Apa yang terbayang di pikiran bahkan benak anda ketika menonton film thriller kondang  adaptasi komik Marvel bertitel The Punisher ? Film adaptasi komik Marvel dengan karakter antihero utama bernama Frank Castle ini menceritakan sosok Frank, seorang  pria yang membalas dendam atas terbunuhnya keluarganya oleh mafia, dengan aksi perang seorang diri berupa pembersihan dan vigilante (main hakim sendiri) kepada setiap pelaku kriminal yang ditemuinya.Â
Dan dalam fiksi tersebut, diceritakan sosok Frank alias "Punisher", adalah sosok yang sangat terobsesi pada balas dendam dan menganggap segala bentuk kekerasan bahkan pembunuhan adalah hal yang pantas dibayar untuk memerangi kejahatan. Belakangan dan yang sedang  menjadi perbincangan hangat publik dunia, aksi bengis dan kejam ala sosok Frank "Punisher" Castle  ini tak lagi hanya bisa ditemukan secara fiktif, melainkan benar-benar terjadi di dunia nyata.Â
Penerapnya tak lain adalah salah satu negara di Asia Tenggara yaitu Filipina, atas perintah sang presiden yang baru saja terpilih dua bulan yang lalu yakni seorang Rodrigo Duterte. Dengan kampanye presidensil Duterte yakni "pembersihan 100.000 kriminal narkoba untuk menyelamatkan Filipina sampai seruan perang semesta bagi rakyat Filipina untuk melawan kriminal narkoba" , Duterte mendapat sematan julukan baru yakni "Punisher"Â Duterte oleh majalah TIME, sampai "Dirty Harry" Duterte. Â Â
Duterte bernama lengkap Rodrigo Duterte, adalah presiden terpilih keenambelas Filipina kelahiran Maasin 71 tahun silam. Meski kelahiran Maasin, Duterte hanya setahun bersekolah di sana kemudian pada masa selanjutnya ia berpindah ke Davao. Duterte mengaku dekat dengan Davao dan menganggapnya sebagai rumah sendiri. Bahkan di tempat inilah  awal karir sang presiden di panggung politik  dituliskan. Duterte menjabat sebagai walikota sekaligus pimpinan tertinggi Davao selama dua dekade lamanya.Â
Dan pada periode pemerintahannya di Davao inilah pula, Duterte mendapatkan gelar "Punisher" dari majalah berpengaruh dunia TIME. Atas dugaan keterlibatan Duterte dalam mendukung Davao Death Squad (DDS), unit pembunuh bayaran yang bertanggungjawab atas terbunuh dan hilangnya lebih dari 1000 orang dari berbagai latar belakang kriminal terutama peredaran narkoba, sepanjang periode 1998-2008 yang merupakan salah satu periode Duterte menjabat sebagai walikota Davao.Â
Seiring dengan misi Duterte untuk memberantas perdagangan dan kebiasaan penggunaan narkoba di Davao, sekaligus menciptakan suasana yang lebih aman dan tertib bagi Davao selama Duterte menjadi walikota.Â
Duterte memenangi pemilu presidensil Filipina pada Mei 2016 dengan keunggulan suara telak atas rival terberatnya, Mar Roxas. Di usianya yang telah menapak 71 tahun sekaligus mengukuhkan Duterte sebagai presiden tertua kedua Filipina sesudah nama Sergio Osmena. Â Meski baru menjalani penobatan secara resmi sebagai presiden dan bertugas di Malacanang pada Juni 2016, Duterte telah dituduh menjadi orang yang bertanggung jawab di balik layar atas tewasnya kurang lebih 800 orang yang terlibat jaringan narkoba di Filipina.Â
Pada pidatonya semenjak menjabat walikota di Davao, Duterte telah berkali-kali bersumpah untuk memerangi bahkan memberantas jaringan peredaran narkoba Filipina yang dinilainya telah membunuh ribuan bahkan ratusan ribu nyawa tak berdosa rakyatnya sendiri sepanjang tahun. Duterte mengaku telah mengantongi kurang lebih 150 nama pejabat Filipina dari bermacam latar belakang seperti pejabat Kongres, hakim, bahkan petinggi militer yang dicurigai memiliki koneksi dengan jaringan peredaran narkoba negara tersebut. Â
Ia memiliki kewajiban memberitahukan hal tersebut kepada rakyat Filipina dan sebaliknya, rakyat Filipina berhak untuk mengetahui nama-nama tersebut, menunjukkan bahwa negara mereka kini telah menjadi negara yang narko-politik. Sekaligus, pada pidatonya tersebut Duterte pada posisinya sebagai presiden Filipina mengumumkan "perang" terhadap jaringan narkoba dan kriminal di negara tersebut, sekaligus mengajak rakyat Filipina untuk ikut menyukseskan seruan tersebut dengan diperbolehkan menangkap, bahkan membunuh para bandar narkoba atau pengedar dan pelaku kriminal lain dengan iming iming hadiah beribu peso, hadiah tersebut juga dijanjikan Duterte pada pecandu narkoba yang mau menyerahkan diri.
Duterte boleh saja awalnya mengelak pada tuduhan tersebut, namun penyelidikan Amnesti Internasional pada peningkatan jumlah pelaku kriminal yang tewas oleh death squad Davao pada periode kedua Duterte menjabat sebagai walikota, dan meningkatnya kembali jumlah pelaku kriminal yang tewas secara pesat, terutama setelah pidato deklarasi Duterte selaku presiden mengenai perang terhadap jaringan narkoba Filipina membuat  sang "Punisher" dari Davao tak lagi sanggup berkelit.Â
Kurang lebih 50 pelaku kriminal dan bandar narkoba ditemukan tewas pada empat hari pertama terhitung sejak Duterte mengumumkan deklarasi tersebut. Disusul 500.000 orang pecandu dan pengedar narkotik menyerahkan diri pada awal aksi kampanye anti-narkoba presiden. Korban tewas ditemukan di sepanjang jalan, kolong jembatan, bahkan ruang publik dan keramaian lainnya di Manila. Mereka dibunuh oleh orang-orang yang mengendarai sepeda motor tak berpelat nomor, dengan topeng dan pakaian serba hitam, yang membunuh dengan cara menembak belakang kepala atau menikam.  Death squad Duterte kini tak lagi hanya merajah Davao.