Mohon tunggu...
Bayuaji Bb
Bayuaji Bb Mohon Tunggu... -

penikmat bus antar kota antar provinsi(akap). \r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Para (Calon) Pemimpin Membayar Pajak (Janji Sejahtera: Duitnya Darimana)

8 Maret 2014   13:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:08 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Pemilihan umum telah memanggil kita…..seluruh rakyat menyambut gembira…..hikmah Indonesia merdeka…pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya….pengemban ampera yang setia…….” Demikian sepenggal lirik lagu Pemilihan Umum pada masa Orde Baru. Lagu yang menggambarkan betapa gembiranya rakyat negeri ini, dan permintaan supaya rakyat memilih wakilnya yang dapat dipercaya. Seiring dengan berakhirnya pemerintahan Orde Baru, lagu Pemilu ini pun lambat laun tidak terdengar lagi.

Di masa Orde Baru, negeri ini hanya mengenal satu jenis Pemilu. Pemilu yang dilangsungkan setiap 5 tahun sekali, dan hanya memilih anggota lembaga legislatif baik di DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, maupun DPR RI. Selain melalui Pemilu, terdapat mekanisme penunjukkan atas anggota DPRD/DPR RI dari Fraksi ABRI(TNI-Polri) serta Utusan Golongan/Daerah untuk melengkapi keanggotaan di MPR RI.

Sejak Pemilu 1999, situasi politik pun berubah. Dari sebelumnya hanya terdiri dari 2 partai politik(parpol) dan1 golongan karya(meminjam istilah di mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila). Sejak 1999, parpol pun bertambah banyak. Harapan besar atas kebebasan berparpol, berorganisasi, maupun berpendapat pun menyeruak.

Orde Baru yang dianggap gagal pun dikoreksi. Alih-alih mau memperbaiki kondisi, ternyata ketika memegang kekuasaan jargon menyejahterakan rakyat pun ternyata bukan perkara mudah dilakukan. Para petinggi parpol selalu mengatakan bahwa tujuan utama berpartai adalah membuat rakyat sejahtera sampai kini pun ternyata tetap belum sepenuhnya tercapai.

Pemilu kini telah berkembang biak dari sebelumnya hanya memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di DPR/DPRD, sekarang Pemilu pun dilakukan untuk memilih anggota DPD, kemudian pemilihan pasangan Presiden-Wakil Presiden, serta pemilihan kepala daerah baik Gubernur-Wakil Gubernur serta Bupati/Walikota beserta Wakilnya. Akibatnya kini bisa jadi setiap hari berlangsung Pemilu disetiap jengkal wilayah Indonesia.

Pada setiap masa kampanye, para calon anggota lembaga legislatif, calon presiden ataupun calon kepala daerah selalu menjanjikan kesejahteraan rakyat, atau berbagai fasilitas gratisjika dirinya terpilih. Namun sayangnya tidak ada satu calon pun bahkan satu partai pun yang peduli dengan sumber dana untuk menyejahterakan rakyat atau menggratiskan layanan tertentu.Sangat disayangkan jika belanja pemerintahan dijanjikan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi mereka tidak peduli dari mana pemerintahan memperoleh sumber dana untuk membiayai belanja untuk menggratiskan ini itu.

Bahkan dalam debat kandidat yang seringkali ditayangkan secara langsung melalui radio maupun televisi, nyaris persoalan sumber dana pemerintahan tidak pernah menjadi bahan debat. Pada kenyataan bahwa 70% lebih sumber dana APBN berasal dari pajak, tetapi hal ini belumlah menjadi perhatian para calon pemimpin ketika berbicara visi misinya.

Pemilu di Australia pada 2013 ini pun menjadi perbincangan setelah kalahnya partai yang berkuasa. Salah satu sebab kekalahannya adalah pengenaan pajak karbon. Belum lagi kalau kita memantau Pemilu di Amerika Serikat atau di negera-negara Eropa, masalah pajak adalah masalah yang sangat seksi dan sensitif.

Parpol-parpol di negeri ini pun tampaknya lebih peduli pada isu-isu semacam kenaikan BBM. Lihat saja pada Pemilu 2009 lalu, saat penguasa menurunkan harga BBM telah menjadi komoditas utama dalam kampanyenya. Pada pertengahan 2013 lalu, ketika BBM bakal dinaikkan, lagi-lagi setiap parpol berebut panggung, dan saling sikut tentang siapa yang paling berjuang untuk menyejahterakan rakyat.

Sementara ketika Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang pengenaan Pajak Penghasilan(PPh) sebesar 1% untuk usaha tertentudengan peredaran usaha sampai dengan Rp 4,8 M, nyaris tidak ada parpol, atau calon kepala daerah/presidenyang berteriak keras menentang atau mendukungnya.

Atau lihat juga ketika pemerintah meluncurkan kebijakan mobil murah, penentangan hanya muncul atas pilihan siapa yang bisa memproduksi mobil murah. Nyaris tidak ada yang mempermasalahkan pembebasan atas pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah(PPnBM) terhadap mobil murah. Padahal mobil bisa dijual “murah” karena tidak dikenakan PPnBM.

Jika kita perhatikan tentang ketentuan seseorang untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif, presiden/wakil, ataupun kepala daerah/wakilnya, persyaratan yang wajib dipenuhi hanya laporan kekayaan calon tersebut ke KPK. Ya, hanya laporan kekayaan. Nah, soal pajak tampaknya belum menjadi perhatian utama.

Tentu kita masih ingat ketika pemilihan kepala daerah di ibukota. Calon gubernur petahana memiliki kekayaan lebih dari Rp 50 M. Jumlah yang sangat fantastis mengingat perjalanan kariernya sebagai PNS dari bawahan sampai mencapai jabatan Sekda.

Jika kita membaca ketentuan Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Pajak Penghasilan(UU PPh) antara lain menyatakan bahwa “yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun………”

Nah jika kekayaannya saja mencapai Rp 50 M, maka penghasilannya tentu lebih besar lagi. Yang menjadi pertanyaan berapa sebenarnya pajak yang telah disetorkan ke kas Negara oleh si calon kepala daerah tersebut? Tidak ada yang tahu kecuali si calon dan Yang Mahakuasa.

Melihat kenyataan tersebut, ke depan perlu regulasi entah dalam Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Penyelenggara Negera atau Undang-Undang Perpajakan, yang mengatur secara tegas bahwa seseorang yang dicalonkan sebagai anggota legislatif, presiden/wakilnya, serta kepala daerah/ wakilnya, tidak semata-mata hanya mengumumkan kekayaannya tetapi wajib juga mengumumkan pajak yang telah disetorkan ke kas negara.

Si calon wajib mengumumkan pelaporan perpajakannya yang diwadahi dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi(SPT Tahunan PPh OP). Nah si calon ini wajib mengumumkan SPT Tahunan PPh OP selama 5 tahun sebelumnya dari saat Pemilu. Misalkan saja, di Pemilu 2014 nanti, maka si calon harus mengumumkan SPT Tahunan untuk tahun pajak2009, 2010, 2011, 2012,dan 2013.

Adanya unsur pemaksaan diharapkan akan meningkatkan kesadaran para anggota DPRD, DPR RI, Walikota/Bupati, Gubernur, maupun Presiden bahwa uang APBN merupakan uang milik seluruh rakyat dan dirinya pun turut serta membiayai APBN. Ketika kebijakan pajak diluncurkan atau terjadi korupsi, maka para petinggi tersebut adalah pihak yang paling pertama yang merasa dirugikan. Dengan demikian pada musim kampanye serta saat berkuasa tidak hanya berkutat di soal pembelanjaan APBN, tetapi juga berkutat dalam masalah sumber dana APBN.

Selain itu bagi masyarakatakan tahu mana saja pemimpin yang hanya mencari hidup dari APBN serta mana saja pemimpin yang menghidupi APBN negeri ini.

Salam dari Lombok

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun