Part 3 :Dari Jakarta ke Jember : Ijabsah
Part 4: Part terakhir yang tertunda setelah sekian purnama
Dalam perjalanan pulang dari Jember menuju Jakarta yang lagi-lagi naik kereta malam jug gijag gijug gijag gijug, aku masih teringat tentang perbincangan ngalor ngidul kita.
Perbincangan di taman bunga bada sholat tarawih secara empat mata. Ya, hanya kita berdua. Eh, banyak nyamuk deh yang menemani kita. Lumayan gigitan nyamuk sebagai bonusnya. Jadi, dijamin kita nggak akan ketiduran saat berbagi cerita.
“Aku minta motivasi dosis tinggi dong.” pintaku kepada Syafiq.
Syafiq pasti sudah sangat paham apa maksud dari perkataanku barusan. Selama beberapa detik, Syafiq hanya terdiam tanpa mengeluarkan sepatah kata. Tandanya sebentar lagi ia akan berbicara dengan panjang lebar.
“Allah telah menyiapkan skenario terindah yang harus kita mainkan dalam setiap episode kehidupan. Kita sebagai pemeran utama harus memainkan peran sesuai arahan Sang Maha Sutradara. Apa yang baik menurut kita, belum tentu baik menurut Allah. Namun apa yang baik menurut Allah, sudah tentu baik menurut kita. Kita harus yakin bahwa Allah tidak mungkin salah dalam menetapkan segala sesuatu, termasuk siapa jodoh kita. Kalau jodoh tidak akan kemana. Kalau tidak jodoh larinya bisa kemana-mana. Jadi, jodoh itu jangan cuma dipikirin tapi disamperin, terus dihalalin.”
“Aku yakin kalau jodoh itu kuasa Allah dan aku juga sudah mencoba untuk menjemputnya, tetapi aku seringkali mundur perlahan. Aku merasa masih belum siap,” ujarku seraya menghela nafas sejenak dan melanjutkan perkataan, “Belum siap mencintai jika nantinya aku harus menikah dengan orang yang tidak sesuai dengan keinginanku.”
“Menikahi orang yang dicintai adalah pilihan, namun mencintai orang yang dinikahi adalah kewajiban. Tulang rusukmu yang hilang itu bukanlah malaikat, tetapi hanya manusia biasa seperti dirimu yang punya kekurangan juga. Jadi, siapapun kelak yang menjadi pendamping hidupmu, cintailah dia apa adanya, termasuk mencintai segala kekurangannya. Nah, ketika suatu hari nanti kamu berhasil menemukan satu saja kelebihan dalam dirinya, maka anggaplah hal tersebut sebagai bonus dari Yang Maha Cinta.”
Syafiq memang selalu memberikan motivasi dengan nada berapi-api untuk ‘masalah’ yang satu ini. Tak salah kiranya jika Syafiq dijuluki “Mentor Cinta” oleh teman-temanku sewaktu di kampus dulu. Julukan ini juga yang membuat diriku tentunya harus ikhlas ‘melepas’ Syafiq yang telah keluar dari barisan JOSH garis keras, terhitung setelah ijabsah berhasil ditunaikan.
Ibarat main bola, skor 4-0 untuk Syafiq sepertinya.