Mohon tunggu...
bayu sih hanggoro
bayu sih hanggoro Mohon Tunggu... -

sedang belajar menulis. Ikutan lomba iB Kompasiana blogging day, langsung ketagihan.

Selanjutnya

Tutup

Money

Bahaya Laten Indisipliner

21 Februari 2012   06:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:23 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore hari, saya dan isteri duduk-duduk di teras rumahmenikmati udara sejuk habis hujan. Tanah pekarangan yang sesiangan diterpa terik matahari dan sore ini di jamah rintik hujan menebar aroma yang terasa khas di hidung.Keharuman yang sudah sangat jarang ditemukan.Maklum sekarang sudah susah mencari lahan tanah, semua sudah beraspal atau berlapis semen beton.Di hadapan kami tersedia goreng pisang tanduk dan teh manis.Lengkap sudah acara santai sejenak sore itu.

Tapi, ketenangan yang langka itu tidak berlangsung lama.Seorang sahabat saya, yang bekerja sebagai pejabat kantor cabang di suatu bank besar di Jakarta, tergopoh-gopoh meluruk pagar.Nafasnya memburu, terasa sekali di telinga.Tangannya mengepal koran, nampaknya masih baru juga.

“Gawat.Gawat, Mas”, serunya sambil membuka gulungan koran ditangannya.Tanganya dengan sigap meminggirkan piring berisi goreng pisang, yang tinggal dua potong, dan meletakan korannya terbuka di meja.Ia menunjuk sebuah berita politik.Tidak hanya menunjuk, tapi menunjuk nunjuk, sehingga bunyi duk duk duk dengan kerasnya.

“Ternyata, selama ini Jaksa Agung bertindak dan melaksanakan tugasnya secara tidak sah!”kata sahabat saya setengah berteriak.“Mau jadi apa Negara ini?Urus masalah dokumentasi pengangkatan pejabat saja tidak becus!”

Isteri saya pun tahu diri, dan segeramasuk ke dalam rumah dengan membawa piring berisi goreng pisang yang tinggal dua potong.

Diskusi kami pun berderai-derai.Kami saling menilai, mendukung, juga saling menyalahkan satu sama lain.Adu pendapat sebenarnya tidak berpotensi berlawanan.Pendapat kami sebenarnya searah, tetapi karena pembawaan dan cara sahabat saya berbicara, maka seolah-olah ada perbedaan pendapat yang sangat tajam di antara kami.Bahkan, tidak jarang koran yang jadi sumber utama diskusi di pukul-pukulkan ke meja.

Pada prinsipnya ada beberapa hal yang kami sepakati dalam diskusi itu.Kami sepakat biang kerok semuanya ini adalah sikap indisipliner.Suhu diskusipun mulai menurun setelah cakupan diskusi saya bawa kepada lingkungan di tempat sahabat saya tersebut bekerja.

Saya minta ia untuk bercerita tentang kejadian-kejadian yang bermuasal dari sikap indisipliner di lingkungan kerjanya.Mendengarkan ceritanya sungguh membuat saya tertegun, seringkali tenggorokan saya serasa kering, “tercekat” istilah novelnya.

“Bayangkan, Mas.Masak ada dana nasabah yang bisa di transfer ke bank lain dengan mengandalkan instruksi aplikasi transfer yang ditanda tangani oleh marketing.Ada yang lebih parah lagi, konfirmasi atas perintah transfer atau pencairan deposito tersebut dilakukan berdasarkan nomer telepon yang diberikan marketingnya.Mending kalau nomer telepon tersebut sama dengan yang tersimpan di data arsip nasabah.”cerita sahabat saya, sambil kepalanya tidak bisa diam tengok-tengok ke dalam rumah.

“Kalau ditanya kenapa dilaksanakan seperti itu, jawaban mereka selalu seragam.Kami sudah kenal nasabahnya.Atau, sore nanti nasabahnya akan datang membawa aplikasi yang tanda tangannya asli.”

“Ada lagi yang lebih parah.” Saya bermaksud menambahkan cerita sahabat saya itu, tapi langsung di potong olehnya.

“Saya tahu, Mas.Mas mau cerita soal keamanan uang kas di khasanah, khan?Betul itu.Semua orang juga sudah paham, bahwa ruang khasanah adalah ruang steril.Artinya tidak semua orang bisa masuk ke sana tanpa pengawasan.Tapi, di kantor ku…, seringkali aku temukan tumpukan barang yang tidak seharusnya ada di khasanah, malahan bukan milik orang yang aku tunjuk untuk mengelola khasanah.Lah, khasanah kok jadi tempat penitipan barang..”

“Hmmm… gawat juga.” saya menanggapi sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal.“Tapi, ada yang hal mendasar yang tidak kalah gawat” saya sekali lagi berusaha menambahkan cerita, tapi sekali itu pun disergahnya lagi.

“Bener, Mas.Mas tahukan, kalau kartu ATM dan PIN itu harus diserahkan langsung ke nasabah ? Penyimpanannya di kantor cabang juga harus dikelola oleh orang yang berbeda, betul tho, Mas?Lah kok, di tempat saya, kartu ATM dan PIN diambil oleh marketing semuanya.Mending kalau langsung di serahkan ke nasabahnya pada hari yang sama.Lah, yang menyimpan stok ternyata juga ditangani oleh satu orang pegawai saja.”kali ini sahabat saya tidak cuma melongokkan kepalanya untuk melihat ke dalam rumah saya, tapi sudah menggeser kursinya dan sekarang persis menghadap ke pintu.

Saya berdehem untuk mengingatkannya.Melihat sahabat saya agak terkejut, saya ambil kesempatan untuk menambahi cerita sikap indisipliner di kantornya itu.

“Mas, pernah tidak ketika Anda pergi meninggalkan kantor, lalu di telepon dari kantor untuk dimintai persetujuan atas transaksi yang menjadi wewenang Anda karena nilai transaksinya yang tidak biasa?” tanya saya.

“Wah, sering banget, Mas” sahabat saya menjawab dengan bersemangat, senyumnya lebar sekali seolah ingin mengatakan bahwa kewenangannya di kantornya tinggi sekali, sekaligus menunjukkan bahwa ia adalah orang penting di kantornya.

Tapi, ia segera sadar dengan pertanyaan saya.

“Eh, berarti saya termasuk indisipliner juga ya, Mas.Overide transaksi seringkali saya serahkan ke wakil saya, menggunakan password saya.Tapi, kalau tidak begitu operasional bisa terganggu.”wajahnya mulai terlihat cemas. “Tapi, saya percaya dengan integritas wakil saya kok” pembelaan dirinya ini sama sekali tidak menghilangkan kecemasan di wajahnya.

“Kebutuhan bensin untuk gen set di kantor berapa banyak, Mas?” saya sengaja ingin menambah kecemasannya.

“Tidak tahu persis, Mas.Aku malah tidak tahu kalau di kantor ada gen set.Memangnya gen set pakai bahan bakar bensin? Setahu saya pakai solar.Apakah ketidaktahuan saya tentang gen set ini bisa dianggap sikap indisipliner?” dahinya berkerut layaknya orang mencari kepastian.

Saya tergelak memandang wajah bingung sahabat saya itu.

Akhirnya, saya berusaha menutup diskusi hangat sore itu dengan menegaskan kepadanya tentang betapa bahayanya sikap indisipliner.Kami sepakat dengan istilah “bahaya laten indisipliner”.

Segala masalah yang ada seringkali di picu oleh sikap indisipliner dan pengabaian terhadap ketentuan dan standar kerja.Kasus-kasus fraud, baik yang dilakukan oleh internal maupun pihak eksternal seringkali memanfaatkan sikap indisipliner tersebut.

Kasus transfer dengan instruksi fiktif akan sangat mudah dihindari apabila pegawai pelaksana disiplin melakukan tugasnya sesuai standar kerja, mulai dari validasi tanda tangan sampai dengan konfirmasi kepada nasabah yang sah.Para penyelia pun akan sangat mudah mencegah terjadinya penyalahgunaan dana di khasanah bila mau berdisiplin menegakan aturan sterilisasi ruangan khasanah, termasuk disiplin dalam memastikan kebenaran jumlah dana yang tersimpan di dalamnya.

Kasus-kasus lain yang juga seringkali terjadi adalah karena terdapat celah di dalam standar kerja yang disalahgunakan oleh pegawai.Hal ini akan sama mudahnya dicegah oleh pegawai, bila pegawai terutama pejabatnya mau berdisiplin memegang teguh asas kehati-hatian.Celah kelonggaran dalam suatu standar kerja atau kebijakan, tidak seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan sesaat.Pejabat justru harus berdisiplin mengawasi celah kelonggaran tersebut.

Saya pun menegur sahabat saya itu karena dia tidak pernah sekali pun menengok peralatan gen set yang dimiliki kantornya.Padahal tindakan disiplin dalam merawat gen set merupakan cara paling murah untuk memastikan operasional bank tetap berjalan ketika pasokan listrik dari PLN terputus.

Sambil terpingkal-pingkal kami juga menertawakan berkembangnya sikap indisipliner di kantor pusatnya.Seringkali sikap tersebut ditunjukkan dari hal-hal yang sederhana, seperti terlambat masuk kerja di pagi hari atau setelah istirahat siang.Kami tertawa karena seringkali sikap indisipliner dianggap biasa dengan dalih “yang penting pekerjaan selesai”.Padahal dari perilaku indisipliner yang sederhana itu bisa berkembang menjadi sikap indisipliner yang lebih parah seperti pengabaian ketentuan atau standar kerja.

Akhirnya, sahabat saya pun pamitan karena azan maghrib telah memanggil.Sambil tetap menengok ke dalam rumah ia setengah berteriak, ”Sudah ditunggu dari tadi, goreng pisangnya tidak keluar-keluar.”

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun