Dalam konteks pendidikan tinggi, wacana mengenai penghapusan skripsi telah menjadi topik perbincangan yang menarik perhatian banyak pihak. Keputusan untuk menghapus skripsi tentu akan membawa dampak yang signifikan, terutama bagi mahasiswa dan perguruan tinggi.
Bagi mahasiswa, penghapusan skripsi dapat memiliki dampak yang beragam. Di satu sisi, ini mungkin memberikan keringanan dalam proses kuliah, mengurangi tekanan psikologis yang seringkali menyertai penyusunan skripsi. Namun, di sisi lain, hal ini juga berpotensi mengurangi peluang bagi mahasiswa untuk mengasah kemampuan penelitian, analisis, dan tulis-mengarang yang diperlukan dalam dunia profesional.
Perguruan tinggi juga akan merasakan dampak dari keputusan ini. Skripsi selama ini menjadi salah satu bentuk evaluasi terhadap kualitas pendidikan yang diberikan. Penghapusan skripsi dapat mempengaruhi citra perguruan tinggi dan persepsi tentang kualitas lulusan yang dihasilkan. Namun, dengan langkah yang tepat, perguruan tinggi bisa menggantikan peran skripsi dengan bentuk evaluasi lain yang tetap menjaga standar kualitas dan relevansi.
Penghapus UN (Ujian Nasional) pada tingkat SD, SMP, SMA saja, cukup berdampak pada pola pikir masyarakat tentang perihal citra lulusan sebuah sekolah dan tentu pula menimbulkan kecemburuan sosial, bagi mereka yang pernah merasakan panasnya kursi ujian nasional saat itu.
Kayak ada yang kurang gitu. Ketika mahasiswa akhir tidak perlu melewati skripsi sebagai syarat kelulusannya. Rasa ini, sebenarnya saya alami ketika udah semester 7, tapi gak ada skripsi, besoknya semester 8, dan langsung wisuda. Jadi, berasa ada yang gak setara, ada kisah yang mungkin hanya saya yang gak pernah merasakan bahaya-nya membuat skripsi, sidang skripsi, bahkan ngejar-ngejar dosen pembimbing.
Ya, gak masalah sih ya. Ini udah jadi jalan hidup saya. Tapi saya juga bersyukur, dengan tidak adanya skripsi, saya lebih leluasa dalam menggali berbagai macam ilmu pengetahuan selama studi di UT, saya lebih enjoy dalam menjalankan pekerjaan tetap, hobi pun tak terganggu, banyak berpartisipasi dalam kegiatan nasional (kontrak kerja dengan KPU untuk pemilu, pilkada, pilkades; kontrak kerja dengan BPS untuk SP2020, SPLF2020, Survey IMK, Regsosesk 2022 hingga FKP Regsosek 2023).
Kesempatan itu, mungkin gak bakal saya dapat ketika saya kuliah dan masih dibebankan untuk pembuatan skripsi, beratus-ratus halaman. Jelas ada hikmahnya, tentu tiap individu punya ceritanya sendiri, dan jangan dibanding-bandingkan.
Dalam menghadapi penghapusan skripsi, sebuah usul yang muncul adalah pengenalan proyek kolaboratif yang melibatkan mahasiswa dalam penyelesaian permasalahan nyata. Melalui proyek semacam ini, mahasiswa akan tetap dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis, kerjasama tim, dan pemecahan masalah, sambil menciptakan dampak positif bagi masyarakat atau industri. Pendekatan ini bisa membawa manfaat ganda, tidak hanya bagi mahasiswa tetapi juga bagi perguruan tinggi dan masyarakat pada umumnya.
Akan tetapi, saya tidak memberikan usul istilah apa yang kiranya hampir mirip dengan proyek kolaboratif tersebut, bisa saja beristilah asesment akhir, evaluasi akhir studi, proyek akhir studi, atau istilah-istiah lain yang mungkin akan segera muncul ke permukaan. Mungkin sedang dirumuskan dan dimusyawarahkan oleh para petinggi Dirjen Diktiristek.
Dalam mengimplementasikan pengganti skripsi, penting untuk melakukan kajian mendalam dan melibatkan berbagai pihak terkait. Langkah ini akan membantu memastikan bahwa penggantian skripsi benar-benar membawa manfaat positif dan tidak merusak kualitas pendidikan tinggi. Dengan tekad yang kuat untuk menjaga mutu pendidikan, perguruan tinggi dapat merancang pengganti skripsi yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan dunia kerja.