Mengapa kondisi ini mewarnai birokrasi kita?
Lemahnya pengawasan aparatur/birokrat, baik pengawasan internal maupun eksternal.Â
Pengawasan salah satu tombak tegaknya birokrasi di Indonesia. Bilamana pengawasan tidak dijalankan secara benar dan tegak maka, akan timbul berbagai macam bentuk pelanggaran/penyelewengan. Seperti halnya pungutan liar yang seakan menjadi tradisi bagi aparatur dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat, yang seyogianya masyarakat tidak perlu membayar bentuk pelayanan apapun terkecuali sudah jelas tertera dalam peraturan perundang-undangan negara Republik Indonesia.Â
Seperti contoh pada pelayanan permintaan informasi publik, baik berupa salinan atau draft informasi publik pada lembaga pemerintah yang dapat dikenai biaya penyalinan dokumen dan biaya pengiriman (pos). Hal ini memang jelas diatur pada peraturan perundang-undangan tentang pelayanan informasi publik.Â
Sedangkan, jika pelayanan pembuatan e-ktp atau surat-surat kependudukan lainnya dibebankan biaya yang melampaui batas kewajaran atau yang seharusnya tidak ada beban biaya pelayanan adalah bentuk dari pungutan liar yang ada dalam sistem birokrasi Indonesia.
Ketidaktahuan masyarakat dalam beban biaya pada pelayanan publik ini dijadikan ladang bonus rezeki bagi aparatur nakal dan beringas di Indonesia. Mematok beban biaya tinggi, nyatanya pelayanan tetap saja rumit dan selalu meminta uang/biaya tambahan. Hal inilah yang menjadikan masyarakat berpendapat bahwa pelayanan jika dapat dipersulit mengapa dipermudah.
Jika membayar biaya yang lebih tinggi malah pelayanan semakin molor. Itulah sebab masyarakat enggan terlibat dalam urusan pemerintahan/birokrasi. Pasalnya selalu tentang uang, uang, dan uang namun kerja nol besar.
Jadi, lemahnya pengawasan internal (dalam diri organisasi/lembaga) dan pengawasan eksternal (masyarakat dan lembaga lainnya menurut hirearki kekuasaan—BPK atau Badan Pengawas Daerah) dan ketidaktahuan masyarakat tentang kejelasan biaya yang dikeluarkan dalam layanan publik adalah penyebab birokrasi kita—birokrasi di Indonesia—mendapatkan citra buruk dari masyarakat (berbelit-belit, lama, biaya tinggi, dan pelayanan tidak ramah) yang menimbulkan istilah sinisme kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah.
Mengapa pungutan liar (pungli) menjadi ciri pelayanan umum oleh birokrasi kita?
Ketidaktahuan masyarakat pada tata urutan/prosedur, beban biaya, dan proses pelayanan umum itulah yang menjadi santapan empuk para pihak/mafia pungutan liar. Mengingat biaya tinggi terhadap jenis pelayanan tertentu dengan janji pelayanan dilaksanakan dalam waktu singkat tetapi, nyatanya melenceng sangat jauh, pelayanan tak kunjung selesai, uang sudah keluar banyak dari kantong masyarakat.