Mohon tunggu...
Bayu Rizky Pratama
Bayu Rizky Pratama Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mencoba menjadi penulis yang selalu menelurkan ide-ide segar nan kreatif. Selalu melihat suatu kejadian dari kotak kecil yang disebut sebagai pemikiran. Dan melanjutkan pemikiran itu menjadi pemikiran lain yang memerlukan jawaban atas semua pertanyaan yang muncul karenanya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nasib Malang Penghuni Tapal Batas Negeri

17 Juni 2012   05:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:53 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika mendengar nama Indonesia, sebagian dari kita pasti akan merujuk pada artian negara kaya sumber daya, negara penuh pulau, negara dengan sistem demokrasi yang memadahi. Dan mungkin kebanyakan dari orang kita akan merujuk pula kepada negara dengan banyak penduduk. Yah..tidak bisa dipungkiri semua anggapan itu adalah benar. Namun, berkaitan dengan masalah kependudukan dan kepulauan, ada banyak sekali orang-orang malang yang tinggal di daerah tapal batas negara. Dari semua penduduk mungkin merekalah yang paling merasakan penderitaan. Mengapa? Kebanyakan dari kita tidak memikirkan atau bahkan untuk sekedar mengetahui keadaan orang-orang yang menghuni perbatasan ini. Hidup dengan patok-patok wilayah negara, dengan pagar besi pembatas, dan juga dengan pengawasan negara tetangga. Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa mereka telah lama hidup menjadi bagian dari bangsa ini, bangsa Indonesia. Namun, mirisnya mereka kebanyakan tidak mendapatkan pelayanan dari negeri ini, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan misalnya. Jangankan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) ataupun pelayanan dokter spesialis, puskesmas saja yang merupakan pusat dari pelayanan kesehatan masyarakat tidak mereka dapatkan. Dan jikapun ada, mereka harus menempuh puluhan kilometer dengan kondisi jalan yang masih berupa hutan belukar. Ditambah dengan ketidaktersediaan sarana angkutan umum, membuat mereka bisa-bisa tewas dalam perjalanannya sebelum sampai pada puskesmas itu. Berbicara pula mengenai sarana disini, ketiadaan listrik turut pula menambah beban derita. Bayangkan saja, untuk sekedar mendapatkan penerangan -dengan ketiadaan lampu pijar - mereka menembus belukarnya hutan, membabat batang-batang bambu yang nantinya mereka gunakan sebagai obor dikala petang menjelang. Apakah cahaya dari obor ini cukup untuk menerangi aktivitas malam mereka? Tentu saja tidak. Penggunaan obor hanya untuk keperluan sekedarnya saja, semisal menerangi aktivitas makan dan pergi ke kamar kecil. Lalu bagaimana dengan anak-anak mereka yang ingin belajar? Hmm...tak bisa dibayangkan.Terlebih  satu-satunya waktu yang dapat anak-anak manfaatkan untuk belajar adalah malam hari saja. Karena disiang harinya mereka turut membantu perekonomian keluarga. Semisal dengan ikut menyuling minyak kayu putih atau sekedar ikut menambang emas sisa hasil pertambangan disungai yang tentunya terdapat banyak sekali bahan kimia di dalam air itu. Pernah suatu ketika salah satu anak itu tiba-tiba tergeletak tak sadarkan diri. Para warga segera membawanya ke kota demi memeriksa keadaannya. Dan setelah dokter memeriksannya, anak itu ternyata sudah terkena kanker hati stadium 4 yang usianya hanya tinggal menunggu hitungan hari saja. Terlalu banyak air sungai yang telah bercampur dengan zat sisa tambang yang tak sengaja ia minum. Tidakkah semua terkejut dengan kejadian ini? Iya mereka terkejut, namun mereka tetap saja menambang. Tidak ada pilihan lain bagi mereka. Tidak ada pekerjaan lain yang dapat mereka lakukan. Bagi mereka negara ini hanyalah panggung sandiwara bagi para lelakon yang semuanya itu diperankan oleh pejabat-pejabat tinggi. Masih menurut mereka, pejabat-pejabat itu hanyalah tokoh yang memimpin dan menikmati hasilnya. Menggembar-gemborkan perlindungan hutan, tapi mereka membiarkan para investor mengintervensi hutan yang masih perawan ini. Sehingga membuat hutan ini sekarang penuh dengan lubang menganga hasil pembukaan tambang, lalu penggundulan hutan semakin sering terjadi sekarang, dengan anggapan menambah nilai ekspor bangsa. Padahal untuk sekedar menanamnya kembali mereka tidak mau, apalagi merawatnya. Tidakkah ini adalah sebuah bencana kemiskinan hati dengan bermotif kebijakan ekonomi? Bukan sanduran atau kritikan yang diperlukan disini. Melainkan sikap membuka hati para pemimpin bangsa ini. Bukankah mereka terpilih untuk memilih kebijakan mana yang tepat bagi kami, bagi daerah kami, dan bagi bangsa ini. Semoga semua yang membaca ini memiliki hati yang murni, hati yang dapat berbagi kesengsaraan, hati yang dapat melihat penderitaan para penghuni tapal batas Indonesia. Dan semoga keadaan Indonesia menjadi lebih baik lagi dengan pemimpin yang menyejukkan hati yang dipimpinnya. Amiiin...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun