Pada Ramadan kali ini, tidak ada lagi aktivitas patrol, tak terdengar lagi suara musik patrol. Semua sunyi senyap. Waktu sahur hanya sesekali terdengar seseorang yang berbicara melalui pengeras suara di masjid.
Selain karena pandemi, mengapa kegiatan patrol mengalami penurunan selama satu dekade terakhir pada bulan Ramadan? Apakah ada faktor yang mengakibatkan masyarakat enggan berpatrol?
Ya, ada faktor lain yang memengaruhi kegiatan patrol kian ditinggalkan oleh masyarakat. Pertama, kehadiran teknologi pengeras suara. Masyarakat lebih sering menggunakan pengeras suara untuk mengingatkan waktu sahur daripada berpatrol, berkeliling desa dengan menabuh alat musik.
Kedua, anak muda sekarang terlalu cinta pada gadget. Kecanggihan teknologi alat telekomunikasi, smartphone membuat anak-anak tak tertarik dengan patrol. Selain butuh tenaga ekstra untuk ikut berpatrol, anak-anak enggan berjalan kaki mengelilingi perkampungan.
Ketiga, perilaku masyarakat yang berubah. Saya dan kamu, tentu memilih memanfaatkan kecanggihan teknologi, seperti alarm baik pada jam maupun gadget kita guna menjadi pengingat waktu sahur. Apalagi, semua masyarakat sudah memiliki dan mahir menggunakan handphone.Â
Namun yang namanya kerinduan harus ada obatnya. Begitupun rindu masyarakat selama Ramadan pada patrol. Masyarakat bakal mengadakan lomba patrol sebagai upaya menghidupkan kembali nuansa berpatrol dan mengobati rasa rindu mendengarkan alunan musik patrol.
Kompetisi patrol adalah obat kerinduan akan nuansa berpatrol selama Ramadan.
Patrol sejatinya adalah tradisi yang telah ada sejak dulu. Ketika tidak ada lagi orang berpatrol, kita semua khawatir, patrol akan punah. Mengingat, patrol hanya ada di bulan Ramadan saja. Setahun sekali. Oleh karena itu, langkah menginisiasi masyarakat dengan adanya perlombaan patrol diharapkan dapat melestarikan patrol dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Baiklah, mari kita berpatrol esok dini hari di Kompasiana! Lebih-lebih berpatrol di lingkungan sekitar, lingkungan masyarakat.
Bayu Samudra