Mohon tunggu...
bayu aryadani
bayu aryadani Mohon Tunggu... Relawan - tidak ada

kuliah di Universitas Mataram FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN Mengikuti Organisasi HMP2K

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Dicabutnya Beasiswa PPA

7 April 2015   17:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:25 3945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada akhir januari 2015 yang lalu, Kementerian Riset Tekhnologi dan Perguruan Tinggi resmi menerbitkan surat yang berisi bahwa tidak ada kuota beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) untuk perguruan Tinggi Negeri. kabarnya hanya ada 50.000 kuota beasiswa PPA dan semuanya dialokasikan untuk Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Meneruskan informasi dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui surat nomor 43IE.E3BIBD/2015 tertanggal 25 januari 2015 perihal beasiswa/bantuan biaya pendidikan PPA tahun 2015, memberitahukan beasiswa/bantuan biaya pendidikan PPA tahun 2015 tidak ada kuota untuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Lucunya didalam surat tersebut menjelaskan bahwa mahasiswa berprestasi silahkan mengajukan beasiswa kepada perusahaan, bank atau instansi yang bekerjasama dengan masing-masing pergruan tinggi

Sungguh ironi dengan hilanya beasiswa PPA untuk Perguruan Tinggi Negeri. Mahasiswa tersebut sangat menghargai mahasiswa berprestasi dengan nilai diatas rata-rata agar semakin terpacu meningkatkan perestasi akademiknya. Mahasiswa penerima beasiswa PPA akan mendapatkan uang sebesar rp.350.000 perbulannya, dan untuk setahun (dua semester) sekitar 4,2 juta rupiah untuk sekali periode. Pada edisi beasiswa PPA tahun 2014 yang lalu, nominal tersebut cukup membantu untuk meringankan beban hidup mahasiswa serta memacu mahasiswa agar semakin berprestasi. Beasiswa PPA tersebut hanya ditujukan pada mahasiswa yang memiliki prestasi akademik yang dibuktikan dengan pelampiran transkrip nilai IPK sebagai syarat utamanya. Baik dari golongan mampu, golongan rata-rata, maupun golongan belum mampu. Semuanya berkesempatan untuk mendapatkan beasiswa PPA asal memenuhi persyaratan akademik.

Penghapusan kuota beasiswa beasiswa untuk Perguruan Tinggi Negeri tersebut diperkirakan telah mengemat anggaran sebesar 800.000.000.000 rupiah. Sebelumnya pemerintah juga telah menghemat ratusan miliyar rupiah bahkan triliunan rupiah dari penghapusan subsidi Bahan Bakar Minyak dan permainan harga Bahan Bakar Minyak. Dana hasil penghematan BBM tersebut disinyalir malah dialokasikan untuk sektor Badan Usaha Milik Negara bukan sektor pendidikan. Ini menjadi tanda tanya besar bagi pemerintah yang malah mengorbankan beasiswa pendidikan mahasiswa berprestasi.

Dari surat edaran Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pun, kita sudah bisa menilai bahwa negara sudah melepaskan tanggung jawabnya pada sektor pendidikan khususnya pendidikan tinggi. Pengarahan mahasiswa untuk mengajukan beasiswa ke perusahaan dan instansi yang bekerjasama dengan perguruan tinggi negeri pun semakin memperjelas bahwa negara sudah melimpahkan seluruh tanggung jawab pendidikan tinggi ke masyarakat dan perusahaan melalui sebuah mekanisme yang dilanggengkan dengan payung hukum Undang-undang Perguruan Tinggi nomor 12 tahun 2012 melalui pola sistem otonomi kampus. Secara umum, otonomi kampus memberikan wewenang kepada kampus untuk mengelola perguruan tinggi nya sendiri dengan bebas tanpa intervensi dari pemerintah. Perguruan tinggi negeri juga dibebaskan untuk melakukan kerjasama dengan perusahaan, bank, ataupun instansi lainnya. Artinya orientasi pendidikan yang sejatinya untuk memanusiakan manusia (Diryakara) sudah beralih fungsi menjadi layanan jasa bisnis yang diperjualbelikan.

Sebuah bangsa dapat dikatakan maju apabila unggul peradabannya, sebab peradabanlah yang menjadi etintas pada kualitas kehidupan manusia dalam masyarakat. Salah satu unsur yang paling penting dalam membangun peradaban adalah upaya membangun kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan yang berkualitas pula. Maka dari itu, ketersediaan layanan pendidikan bermutu yang bisa diakses oleh setiap lapisan masyarakat merupakan sebuah keharusan yang wajib diwujudkan dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitu pentingnya pendidikan untuk dijamin oleh negara, maka dituangkanlah pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “setiap warga negara berhak unutuk mendapatkan pendidikan”. Selanjutnya, pentingnya pendidikan sebuah pendidikan jika diperlihatkan oleh negara Indonesia pada pasal 31 ayat 4 yakni “negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelengaraan pendidikan nasional”. Akan tetapi semenjak dilegalkannya Undang-undang Perguruan Tinggi no 12 tahun 2012, tanggung jawab negara terhadap pendidikan tinggi mulai hilang.

Alasan utama dicabutnya beasiswa PPA adalah defisit anggaran APBN, sehingga harus dilakukan pemotongan subsidi pada beberapa sektor. Dalih-dalih APBN defisit tidak lantas dapat membenarkan pemerintah yang mencabut beasiswa PPA. Jika dilihat berdasarkan postur APBN pemerintahan jokowi, yang paling banyak memakan anggaran negara adalah belanja pegawai, gaji anggota dewan yang tinggi. Belum lagi korupsi yang merajalela di tanah ibu pertiwi ini. Lantas mengapa anggaran untuk sektor-sektor publik yang harus dipangkas seperti: pencabutan subsidi BBM, pencabutan subsidi pendidikan salah satunya adalah beasiswa PPA. Jika beasiswa PPA dicabut, dan mahasiswa diarahkan untuk mencari beasiswa ke perusahaan. Maka jelas sudah ini merupakan bentuk dari liberalisasi pendidikan yang sumbernya melalui regulasi yang liberal pula.

Beaisiswa PPA telah memotivasi banyak mahasiswa, walaupun besaran dana yang dapat dari beasiswa PPA hanya 4.200.000 rupiah pertahun dan tidak sebesar beasiswa lainnya, namun dibeberapa universitas yang kebanyakan masih membutuhkan banyak subsidi, pastilah beasiswa PPA sangat berguna sekali. Pencabutan beasiswa Peningkatan Perestasi Akademik (PPA) adalah bukti nyata bahwa negara sudah tak mau lagi mengalokasikan anggaran negara kepada perguruan tinggi. Maka untuk mencari solusi yang paling efektif ialah mendorong negara untuk meninjau kembali Undang-undang perguruan tinggi yang merupakan sumber dari liberalisasi pendidikan sehingga membuat peran negara untuk bertanggung jawab terhadap pendidikan sedikit demi sedikit terkikis. Bila undang-undang perguruan tinggi no 12 tahun 2012 masih menjadi payung hukum perguruan tinggi negeri seluruh Indonesia, maka jaminan murahnya biaya pendidikan dan jaminan penunjang layanan pendidikan seperti beasiswa tak akan pernah terealisasi.

PENDIDIKAN TANGGUNG JAWAB NEGARA.... BUKAN ALAT USAHA BUKAN MILIK PEMODAL.... TAPI MILIK KITA SEMUA

“WE ARE STUDENT NOT CUSTOMER...... EDUCATION NOT FOR SALE........”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun