demi detik terus berdentang, lambat laun, tahap demi tahap, manusia akan kembali berpikir pada hakekat kebenaran sesungguhnya, me-review, dan pola pikir itulah yang memungkinkan akan menuntun manusia kembali kepada pola komunikasi lama, berlabuh kembali pada perkara remeh-temeh seperti surat-menyurat.
Kehadiran yang lebih bernilai dari pada uang, dari pada harta. Saat kehadiran menjadi begitu sangat berharga. Manusia menemukan esensinya kembali. Seiring daun-daun yang berguguran, seiring jatuhnya korban akibat peperangan, seiring goresan hitam yang mulai memudar. Mulut manusia terkunci, tak lagi dapat bicara. Sebuah kepastian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H